Setiap kali berita reshuffle kabinet diumumkan dari Istana Negara, suasananya langsung heboh. Media sibuk menebak siapa yang masuk dan siapa yang keluar, bursa nama bertebaran, dan kamera televisi berbaris menunggu siapa yang keluar-masuk Istana.
Tapi, pertanyaan penting yang jarang dijawab adalah rakyat sebenarnya dapat apa?
Karena bagi publik, reshuffle sering hanya terlihat seperti rotasi kursi elit. Menteri A diganti Menteri B, lalu kerja pemerintah berjalan lagi seperti biasa, dengan jargon baru, janji baru, dan tentu saja drama politik baru.
Tapi di luar pagar Istana, harga beras tetap mahal, subsidi listrik tetap dibatasi, ongkos hidup makin berat, dan lapangan kerja tak kunjung terbuka luas. Kalau begitu, di mana letak dampak nyata reshuffle bagi rakyat?
Mari kita ambil contoh terbaru. Sri Mulyani yang sudah lama dikenal sebagai “ikon teknokrat” digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa di kursi Menteri Keuangan.
Di media, ini disorot sebagai babak baru. Ada yang menyebut ini penyegaran, ada pula yang melihatnya sebagai sinyal bergesernya arah kebijakan fiskal. Tapi di mata rakyat kecil yang sedang pusing dengan harga cabai Rp 70 ribu per kilo, pergantian itu mungkin tak lebih dari headline di berita.
Reshuffle memang selalu datang dengan bahasa peningkatan kinerja. Presiden mengatakan ingin memperkuat tim kerja, merespons dinamika global, atau mempercepat pembangunan.
Namun, kalau kita melihat rekam jejak reshuffle di era SBY, Jokowi, hingga kini Prabowo, semuanya hampir tak ada perbedaan signifikan di dapur rakyat setelah wajah-wajah baru itu duduk di kursi kementerian.
Ambil contoh bidang ekonomi. Saat Jokowi mengganti sejumlah menteri ekonomi pada 2015, yang dijanjikan adalah perbaikan iklim investasi dan penurunan harga kebutuhan pokok.
Tapi nyatanya, harga sembako tetap fluktuatif, dan investasi memang masuk, tapi lebih banyak yang dinikmati korporasi besar ketimbang UMKM.
Kini, ketika Prabowo melakukan hal serupa, publik pun sudah berhenti berharap. Apakah benar pergantian nama di kementerian akan membuat harga beras di warung tetangga lebih murah?
Krisis kepercayaan publik ini diperparah dengan fakta bahwa reshuffle sering kali lebih didorong oleh pertimbangan politik ketimbang evaluasi kinerja.
Menteri yang kinerjanya dianggap buruk bisa bertahan karena kuatnya dukungan partai, sementara menteri yang sebenarnya cukup berprestasi bisa tersingkir hanya karena dianggap tak lagi sejalan dengan peta koalisi.
Publik pun melihat reshuffle bukan sebagai upaya memperbaiki pelayanan negara, melainkan sekadar upaya menjaga keseimbangan kursi kekuasaan.
Setiap kali reshuffle juga, ada kecenderungan kebijakan berubah haluan. Misalnya, seorang menteri lama punya program jangka panjang—katakanlah reformasi pajak atau transisi energi—begitu ia diganti, menteri baru datang dengan prioritas baru.
Akibatnya, program mangkrak, reformasi berhenti di tengah jalan, dan rakyat lagi-lagi hanya menjadi penonton dari tarik-ulur kepentingan elit.
Tak heran, setiap kali reshuffle diumumkan, komentar sinis muncul di media sosial. “Rakyat yang lapar nggak kenyang cuma dengan reshuffle.” Atau komentar seperti, “Harga beras nggak turun gara-gara ganti menteri, bro.”
Ini adalah bukti rasa frustrasi publik yang melihat politik hanya berputar-putar di lingkaran elit tanpa menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Padahal, reshuffle bisa saja menjadi momentum untuk betul-betul memperbaiki pelayanan negara.
Bayangkan jika reshuffle disertai dengan evaluasi kinerja yang transparan, indikator keberhasilan yang jelas, serta komitmen bahwa siapa pun yang duduk di kursi menteri harus punya target yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat, entah itu harga pangan stabil, pendidikan lebih murah, atau akses kesehatan lebih merata.
Sayangnya, mekanisme itu jarang terlihat. Publik tidak tahu apa tolok ukur menteri dinilai berhasil atau gagal. Yang mereka tahu hanyalah tiba-tiba ada menteri yang diganti, yang justru makin mempertebal jarak antara pemerintah dan publik.
Krisis kepercayaan inilah yang berbahaya. Karena ketika rakyat mulai merasa reshuffle hanya permainan elit, rasa apatis akan tumbuh. Politik makin jauh dari keseharian rakyat, dan kepercayaan terhadap negara makin rapuh. Akhirnya, kita punya kabinet yang rajin berganti wajah, tapi kehidupan masyarakat tetap saja stagnan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Baru Dilantik, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa Sudah Bikin Joko Anwar Emosi
-
Kronologi Akun Instagram Purbaya Yudhi Sadewa Digeruduk Netizen, sampai Diminta Mundur
-
Profil Yudo Sadewa, Diduga Anak Menkeu Purbaya yang Sindir Sri Mulyani
-
Belum Sehari Jadi Menteri, Menkeu Purbaya Sudah Bikin Kontroversi Soal 17+8, Auto Banjir Kritikan
-
Sama-Sama Lulusan Amerika, Ini Beda Pendidikan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dengan Sri Mulyani
Kolom
-
Buku Masih Jadi Teman atau Sekadar Tanda Kehadiran di Kampus?
-
Maaf PSSI, Kami Tak Terlalu Sedih Meski Timnas Indonesia Gagal Lolos ke Piala Asia U-23
-
Gen Z dan Dompet Kosong? Mengungkap Gaya Hidup Cashless dan Wi-Fi Only yang Bikin Geleng Kepala
-
Aktivis Vian Ruma dan Ironi Suara Rakyat yang Dihilangkan
-
Ketika Perpustakaan dan Kecerdasan Buatan Duduk Bersama di Senja Hari
Terkini
-
4 Toner Korea Calendula, Penyelamat Buat Kulit Sensitif dan Redakan Redness
-
Maaf Coach Gerald, Timnas Indonesia U-23 Masih Butuh Pemain Sekaliber Marceng dan Ivar Jenner!
-
Bangun Personal Branding Lewat Main Futsal
-
Padel: Olahraga Viral yang Lebih Seru dari Tenis? Ini Alasan Gen Z Langsung Ketagihan!
-
Review Film Mama: Pesan dari Neraka, Horor Digital yang Bikin Parno!