Sejarah politik Indonesia sudah berkali-kali ngasih kita pelajaran. Siapa pun yang memegang kuasa harus menjaga ‘perkataannya’. Soekarno dulu bisa mengguncang jutaan orang hanya dengan pidato, Soeharto bertahan selama tiga dekade dengan bahasa kuasa, sementara reformasi 1998 lahir karena suara mahasiswa yang nggak berhenti menggema. Artinya jelas, kata-kata bukan sekadar suara, tapi napas yang bisa membangun atau meruntuhkan.
Namun, di zaman sekarang, komunikasi publik bukan lagi hanya soal podium atau pidato resmi. Medianya banyak yang sudah pindah ke layar ponsel, ke Instagram, TikTok, bahkan YouTube.
Sayangnya, ada politisi terlalu menganggap remeh komunikasi publik di ruang digital. Padahal, di dunia politik, satu kata bisa menyalakan api yang melahap seluruh kredibilitas.
Lihatlah apa yang terjadi saat ini. Ketika rakyat ribut soal tunjangan DPR, yang dibutuhkan tuh nada empati; kalimat sederhana yang mengakui keresahan rakyat terkait situasi sulit sedang menimpa semua orang, dan bahwa wakil rakyat siap meninjau kembali kebijakan. Namun, yang muncul malah komentar enteng, seolah-olah masalah ini sepele.
Buat rakyat yang setiap hari berjuang dengan harga beras dan biaya sekolah, mendengar wakilnya bicara ‘seenak jidat begitu’ jelas terasa kayak penghinaan.
Di titik inilah komunikasi publik berubah jadi senjata makan tuan. Bukannya meredakan, malah memperlebar jurang. Masyarakat nggak lagi melihat mereka sebagai wakil, melainkan polah nirempati dari ‘Yang Terhormat’.
Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, Ahmad Sahroni, termasuk Deddy Sitorus dan Adies Kadir. Popularitas (baik bergulat di dunia entertain, pengusaha sukses, maupun yang tajir melintir) jadi modal utama melangkah ke gedung parlemen.
Namun, politik bukan panggung komedi, bukan sinetron, bukan reality show. Politik adalah ruang di mana satu kata bisa memicu luka, di mana satu kalimat bisa bikin pagar rumah roboh dan reputasi ambruk dalam semalam.
Ketika wacana tunjangan DPR bergulir, rakyat tuh lagi ada di titik jenuh. Harga barang pokok nggak terkendali, lapangan kerja makin sempit, dan kepercayaan pada wakil rakyat merosot tajam.
Dalam situasi itu, publik menunggu suara yang menyejukkan. Mereka ingin diyakinkan wakilnya peka, dan DPR bukan menara gading yang jauh dari realita. Namun, yang terdengar malah ucapan enteng, candaan yang nggak pada tempatnya, dan nada bicara yang terasa pongah. Kata-kata yang mungkin dimaksudkan ringan, jadi terdengar kayak ejekan buat rakyat yang berjuang dari hari ke hari.
Dan di sinilah tragedi itu bermula. Komunikasi publik yang buruk meruntuhkan benteng pertahanan yang seharusnya dimiliki politisi.
Masyarakat nggak lagi melihat mereka sebagai wakil. Amarah pun membesar, nggak hanya di media sosial, tapi juga di jalanan. Rumah Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, Ahmad Sahroni yang megah jadi sasaran, dijebol, dijarah, dihancurkan. Kulkas, karpet, dispenser, bahkan kucing peliharaan pun diangkut. Seolah-olah rakyat ingin menunjukkan kesombongan bisa dipreteli, kekuasaan bisa dilucuti, dan mereka yang tinggi bisa direndahkan hanya dalam hitungan jam (terlepas peristiwa tersebut ditunggangi atau nggak).
Terlepas sudah minta maaf, sayangnya nasib berubah cepat. Kursi empuk, jabatan prestisius, dan kehormatan yang dulu mereka nikmati, bak hilang begitu saja. Semua runtuh bukan karena kasus korupsi miliaran, bukan karena terbukti makar, tapi karena salah bicara, salah membaca emosi, salah memilih cara berkomunikasi. Inilah tragedi yang paling ironis dalam politik masa kini, yang mana kehancuran bisa datang bukan lewat senjata, tapi lewat lidah.
Sejarah akan mencatat peristiwa ini nggak hanya gelombang demonstrasi, tapi juga sebagai pelajaran pahit terkait komunikasi. Ya, kata-kata bisa memicu kerusuhan, mengubah kekaguman jadi kebencian, termasuk menjungkirkan orang dari kursi kehormatan ke titik nista. Dan lebih dari itu, sejarah akan mengingat komunikasi publik nggak sebatas keterampilan, melainkan seni empati. Tanpa empati, setiap kata adalah racun.
Mungkin kelak, generasi berikutnya saat membaca kisah ini dalam buku sejarah. Mereka akan menggeleng, bertanya-tanya bagaimana orang-orang bisa jatuh begitu cepat hanya karena salah bicara. Namun, bagi kita yang hidup di hari ini, peristiwa ini nggak cuma pelajaran akademis, melainkan kenyataan pahit. Kita melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana komunikasi publik yang buruk bisa menghancurkan karir, menumbangkan wibawa, dan membakar habis sisa-sisa popularitas.
Dan pada akhirnya, menurutku, politik adalah soal bagaimana mengelola kata. Mereka yang menguasai kata, tentunya bisa menenangkan rakyat dan mungkin menguatkan bangsa. Namun, mereka yang abai (menggunakan kata tanpa rasa) akan melihat dirinya terpuruk di bawah reruntuhan amarah rakyat.
Yuk, tetap waras di tengah politik Indonesia yang kacau, Sobat Yoursay!
Baca Juga
-
Film Jembatan Shiratal Mustaqim, Horror Paling Dinanti
-
Sinopsis Film Mothernet: Sci-Fi Indonesia yang Tayang Perdana di Busan
-
Emak Hijab Pink, Menulis Sejarah Merah Putih di Hadapan Barikade Aparat
-
Memahami Kredit Film yang Terlalu Basi Ditunggu Sampai Kelar
-
Influencer Ditawari Bungkam Rakyat: Jeri dan Jerome Polin Tolak Jadi Corong Kekuasaan!
Artikel Terkait
-
Istilah "Demi Un Grr" Viral Jadi Sindiran Nyeleneh Netizen ke DPR, Apa Artinya?
-
Jejak Digital Ahmad Sahroni: Ngaku Mafia BBM hingga Tak Tahu Gaji DPR
-
Rayen Pono Geram Eko Patrio hingga Uya Kuya Cuma Dinonaktifkan: Pecat!
-
Sempat Roasting Tiga Tahun Lalu, Sindiran Kiky Saputri ke Ahmad Sahroni Jadi Kenyataan
-
'DPR Beda dengan ASN': Ferry Irwandi Serukan Penghapusan Tunjangan Pensiun Dewan
Kolom
-
Bukan Mau Kudeta, Pak! Memahami Keresahan Rakyat di Balik Stigma Makar
-
Saat Layanan Ojek Online Menjadi Jembatan Solidaritas Lintas Negara
-
Hoaks dan Deepfake: Saat Dunia Maya Menentukan Realita Kita
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Ahmad Sahroni hingga Uya Kuya Tumbang: Gelombang Politik Baru dan Aspirasi Rakyat
Terkini
-
BRIN dan IOCAS Mulai Riset Laut Jangka Panjang, Soroti Polusi Plastik dan Arus Global
-
Dari Kerudung Pink hingga Jaket Ojol: Kisah di Balik 3 Warna yang Mengguncang Aksi Demo di Indonesia
-
Lebih dari Sekadar Olahraga: Futsal untuk Pengembangan Anak Muda
-
Review Film Dracula: A Love Tale, Cinta Vampir yang Bikin Melting
-
Acil Bimbo Tutup Usia 82 Tahun, Indonesia Kehilangan Maestro Musik Religi