Mahasiswa Bukan Musuh: Pesan di Balik Gas Air Mata UNPAS dan UNISBA

Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Mahasiswa Bukan Musuh: Pesan di Balik Gas Air Mata UNPAS dan UNISBA
Cuplikan CCTV yang beredar di platform X yang memperlihatkan bagaimana aparat menembakkan gas air mata ke kawasan kampus UNISBA dan UNPAS, Tamansari, pada 1 September 2025 pukul 23.40 WIB (x.com)

Publik Indonesia dikejutkan oleh kabar penembakan gas air mata dan peluru karet di sekitar dua kampus ternama di Bandung yaitu Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan Universitas Pasundan (UNPAS). Peristiwa ini tidak sekadar menjadi berita lokal, melainkan memicu diskusi nasional, bahkan sorotan media internasional.

Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan menyampaikan aspirasi, mendadak berubah menjadi medan ketegangan.

Fakta-fakta yang muncul di lapangan menunjukkan adanya benturan antara aparat keamanan dan mahasiswa, yang sedang mengekspresikan pandangan politik mereka di tengah meningkatnya gejolak sosial-ekonomi di Indonesia.

Fakta dan Kronologi Peristiwa Gas Air Mata, Peluru Karet, dan Luka Mahasiswa

Kampus Unisba dan Unpas diberondong gas air mata. [Instagram/@irwandiferry]
Kampus Unisba dan Unpas diberondong gas air mata. [Instagram/@irwandiferry]

Beberapa catatan penting yang terkonfirmasi tentang kejadian ini yakni aparat keamanan menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah area kampus. Seorang mahasiswa UNPAS, Muhammad Ilham, dilaporkan terkena peluru karet sebanyak dua kali dan kini dalam perawatan medis.

Kemudian, dari pihak rektor UNISBA memang menegaskan bahwa polisi tidak sampai masuk ke area dalam kampus. Namun, gas air mata yang ditembakkan di jalan raya depan kampus tetap berdampak pada mahasiswa dan suasana belajar.

Beberapa saksi menyebut bahwa situasi semakin kacau ketika aparat melakukan penyisiran di sekitar Jalan Tamansari, lokasi yang berdekatan dengan kedua kampus tersebut.

Hingga saat ini, aparat kepolisian menyatakan masih melakukan penyelidikan dan mengklaim bahwa tindakan pengendalian massa diperlukan karena situasi dianggap mengganggu ketertiban umum.

Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa meskipun aparat menganggap tindakannya "prosedural", realitas di lapangan memperlihatkan adanya korban dari pihak mahasiswa, terganggunya proses akademik, serta rusaknya kepercayaan publik terhadap aparat keamanan.

Mahasiswa Bukan Ancaman, Mereka Alarm Bangsa

Kita perlu melihat kembali siapa mahasiswa itu. Mereka bukan "perusuh" sebagaimana sering dilabeli dalam narasi aparat. Mahasiswa adalah kelompok intelektual muda yang mewakili keresahan masyarakat.

Ketika harga melambung, ketika kebijakan fiskal dianggap menekan, ketika demokrasi terasa menyempit, mahasiswa bergerak sebagai alarm sosial.

Dalam kasus UNPAS dan UNISBA, mahasiswa tidak sedang menodai kampus. Mereka sedang mengingatkan kita semua bahwa ada hal-hal yang tidak beres dalam tata kelola bangsa ini. Menjawab alarm dengan gas air mata sama saja dengan menutup telinga terhadap suara rakyat sendiri.

Kejadian ini juga mengingatkan kita bahwa kampus bukan sekadar institusi pendidikan. Ia adalah rumah demokrasi tempat lahirnya calon pemimpin bangsa, tempat ide-ide kebijakan diuji, dan tempat kebebasan berpendapat dilatih.

Rektor, dosen, dan civitas akademika harus berani bersuara. Membiarkan kampus diselimuti gas air mata sama saja membiarkan intelektualitas mati pelan-pelan.

Kasus UNPAS dan UNISBA adalah peringatan keras bagi bangsa. Demokrasi kita berada di persimpangan bahwa mahasiswa bukan musuh negara. Mereka adalah mitra kritis yang bisa memperbaiki kebijakan.

Aparat bukan musuh rakyat. Mereka adalah pelindung, bukan penyerang. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran bahwa konflik harus dikelola dengan cara yang lebih beradab.

Gas air mata mungkin bisa membubarkan massa, tetapi ia tidak bisa memadamkan aspirasi. Aspirasi hanya bisa diolah melalui dialog. Dan dialog hanya mungkin jika negara berani mendengar, bukan sekadar berbicara.

Peristiwa di UNPAS dan UNISBA adalah cermin wajah demokrasi kita hari ini. Luka yang ditinggalkan pada mahasiswa, trauma yang dialami civitas akademika, dan rusaknya citra aparat hanyalah sebagian dari konsekuensinya.

Jika kita belajar dari sejarah, seharusnya peristiwa ini menjadi titik balik agar negara kembali menempatkan mahasiswa sebagai sahabat perubahan, bukan musuh yang harus dibungkam.

Karena pada akhirnya, bangsa yang sehat bukanlah bangsa yang sepi kritik, melainkan bangsa yang mampu mengolah kritik menjadi energi kemajuan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Mau notif berita penting & breaking news dari kami?