Hikmawan Firdaus | Mira Fitdyati
Budaya Kolektivisme Masyarakat Indonesia (unsplash/firman fatthul)
Mira Fitdyati

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dengan kata lain, setiap manusia saling bergantung satu sama lain untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik.

Kita ketahui bersama bahwa masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya gotong royongnya. Budaya gotong royong merupakan salah satu bentuk adanya ketergantungan dalam membangun kehidupan bermasyarakat.

Apakah rasa ketergantungan terhadap orang lain itu baik? Pada dasarnya ketergantungan dapat memberikan rasa saling menjaga dan membantu satu sama lain.

Namun, bagaimana jika rasa ketergantungan itu berlebihan dan bahkan bertahan dalam jangka waktu yang relatif lama? Tentunya hal tersebut memberikan dampak negatif, sebagaimana budaya kolektivisme masyarakat Indonesia dalam dimensi Hofstede.

Seorang konten kreator, Aldio Ogut menyampaikan melalui unggahan video di Akun TikTok @mudacumasekali pada Selasa (24/6/2025). “Dalam budaya kolektivisme, kebanyakan orang memilih mengikuti apa yang dianggap benar oleh mayoritas, meskipun sebenarnya belum tentu benar. Hal ini juga sering terjadi pada masyarakat Indonesia,” ucapnya.

Nilai budaya kolektivisme membentuk bagaimana cara pandang seseorang sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu, dengan menekankan rasa ketergantungan serta kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi. Sering kali demi mempertahankan keharmonisan hubungan dengan orang lain, membuat seseorang sulit menolak atau berkata “tidak” pada suatu hal yang sebenarnya tidak disukai. Hal tersebut dilakukan masyarakat kolektivisme karena dikhawatirkan akan menyinggung perasaan orang lain.

Budaya dapat menjadi faktor penentu manusia dalam berperilaku, untuk menentukan bagaimana perilaku yang dianggap tepat dan bagaimana manusia seharusnya bertindak. Tentu saja hal tersebut juga berpengaruh pada bagaimana cara seseorang dalam menghadapi, merespons, ataupun memecahkan permasalahan yang terjadi dalam interaksinya dengan orang lain.

Rasa ketergantungan terhadap orang lain secara emosional dalam suatu hubungan dapat melibatkan kebutuhan yang berlebihan akan validasi, perhatian, atau persetujuan dari orang lain untuk merasa baik tentang diri sendiri. Kehadiran orang lain dalam hidup kita dapat menjadi sebuah dukungan yang berarti, tetapi kadang ketergantungan emosional terhadap mereka juga dapat menjadi sebuah tantangan yang menghambat pertumbuhan seseorang. Selain itu, ketika seseorang terlalu bergantung pada orang lain, ia cenderung kesulitan mengambil keputusan sendiri, bahkan untuk hal sederhana seperti memilih warna pakaian yang akan dikenakan. 

Masyarakat kolektivisme yang memiliki rasa ketergantungan terhadap orang lain, di masa kecilnya dididik untuk memiliki rasa malu, takut, dan merasa sungkan. Hal ini menyebabkan terbentuknya rasa kepercayaan diri yang rendah, kurang ekspresif, dan kurang adanya inisiatif dalam bertindak.

Dalam dimensi budaya Hofstede terdapat budaya kolektivisme dan individualisme. Dalam budaya individualisme seseorang akan memiliki sifat independen, yang merupakan lawan dari rasa ketergantungan terhadap orang lain. Sehingga segala pilihan dan keputusan ada di tangannya sendiri. 

Sedangkan, dalam masyarakat budaya kolektivisme terdapat budaya di mana seseorang sejak lahir hingga seumur hidupnya dijadikan bagian dari suatu kelompok tertentu. Hal ini sering ditemui dalam suatu keluarga besar yang saling melindungi satu sama lain dan menentang kelompok yang bertentangan dengannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki budaya kolektivisme, sehingga masyarakatnya memilih untuk lebih mementingkan kebutuhan kelompoknya.

Apakah semua masyarakat kolektivisme memiliki rasa ketergantungan terhadap orang lain? Tentunya tidak. Bagaimana rasa ketergantungan itu muncul pada diri seseorang dengan ciri-ciri yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga menyebabkan beberapa hal yang dapat merugikan diri sendiri. 

Oleh sebab itu, diperlukan hubungan interdependen yang letaknya berada di tengah-tengah antara kemandirian emosional dan ketergantungan emosional. Hubungan ini merupakan hubungan yang paling sehat, karena seseorang dapat mengenali kebutuhan emosionalnya sendiri dan dapat melakukan upaya dalam memenuhi berbagai kebutuhannya sendiri.

Sebagai individu kita perlu membiasakan diri untuk berusaha melakukan sesuatu dengan kemampuan sendiri terlebih dahulu. Jika memang tidak mampu, barulah kita meminta bantuan orang lain. Dengan demikian, ketergantungan kita pada orang lain hanya sebatas hal-hal yang benar-benar diperlukan, bukan pada semua hal.