Kalau kamu mengira bahwa cerita yang diangkat pada novel ini adalah tentang anak-anak yang terlahir dari hubungan yang terlarang atau yang tidak pernah diharapkan, kamu salah besar.
Pasalnya novel Perkumpulan Anak Luar Nikah karya Grace Tioso ini ternyata mengangkat isu tentang dampak dari kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang membuat satu generasi tertentu mendapat label "anak luar nikah."
Novel ini menceritakan seorang ibu rumah tangga yang bernama Martha yang tinggal di Singapura. Dia adalah seorang lulusan dari University of Singapore.
Selain sebagai ibu rumah tangga, Martha juga mengelola akun Twitter duolion163 yang aktif memberikan informasi aktual tentang rekam jejak para calon pemimpin daerah.
Akun tersebut bukanlah akun Twitter biasa, pasalnya banyak pengikut yang selalu merasa terbantu oleh informasi yang diberikan lewat utas tentang rekam jejak para calon pemimpin daerah yang akan mencalonkan diri.
Namun, dibalik besarnya nama duolion169, Martha bersama sepupunya Yuni tidak ingin ada yang mengetahui bahwa merekalah sebenarnya yang menjadi admin dari akun Twitter tersebut.
Konflik utama dalam novel ini terjadi ketika Martha diketahui telah memalsukan dokumen beasiswanya di Singapura pada saat itu. Informasi itu banyak diketahui karena Martha sempat menuliskan hal tersebut pada blog pribadinya.
Hal ini juga yang menjadi ironi dalam novel ini ketika seorang lulusan ilmu komputer tidak menyadari bahwa jejak digital yang ia buat bisa menjadi senjata makan tuan bagi dirinya.
Sontak kabar terkait pemalsuan data beasiswa yang dilakukan Martha itu viral baik di Singapura maupun di Indonesia. Bahkan salah satu jurnalis Indonesia kerap mencari tahu informasi terkait Martha dan statusnya setelah kabar tersebut beredar.
Diawal cerita memang kita masih akan diajak berpikir dan mencari jawaban tentang maksud dari novel ini. Jawaban dari novel ini ketika cerita diputar balik ke masa lalu Martha ketika duduk di bangku seolah dasar.
Martha pertama kali mempertanyakan bahwa dirinya adalah anak luar nikah ketika fakta menunjukan bahwa dalam akta kelahiran dirinya ditulis sebagai "anak luar nikah."
Label tersebut tentu bukan terjadi karena kesengajaan, melainkan akibat dari kebijakan pemerintah yang waktu itu terlalu diskriminatif terhadap ras Tionghoa-Indonesia atau yang biasa dikenal dengan Chindo.
Orang tua Martha, lebih tepatnya Ayah Martha pada waktu itu diceritakan bahwa statusnya masih sebagai Warga Negara Asing (WNA), dan belum mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Bagi orang dengan keturunan Tionghoa pada saat itu wajib memiliki SBKRI sebagai syarat dirinya diakui sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Namun, ternyata tidak semudah itu bagi mereka mendapatkan surat tersebut.
Terkadang alur birokrasi yang rumit dan panjang hingga banyak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang menjadi penyebab orang dengan keturunan Tionghoa sulit mendapatkan surat tersebut.
Pada kasus Martha ini, karena Ayahnya masih berstatus WNA, lantas yang tertulis di akta kelahirannya hanyalah Ibunya dan dirinya dengan label "anak luar nikah." Jadi sebetulnya negaralah yang membuat label anak haram tersebut.
Melalui kisah hidup Martha, novel ini mengajak pembaca untuk memahami keterasingan yang dirasakan kaum minoritas Tionghoa yang meski lahir dan besar di Indonesia, tetap dianggap asing oleh banyak kalangan.
Walaupun novel ini bergenre fiksi sejarah yang mungkin kerap dianggap sebagai bacaan yang berat dan rumit untuk dipahami, tapi dalam novel ini penulis menggunakan narasi yang sangat bisa dipahami baik bagi pembaca pemula sekalipun.
Tidak hanya membahas soal sejarah, tetapi juga drama keluarga, dan sentuhan kisah romansa tentang kehidupan rumah tangga yang tidak terlalu berlebihan.
Namun, ada kemungkinan pembaca dapat kehilangan fokus pada konflik utama karena narasi yang kaya dan meluas ke isu-isu lain.
Tetapi, secara keseluruhan novel ini sangat layak untuk dibaca, selain tema cerita yang masih jarang diangkat, pesan dalam novel ini sangat mendalam terutama untuk pembaca agar memahami beban sejarah ras minoritas di Indonesia.
Baca Juga
-
Ulasan Film Qorin 2: Mengungkap Isu Bullying dalam Balutan Horor Mencekam
-
3 Daftar Novel Dee Lestari yang Akan Diadaptasi Menjadi Serial Netflix
-
Bullying dan Kesehatan Mental Anak: Mengapa Sekolah Belum Menjadi Ruang Aman?
-
Ini 3 Daftar Novel yang Akan Diadaptasi Menjadi Film, Ada Laut Bercerita!
-
5 Rekomendasi Novel yang Menyinggung Isu Kekerasan terhadap Perempuan
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Cinta Dua Kodi: Kisah Perempuan Tangguh di Tengah Krisis 1998
-
Ulasan Novel The Long Game: Perjalanan Cinta dan Karier di Kota Kecil
-
Novel Before Your Memory Fades: Menyelami Luka Lama Lewat Secangkir Kopi
-
Ulasan Novel The Mill House Murders: Misteri Kelam di Rumah yang Terisolasi
-
Ulasan Novel The Decagon House Murders: Kasus Pembunuhan di Pulau Terpencil
Ulasan
-
Ulasan The Price of Confession: Duet Gelap Kim Go Eun dan Jeon Do Yeon
-
4 Tempat Padel di Bandung yang Instagramable, Nyaman, dan Cocok Buat Pemula
-
Di Balik Tahta Sulaiman: Menyusuri Batin Bilqis di Novel Waheeda El Humayra
-
Review Film The Stringer - The Man Who Took the Photo: Menelusuri Jejak Fakta
-
7 Film Indonesia Paling Laris 2025: Animasi, Horor, hingga Komedi