Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Harsa Permata
Foto Film Tulang Belulang Tulang (Instagram/ tulangbelulangtulangfilm)

Saya menonton film ini beberapa hari yang lalu lewat salah satu penyedia tv berlangganan, yaitu Prime Video. Sejujurnya, filmnya sangat menarik, dengan Landung Simatupang yang berperan sebagai Tulang Tua, sekaligus narator dalam film ini.

Film berlatar budaya masyarakat Batak ini, yang disutradarai oleh Sammaria Sari Simanjuntak, sebenarnya telah diputar di bioskop semenjak 26 September 2024 lalu. Akan tetapi di Prime Video, film ini baru saja tayang.

Nama-nama beken seperti Landung Simatupang, Atiqah Hasiholan yang berperan sebagai Mami Laterina, David Saragih sebagai Papi Mondo, Tanta Ginting (Tulang Ucok), Lina Marpaung (Opung Tiolin), Tasha Siahaan (Cian), anak perempuan tertua dari pasangan Mami Laterina dan Papi Mondo, serta Cornel Nadeak sebagai Alon, adik kandung dari Cian.

Alur cerita film ini berkisah tentang perjalanan yang berliku atau petualangan sebuah keluarga Batak, dalam melaksanakan tradisi Mangongkal Holi (dibaca: Mangokkal Holi), atau penguburan tulang belulang Tulang Tua, yang sebelumnya sudah dimakamkan di Bandung, ke kampung mereka di sekitaran Danau Toba.

Ketidaklancaran perjalanan keluarga tersebut, pada dasarnya disebabkan oleh terjadinya berbagai hal yang tidak diperkirakan sebelumnya, seperti koper untuk membawa tulang belulang tersebut tertukar dengan koper penumpang pesawat lainnya, mobil yang mereka tumpangi menuju kampung, juga dalam perjalanan dirampok oleh dua orang perampok, yang merupakan korban penggusuran, dan lainnya.

Tradisi Mangongkal Holi ini sudah diselenggarakan oleh masyarakat Toba sejak zaman Megalitikum. Pada masa itu, mereka masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Pada masa sekarang tradisi ini bisa menghabiskan dana sampai ratusan juta rupiah, dan biasanya berlangsung selama berhari-hari. Tulang belulang leluhur dalam tradisi ini kemudian dipersatukan dengan nenek moyang semarga generasi sebelumnya, dalam sebuah tugu pemakaman keluarga.

Saya kurang paham, apakah pada masa lalu, sebelum masyarakat Indonesia menjalankan sistem ekonomi kapitalisme, biayanya sudah sebesar sekarang, yaitu sampai ratusan juta rupiah? Yang jelas tentu saja, jika melihat budaya asli masyarakat Indonesia, secara umum, atau khususnya masyarakat Batak, yaitu gotong royong, atau kolektivisme, tentulah biayanya tidak sebesar masa sekarang, yang semuanya serba dihargai dengan uang.

Di kampung saya sendiri, di sebuah desa di Provinsi Sumatera Barat, sekitar akhir 80-an atau awal 90-an, saya masih merasakan konsumsi dalam suatu acara pernikahan di sebuah desa, biasanya dimasak secara bersama oleh warga setempat.

Setiap warga yang berpartisipasi dalam kegiatan memasak secara kolektif tersebut, biasanya akan mendapat jatah makanan, untuk dibawa pulang. Pada zaman sekarang, orang biasanya lebih memilih untuk mengeluarkan biaya guna memesan makanan dari usaha/bisnis katering, untuk konsumsi acara-acara yang dihadiri tamu dengan jumlah banyak.

Dalam film Tulang Belulang Tulang, diceritakan bagaimana Opung Tiolin harus bekerja selama 25 tahun, untuk mengumpulkan uang, guna membiayai pelaksanaan tradisi ini oleh keluarganya. Jika penyelenggaraan upacara Mangongkal Holi ini berhasil, maka gengsi atau harga diri keluarga mereka akan terkerek naik. Sebaliknya, jika tidak, maka keluarga yang bersangkutan akan jatuh harga dirinya dan menderita malu.

Di sinilah kita bisa melihat secara jelas, bagaimana sistem ekonomi kapitalisme telah mengubah esensi dan makna pelaksanaan tradisi suatu masyarakat. Dengan biaya pelaksanaan yang besar, maka sebuah tradisi yang sejatinya bersifat kolektif, hanya bisa diselenggarakan oleh keluarga yang punya uang banyak, atau keluarga kelas atas saja, yang punya akses eksklusif terhadap keuangan dalam sistem kapitalisme.

Sejujurnya, hal ini tidak hanya terjadi dalam masyarakat Batak saja, tetapi juga pada masyarakat Indonesia, secara keseluruhan. Kita bisa lihat, misalnya, dalam berbagai acara yang dihadiri oleh orang banyak, pengadaan konsumsi, yang dulunya merupakan tanggung jawab kolektif, pada masa sekarang diurusi oleh usaha pengadaan makanan, seperti katering, yang pembiayaannya ditanggung oleh individu atau kelompok yang memesan katering tersebut. Artinya, tidak lagi dikerjakan secara bersama, seperti zaman dulu.

Secara keseluruhan film Tulang Belulang Tulang sangat menarik untuk ditonton bersama keluarga. Ada banyak sekali pesan-pesan moral tersirat dalam film ini, yang bisa memicu kita untuk merenungkan makna tradisi, keluarga, dan kehidupan.

Akan tetapi, tentu saja, ada beberapa kekurangan dalam film ini, yaitu beberapa adegan yang cukup wagu (membingungkan), seperti adegan ketika Mami Laterina tengah menyetir mobil, lagu Minang mengalun nyaring dari audio mobil yang dikemudikannya. Yang bersangkutan juga menyanyikannya dengan fasih. Padahal, seharusnya lagu yang ditampilkan adalah lagu Batak, karena memang latar masyarakatnya adalah masyarakat Batak, yang bahasanya berbeda jauh dengan bahasa Minang.

Adegan lain, tidak kalah wagu-nya, adalah adegan Alon berhalusinasi karena mengonsumsi jamur yang memabukkan, yang dihidangkan oleh salah seorang penghuni hutan, ketika mereka tersasar di sebuah hutan. Seharusnya, si penghuni hutan, yang bertindak sebagai tuan rumah, paham, jamur mana yang beracun dan tidak, sehingga ia tidak keliru memasak dan menghidangkannya untuk tamu.

Akhir kata, film Tulang Belulang Tulang, adalah film bagus dan berkualitas, yang sangat layak untuk ditonton. Ide cerita dan alur yang menarik, serta di luar kelaziman, semakin menambah kualitas dan mutu film ini. Selain itu, berbagai pesan moral, juga tersaji, secara implisit, bagi kita untuk direnungkan, dan dijadikan sebagai pelajaran serta panduan untuk menjalani kehidupan. Selamat menonton.

Harsa Permata