- Perpustakaan perlu beradaptasi lewat digitalisasi, Human Library, dan regulasi baru.
- Masa depan perpustakaan ada pada kolaborasi: AI memberi efisiensi, manusia memberi makna.
- AI mempercepat akses pengetahuan, tapi empati pustakawan tetap tak tergantikan.
Bayangkan sebuah dunia di mana seluruh pengetahuan, dari kisah nenek moyang nusantara hingga teori relativitas Einstein, bisa kita genggam hanya dalam hitungan detik. Bayangkan jari kita menari di atas layar ponsel, lalu jutaan halaman terbuka begitu saja. Dalam sekejap, sebuah laporan tersusun rapi, grafis terpampang indah, dan informasi mengalir deras tanpa perlu menunggu. Kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) membuat mimpi masa kecil tentang ensiklopedia tak terbatas kini menjelma nyata.
Namun di tengah derasnya arus informasi yang berlari lebih cepat daripada detak jantung, muncul pertanyaan yang lebih sunyi dan sederhana. Apakah perpustakaan, khususnya Perpustakaan Nasional, masih punya ruang di era ketika semua pengetahuan seolah sudah berada di genggaman. Pertanyaan itu seperti sebuah bisikan lirih, kadang terabaikan, tetapi mendesak untuk dijawab.
Jawaban yang jujur mungkin mengejutkan. Ya, perpustakaan tetap relevan, bahkan lebih penting daripada sebelumnya. Bukan hanya karena ia menyimpan berjuta koleksi buku, tetapi karena ia menjadi jembatan antara dinginnya algoritma dan hangatnya sentuhan manusia.
Russell dan Norvig pada 2016 menyebut AI sebagai studi tentang agen yang mampu berperilaku cerdas dalam lingkungan kompleks. Dalam dunia perpustakaan, definisi itu menemukan wajahnya. AI bisa membantu pustakawan menata koleksi, memberi rekomendasi bacaan, atau bahkan menganalisis pola pengunjung. Dalam banyak kasus, teknologi ini membuat waktu lebih efisien dan pelayanan lebih akurat. Seolah pintu pengetahuan tidak lagi berat untuk didorong.
Namun di balik keajaiban itu, ada batas yang tak bisa ditembus algoritma. AI bisa bekerja dengan data, tetapi ia tidak memiliki empati. Ia bisa membaca pola, tetapi ia tak tahu bagaimana mendengar kisah seseorang yang datang ke perpustakaan dengan mata sembab, mencari buku bukan hanya untuk belajar, melainkan untuk menemukan alasan bertahan. Di titik itulah pustakawan memegang peran yang tidak tergantikan.
Perpusnas memahami bahwa manusia tidak bisa digantikan. Karena itu mereka menggagas sesuatu yang jauh lebih hangat daripada katalog digital. Konsep Human Library lahir sebagai ruang di mana manusia menjadi buku hidup. Di sana, pengalaman, luka, tawa, dan pandangan hidup dapat dipinjam. Kepala Perpusnas, E. Aminudin Aziz, bahkan menegaskan bahwa sampai tahun 2050 sekalipun, peran manusia tak akan mampu dilenyapkan oleh kecerdasan buatan. Human Library menjadi ruang di mana mesin hanya bisa berdiri di pinggir, sementara manusia saling menyapa dengan tatapan mata.
Tentu saja teknologi tetap penting. Perpustakaan kini bisa menampilkan katalog digital, mengizinkan konsultasi daring, atau menyajikan koleksi literatur yang bisa diakses dari jauh. Dengan AI, pencarian judul buku lebih cepat, dokumen lama lebih mudah ditemukan, dan akses ke bahan bacaan lebih merata. Semua ini adalah bentuk adaptasi agar perpustakaan tetap menjadi rumah yang tidak ditinggalkan oleh zaman.
Namun, di tengah kemajuan, hukum juga harus berlari. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 sudah terasa sempit untuk memayungi kompleksitas teknologi hari ini. Perubahan regulasi menjadi kebutuhan agar perpustakaan bisa menyesuaikan diri dengan dunia digital yang tak mengenal jeda.
Di tengah dilema itu, penelitian Febriyanti Bifakhlina pada 2024 memberi gambaran yang terang. AI membawa peluang sekaligus ancaman. Ia bisa menyusun metadata otomatis, mengklasifikasikan buku dengan presisi, dan menghadirkan Chatbot cerdas dua puluh empat jam penuh. Namun ia juga menuntut pustakawan untuk berubah, melepaskan sebagian peran tradisional, dan bertransformasi menjadi pengelola informasi yang nyaris menyerupai robot.
Kita bisa belajar dari Universitas Muhammadiyah Surakarta yang memadukan sistem rekomendasi berbasis AI. Atau dari Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang mengembangkan Chatbot referensi berbasis bahasa alami. Kedua contoh itu menunjukkan bahwa AI tidak selalu dingin. Ia bisa membantu pengguna memangkas waktu, menemukan koleksi yang relevan, dan menjawab kebutuhan akademik sederhana tanpa menunggu. Pada saat yang sama, ia membebaskan pustakawan dari pekerjaan repetitif sehingga waktu mereka bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bernilai.
Tetapi agar tidak tertinggal, pustakawan harus beradaptasi. Mereka mesti menguasai analisis data, literasi digital, hingga manajemen informasi. Pelatihan berkelanjutan menjadi syarat agar mereka tidak tenggelam di tengah gelombang perubahan. AI bukan untuk menggantikan, melainkan mempertebal peran pustakawan sebagai penjaga pengetahuan yang tetap berpihak pada kemanusiaan.
Perpusnas memegang posisi strategis. Ia bukan hanya rumah buku, tetapi mercusuar literasi nasional. Ia harus menjadi pusat pelatihan AI bagi pustakawan di seluruh Indonesia, sekaligus pengembang sistem yang bisa diadaptasi di sekolah dasar, perpustakaan daerah, hingga perguruan tinggi. Dengan begitu, pemanfaatan AI tetap berpihak pada keterbukaan, keberagaman, dan validitas informasi.
Namun, ada hal yang lebih halus daripada efisiensi. O’Leary pernah mengingatkan bahwa secanggih apa pun teknologi, ia tak akan berfungsi tanpa manusia yang memahami cara kerjanya. Kajian IFLA juga menekankan pentingnya literasi informasi di tengah banjir hoaks. Johnson mengingatkan soal etika, mulai dari privasi hingga keadilan sosial. Semua itu menunjukkan bahwa AI hanyalah instrumen, sementara manusia adalah nakhoda yang menentukan arah kapal.
Pada akhirnya, inti dari perpustakaan bukanlah tumpukan buku, melainkan koneksi antar manusia. AI bisa menyusun katalog, memberi saran, bahkan menulis laporan. Tetapi ia tidak mampu memahami senyum seorang anak yang baru saja menemukan buku pertamanya. Ia tidak tahu bagaimana menghibur seorang peneliti yang lelah, atau menemani seseorang yang kesepian. Di tengah dunia yang semakin terotomatisasi, pustakawan adalah pengingat bahwa pengetahuan bukan hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk dimaknai.
Mungkin begitulah masa depan perpustakaan. Bukan memilih antara manusia atau mesin, tetapi membuat keduanya duduk bersama di senja hari. AI memberi kecepatan, manusia memberi kehangatan. AI menyusun data, manusia menenun makna. Dan perpustakaan berdiri di tengah-tengah, menjadi ruang di mana keduanya saling melengkapi, demi satu tujuan yang sama: menjaga pengetahuan agar tetap hidup dan berguna bagi semua.
Baca Juga
-
Demokrasi Digital, Kuasa Influencer dan Krisis Kepakaran
-
Propaganda Buzzer, Ancaman Doxxing dan Masa Depan Iklim Demokrasi Digital
-
Mengapa Kita Perlu Sadar Politik dan Hak-Hak Dasar Warga Negara Sejak Dini?
-
Membahasakan Inklusivitas Sosial Melalui Olahraga Futsal
-
Prediksi Potensi Bisnis di Ekosistem Futsal: Lapangan Kecil, Ekonomi Besar
Artikel Terkait
-
Prompt Terbaru Siap Pakai untuk Bikin Miniatur AI Foto Diri Sendiri hingga Pasangan
-
Apakah Edit Foto Pakai AI Berbahaya? Hati-Hati Keamanan Privasi hingga Kesehatan Mental
-
4 Aplikasi untuk Membuat Miniatur AI Selain Gemini, Lengkap dengan Cara Menggunakannya
-
Trik Bikin Foto Miniatur AI Versi Ucapan Ulang Tahun Pakai Gemini, Tinggal Copas Prompt
-
7 Prompt Miniatur AI Gantungan Kunci Lengkap dengan Cara Membuatnya
Kolom
-
NTT dan Bali Dilanda Banjir, Apa Kabar Tata Ruang Kita?
-
Unpaid Internship: Atas Nama Pengalaman dan Eksploitasi Tenaga Kerja Gratis
-
Sikap Ksatria Rahayu Saraswati, Teladan Integritas dalam Dunia Politik
-
Timnas Gagal Lagi: Proses Tanpa Arah dan Suporter yang Semakin Lelah
-
Sesak Ruang Digital Penuh Komentar hingga Iklan Hasil Deepfake Judi Online
Terkini
-
Detik-detik Vila Sultan Bali Ludes Terbakar Tersambar Petir, Pemilik Bule Cuma Bisa Melongo!
-
Review Film Sukma: Rahasia Gaib di Balik Obsesi Awet Muda!
-
4 Sheet Mask Korea Shea Butter, Ampuh Bikin Wajah Kering Lembap Tahan Lama
-
Startup Indonesia Gandeng Zeroboard Jepang untuk Tekan Emisi Karbon
-
Bedah Tuntas Kontroversi Rahayu Saraswati: 4 Poin Viral yang Berujung Mundur dari DPR