Sekar Anindyah Lamase | Ervina E. W.
Bendera merah putih yang berkibar pada aksi demonstrasi 29 Agustus di Jakarta (Instagram/suaradotcom)
Ervina E. W.

Gelombang demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Indonesia pada akhir Agustus hingga awal September 2025 menjadi sorotan dunia. Di balik teriakan dan spanduk, tuntutan yang disebut “17+8 Tuntutan Rakyat mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Tuntutan tersebut, yang mencakup pembatalan kenaikan tunjangan DPR hingga penuntasan kasus korupsi, menunjukkan bahwa ada kesenjangan besar antara harapan publik dan realitas kinerja wakil rakyat. Tragedi tewasnya 10 orang, sebagaimana dilaporkan, menjadi luka mendalam yang mempertanyakan esensi demokrasi di Indonesia: mengapa rakyat harus membayar mahal untuk didengar oleh mereka yang seharusnya melayani?

Ironi tersebut adalah manifestasi dari kegagalan sistem representasi yang seharusnya berfungsi secara proaktif. Menurut studi dari lembaga seperti Freedom House, demokrasi yang sehat memerlukan institusi legislatif yang responsif dan transparan terhadap aspirasi publik. 

Namun, dalam kasus Indonesia, respons DPR terhadap isu-isu krusial sering kali baru muncul setelah tekanan publik mencapai puncaknya, seperti yang terlihat pada demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada akhir Agustus hingga awal September lalu. Hal ini menunjukkan bahwa alih-alih menjadi jembatan aspirasi, DPR justru menjadi tembok yang mengharuskan rakyat untuk menerobosnya, bahkan dengan risiko nyawa.

Konflik peran: pelayan berperilaku layaknya penguasa

Potret demonstrasi Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) pada 04 September 2025 di Thamrin, Jakarta (x/barengwarga)

Secara teoretis, DPR adalah lembaga yang bertugas mewakili rakyat. Mereka dipilih untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, mengawasi jalannya pemerintahan, dan membuat undang-undang yang berpihak pada kepentingan publik, bukan elit. 

Gaji, tunjangan, dan berbagai fasilitas mewah yang dinikmati para anggota dewan berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Logika sederhana dari hubungan ini adalah rakyat sebagai "bos" dan DPR sebagai "pelayan" yang dipekerjakan untuk mengurus kepentingan bersama.

Namun, dalam praktiknya, hubungan antara rakyat dan DPR terbalik. Alih-alih melayani, banyak anggota DPR justru terlihat berperilaku layaknya penguasa. Mereka sering kali lebih sibuk dengan agenda politik pribadi atau partai, kabur ke luar negeri saat ada masalah, meninggalkan aspirasi rakyat yang tidak terdengar. 

Situasi krisisnya kepercayaan rakyat terhadap DPR semakin diperparah dengan kurangnya transparansi anggaran dan kinerja yang membuat publik sulit mengawasi. Kondisi ini membuat rakyat harus mengambil jalan ekstrem, seperti demonstrasi, untuk mengingatkan wakil mereka akan tugas utama mereka.

Mahalnya harga sebuah suara: tragedi 10 korban jiwa

Cuplikan CCTV yang beredar di platform X yang memperlihatkan bagaimana aparat menembakkan gas air mata ke kawasan kampus Unisba dan Unpas, Tamansari, pada 1 September 2025 pukul 23.40 WIB (x.com)

Laporan mengenai 10 korban jiwa sepanjang terjadinya demonstrasi adalah bukti nyata betapa mahalnya harga yang harus dibayar rakyat untuk didengar. Tragedi ini bukan sekadar statistik, melainkan simbol kegagalan institusi negara dalam melindungi warga negaranya sendiri saat mereka menyuarakan pendapat. 

Reaksi para pemimpin DPR, seperti pernyataan maaf dari Ketua DPR Puan Maharani atau janji evaluasi dari Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, muncul setelah tragedi 10 korban jiwa terjadi. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah mengapa tindakan nyata baru diambil oleh DPR setelah banyak nyawa melayang?

Banyak pihak menganggap respons DPR terlambat dan reaksioner. Menurut laporan dari Amnesty International, perlindungan terhadap hak-hak demonstran dan kebebasan berekspresi adalah fundamental dalam negara demokrasi. Ketika kekerasan aparat terjadi dan nyawa melayang, hal itu menunjukkan adanya krisis dalam penegakan hak asasi manusia. Insiden ini menegaskan bahwa suara rakyat dianggap remeh sampai kerugian besar terjadi, memaksa para pemangku kebijakan untuk bertindak.

Transformasi institusi: menuju DPR yang berpihak pada rakyat

Aliansi Perempuan Indonesia (API) menggelar aksi unjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Senin (25/11/2024). (Suara.com/Fakhri)

Untuk menghindari tragedi serupa di masa depan, DPR harus melakukan reformasi mendasar dalam cara mereka berinteraksi dengan publik. Pertama, mereka harus membangun mekanisme yang lebih responsif dan mudah diakses untuk menerima aspirasi rakyat. Platform digital, konsultasi publik yang rutin, dan forum terbuka harus menjadi prioritas, bukan hanya formalitas. Ini akan memungkinkan DPR untuk mendengarkan rakyat secara proaktif, alih-alih menunggu demonstrasi pecah.

Kedua, transparansi anggaran dan kinerja harus ditingkatkan. Rakyat berhak tahu ke mana saja uang pajak mereka digunakan, termasuk untuk kunjungan kerja atau tunjangan yang sering kali menimbulkan kontroversi. Menurut laporan dari Transparency International, transparansi adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah korupsi. Dengan membuka data kinerja dan keuangan, DPR dapat menunjukkan komitmennya untuk bertanggung jawab kepada rakyat.

Ketiga, dan yang paling penting, adalah perubahan paradigma dari anggota dewan. Mereka harus sadar bahwa jabatan mereka adalah amanah, bukan hak istimewa. Mereka harus melihat diri mereka sebagai pelayan publik, bukan sebagai penguasa yang tidak tersentuh. Paradigma ini dapat diwujudkan melalui komitmen untuk selalu berpihak pada rakyat, mendengarkan kritik, dan bertindak cepat mengatasi masalah.

Tragedi direnggutnya 10 nyawa dalam demonstrasi adalah pengingat yang pahit bahwa demokrasi bukanlah sekadar pemilu atau parlemen. Kedaulatan rakyat tidak boleh hanya menjadi slogan, melainkan praktik yang dijalankan setiap hari. Rakyat sebagai pemilik mandat tidak seharusnya harus mengemis perhatian dari wakil mereka atau mengorbankan nyawa demi didengar. Tanggung jawab untuk memperbaiki situasi ini ada di tangan DPR.

Dengan merangkul transparansi, responsif, dan mengubah paradigma, DPR dapat memulihkan kepercayaan publik dan menunjukkan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk rakyat. Jika tidak, maka demokrasi Indonesia akan terus terperosok dalam ironi di mana rakyat harus mengorbankan segalanya hanya untuk mengingatkan pembantunya agar bekerja sesuai tugas. Ini adalah pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi di negara ini.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS