Di lobi kampus, pemandangan mahasiswa menenteng buku tebal bukan hal asing. Sampulnya berkilau, judulnya akademis, dan harganya sering kali tidak murah. Namun, pertanyaannya: apakah buku-buku itu benar-benar dibaca, atau hanya jadi tanda kehadiran dan formalitas di dunia perkuliahan?
Bagi sebagian mahasiswa, membeli buku adalah ritual akademik yang wajib dilakukan. Setiap awal semester, daftar referensi dari dosen seolah sudah jadi daftar belanja.
Buku kerap menjadi simbol status akademik. Ada kebanggaan tersendiri ketika tumpukan referensi dipajang di meja atau dibawa ke ruang kelas. Sebagian mahasiswa menjadikannya semacam “atribut wajib” agar terlihat serius menempuh kuliah. Tetapi ironisnya, banyak buku berakhir sebagai hiasan, masih terbungkus rapi plastik, atau hanya dibuka pada halaman daftar isi.
Fenomena ini memperlihatkan adanya dilema budaya literasi di kalangan sebagian mahasiswa. Di satu sisi, membeli buku dianggap sebagai bentuk tanggung jawab akademik. Di sisi lain, intensitas membaca sering kalah oleh ringkasan daring, atau bahkan materi presentasi dosen.
Buku Hadir, tapi Tak Selalu Benar-Benar Dijadikan Sumber Utama
Bagi sebagian mahasiswa, buku hadir hanya sebagai pelengkap. Keberadaannya di tas atau meja belajar memang menciptakan kesan serius, namun isi di dalamnya jarang benar-benar dijelajahi. Halaman demi halaman lebih sering dibiarkan utuh, seakan hanya menunggu waktu untuk kembali ditutup rapat.
Ketergantungan pada sumber instan seperti ringkasan daring, materi kuliah singkat, hingga cuplikan video penjelasan membuat buku cetak kalah pamor. Era digital membuat akses pengetahuan semakin cepat. PDF, artikel online, hingga video pembelajaran kerap menjadi pilihan instan dibanding membaca ratusan halaman teks cetak.
Membaca secara utuh juga kerap dianggap memakan terlalu banyak waktu, sementara ritme kuliah dan tugas sering menuntut jawaban cepat. Buku yang seharusnya menjadi rujukan mendalam pun hanya dipakai sebagai penguat formalitas atau sekadar dicantumkan di daftar pustaka, bukan dibaca hingga tuntas.
Antara Simbol Intelektual dan Budaya Literasi
Membawa buku tebal sering kali diartikan sebagai tanda keseriusan seorang mahasiswa. Tumpukan referensi di meja belajar bisa memberi kesan intelektual, bahkan ketika buku tersebut jarang disentuh. Di titik ini, buku beralih fungsi menjadi simbol atau sebuah penanda identitas akademik yang lebih banyak berbicara soal citra daripada isi.
Di sisi lain, budaya literasi seakan berjalan di tempat. Mahasiswa terbiasa menggunakan buku sebagai formalitas, tetapi belum sepenuhnya menjadikannya jembatan menuju pemahaman mendalam. Akibatnya, hubungan dengan buku menjadi dangkal, dalam arti ada secara fisik, tetapi kosong dalam pemanfaatan.
Antara Formalitas dan Masa Depan Literasi
Fenomena membeli tanpa membaca memperlihatkan pergeseran orientasi bagi beberapa mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan. Buku tak lagi sepenuhnya diposisikan sebagai sumber belajar, melainkan sebagai aksesori akademik. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa melahirkan generasi yang terbiasa dengan kecepatan informasi, tetapi kehilangan kedalaman pemahaman.
Pertanyaannya, apakah budaya membaca buku masih punya masa depan di tengah derasnya arus digital? Bisa jadi iya, jika mahasiswa mulai memandang buku bukan sekadar formalitas, melainkan sebagai sarana memperkaya perspektif dan melatih ketekunan berpikir. Pada akhirnya, buku tetap bisa menjadi teman sejati, bukan sekadar tanda kehadiran di kampus, jika memang ada kesadaran untuk benar-benar membacanya.
Lebih jauh lagi, buku bukan sekadar benda yang dibeli, melainkan jendela untuk memahami dunia. Pertanyaannya tinggal: berani membacanya, atau cukup puas dengan hanya menjadikannya pajangan semata?
Baca Juga
-
Fadil Jaidi Bagikan Kisah Pilu Detik-Detik Warga Tamiang Selamatkan Diri
-
Meski Sudah Berpisah, Erika Carlina Tetap Rayakan Ulang Tahun DJ Bravy
-
Intip Sinopsis Film Timur yang Gaet Penjual Burger untuk Perankan Prabowo
-
Komunitas Tukang Cukur Galang Donasi Lewat Jasa Cukur Berbayar Sukarela
-
Angkat Isu Bullying di Sekolah, Film Qorin 2 Hadirkan Teror dari Dendam
Artikel Terkait
-
Aksi Nyata PENGMAS Perma AGT FP Unila di Panti Asuhan Ruwa Jurai
-
iPhone di Tangan, Cicilan di Pundak: Kenapa Gen Z Rela Ngutang Demi Gaya?
-
Kritik Sosial Lewat Medsos: Malaka Project Jadi Ajak Gen Z Lebih Melek Politik
-
Gen Z dan Dompet Kosong? Mengungkap Gaya Hidup Cashless dan Wi-Fi Only yang Bikin Geleng Kepala
-
Unpaid Internship: Atas Nama Pengalaman dan Eksploitasi Tenaga Kerja Gratis
Kolom
-
Banjir Aceh-Sumatera: Solidaritas Warga Lari Kencang, Birokrasi Tertinggal
-
Self-esteem Recovery: Proses Memulihkan Diri setelah Mengalami Bullying
-
Silent Bullying: Perundungan yang Tak Dianggap Perundungan
-
Generasi Muda dalam Ancaman menjadi Pelaku dan Korban Bullying
-
Kenapa Gen Z Menjadikan Sitcom Friends sebagai Comfort Show?
Terkini
-
Mental Baja, Asnawi Mangkualam Sentil Federasi: Harusnya Lindungi Tim Kami
-
Cantik Nggak Harus Mahal, Inilah 5 Tips Tampil Alami dan Tetap Glowing
-
5 Rekomendasi Drama China Zhao Yaoke, Mantan Member KOGIRLS
-
Punya Mata Batin, Sara Wijayanto Akui Belajar dari Makhluk Tak Kasat Mata
-
Niatnya Bikin Konten Nakal di Bali, Bintang OnlyFans Ini Malah Berakhir Didenda dan Dideportasi