Publik Indonesia dikejutkan oleh kabar penembakan gas air mata dan peluru karet di sekitar dua kampus ternama di Bandung yaitu Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Pasundan (UNPAS). Peristiwa ini tidak sekadar menjadi berita lokal, melainkan memicu diskusi nasional, bahkan sorotan media internasional.
Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan menyampaikan aspirasi, mendadak berubah menjadi medan ketegangan.
Fakta-fakta yang muncul di lapangan menunjukkan adanya benturan antara aparat keamanan dan mahasiswa, yang sedang mengekspresikan pandangan politik mereka di tengah meningkatnya gejolak sosial-ekonomi di Indonesia.
Fakta dan Kronologi Peristiwa Gas Air Mata, Peluru Karet, dan Luka Mahasiswa
Beberapa catatan penting yang terkonfirmasi tentang kejadian ini yakni aparat keamanan menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah area kampus. Seorang mahasiswa UNPAS, Muhammad Ilham, dilaporkan terkena peluru karet sebanyak dua kali dan kini dalam perawatan medis.
Kemudian, dari pihak rektor UNISBA memang menegaskan bahwa polisi tidak sampai masuk ke area dalam kampus. Namun, gas air mata yang ditembakkan di jalan raya depan kampus tetap berdampak pada mahasiswa dan suasana belajar.
Beberapa saksi menyebut bahwa situasi semakin kacau ketika aparat melakukan penyisiran di sekitar Jalan Tamansari, lokasi yang berdekatan dengan kedua kampus tersebut.
Hingga saat ini, aparat kepolisian menyatakan masih melakukan penyelidikan dan mengklaim bahwa tindakan pengendalian massa diperlukan karena situasi dianggap mengganggu ketertiban umum.
Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa meskipun aparat menganggap tindakannya "prosedural", realitas di lapangan memperlihatkan adanya korban dari pihak mahasiswa, terganggunya proses akademik, serta rusaknya kepercayaan publik terhadap aparat keamanan.
Mahasiswa Bukan Ancaman, Mereka Alarm Bangsa
Kita perlu melihat kembali siapa mahasiswa itu. Mereka bukan "perusuh" sebagaimana sering dilabeli dalam narasi aparat. Mahasiswa adalah kelompok intelektual muda yang mewakili keresahan masyarakat.
Ketika harga melambung, ketika kebijakan fiskal dianggap menekan, ketika demokrasi terasa menyempit, mahasiswa bergerak sebagai alarm sosial.
Dalam kasus UNPAS dan UNISBA, mahasiswa tidak sedang menodai kampus. Mereka sedang mengingatkan kita semua bahwa ada hal-hal yang tidak beres dalam tata kelola bangsa ini. Menjawab alarm dengan gas air mata sama saja dengan menutup telinga terhadap suara rakyat sendiri.
Kejadian ini juga mengingatkan kita bahwa kampus bukan sekadar institusi pendidikan. Ia adalah rumah demokrasi tempat lahirnya calon pemimpin bangsa, tempat ide-ide kebijakan diuji, dan tempat kebebasan berpendapat dilatih.
Rektor, dosen, dan civitas akademika harus berani bersuara. Membiarkan kampus diselimuti gas air mata sama saja membiarkan intelektualitas mati pelan-pelan.
Kasus UNPAS dan UNISBA adalah peringatan keras bagi bangsa. Demokrasi kita berada di persimpangan bahwa mahasiswa bukan musuh negara. Mereka adalah mitra kritis yang bisa memperbaiki kebijakan.
Aparat bukan musuh rakyat. Mereka adalah pelindung, bukan penyerang. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran bahwa konflik harus dikelola dengan cara yang lebih beradab.
Gas air mata mungkin bisa membubarkan massa, tetapi ia tidak bisa memadamkan aspirasi. Aspirasi hanya bisa diolah melalui dialog. Dan dialog hanya mungkin jika negara berani mendengar, bukan sekadar berbicara.
Peristiwa di UNPAS dan UNISBA adalah cermin wajah demokrasi kita hari ini. Luka yang ditinggalkan pada mahasiswa, trauma yang dialami civitas akademika, dan rusaknya citra aparat hanyalah sebagian dari konsekuensinya.
Jika kita belajar dari sejarah, seharusnya peristiwa ini menjadi titik balik agar negara kembali menempatkan mahasiswa sebagai sahabat perubahan, bukan musuh yang harus dibungkam.
Karena pada akhirnya, bangsa yang sehat bukanlah bangsa yang sepi kritik, melainkan bangsa yang mampu mengolah kritik menjadi energi kemajuan.
Baca Juga
-
Waspada Provokasi Digital: Jaga Indonesia dengan Semangat Warga Jaga Warga
-
Brave Pink dan Hero Green: Warna Perlawanan dan Simbol Tuntutan Rakyat 17+8
-
10 Nyawa Hilang, Ribuan Ditahan: Komnas HAM Desak Keadilan Restoratif
-
Dari Penjarahan ke Pesan Persatuan: Sri Mulyani Tepis Amarah dengan Harapan
-
Realitas Idealisme Di Tengah Badai: Cermin Bagi Indonesia Masa Kini
Artikel Terkait
-
Ganindra Bimo Diam-Diam Bantu Biaya Perawatan Remaja yang Jadi Korban Pemukulan Polisi di Bandung
-
Chika Jessica Kini Bungkam Soal Keponakan yang Dipukul Polisi, Pilih Tak Perpanjang Masalah
-
Jor-Joran di Bursa Transfer, Orientasi Persib Bandung Seharusnya Bukan Lagi Liga Domestik
-
Thom Haye Tinggalkan Eropa Demi Persib Bandung, Anco Jansen: Kok Mau Main di Sana?
-
Keponakan Jadi Korban Salah Pukul Aparat di Bandung, Chika Jessica: Nyawa Gak Bisa Diganti!
Kolom
-
Waspada Provokasi Digital: Jaga Indonesia dengan Semangat Warga Jaga Warga
-
Brave Pink dan Hero Green: Warna Perlawanan dan Simbol Tuntutan Rakyat 17+8
-
Ironi: Ketika Polisi Berbentrok dengan Rakyat Lalu Diganjar Promosi
-
10 Nyawa Hilang, Ribuan Ditahan: Komnas HAM Desak Keadilan Restoratif
-
Menyimak Kegelisahan Garin Nugroho dalam Film Siapa Dia
Terkini
-
Polemik Pertemuan Gibran Rakabuming dengan Driver Ojol Tuai Kritik, Bagaimana Faktanya?
-
Sinopsis Film Keadilan, Menariknya Kolaborasi Dua Sutradara Lintas Negara
-
Timnas Indonesia Optimis Tatap Laga Pembuka Kualifikasi Piala Asia U-23
-
PAN Desak DPR Setop Gaji, Tunjangan, dan Fasilitas Eko Patrio-Uya Kuya
-
Kualifikasi AFC U-23: Pasukan Garuda Muda Harus Jadikan Laos sebagai Gerbang Pembuka Putaran Final