Hernawan | Thedora Telaubun
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyampaikan bantahan terkait narasi yang beredar mengenai kerahasiaan data capres-cawapres. [Suara.com/Bagaskara]
Thedora Telaubun

Bayangin deh, kamu lagi scroll feed Instagram, akun favorit tiba-tiba jadi private. Bisa lihat profil doang, foto terakhir nggak kelihatan, cuma bisa “percaya” apa yang dia posting. Nah, KPU sempat bikin situasi mirip gitu… tapi ini versi politik!

Di tengah era digital yang serba terbuka, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menetapkan kebijakan yang mengejutkan: 16 dokumen penting calon presiden dan wakil presiden kini menjadi informasi yang dikecualikan, alias tidak bisa diakses publik tanpa izin tertulis dari calon yang bersangkutan. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 yang ditandatangani pada 21 Agustus 2025.

Private Account Capres?

Dokumen yang dirahasiakan mencakup fotokopi KTP elektronik, akta kelahiran, ijazah, SKCK, laporan harta kekayaan, hingga NPWP. Hanya daftar riwayat hidup dan visi-misi calon yang tetap dapat diakses publik. KPU beralasan bahwa kebijakan ini diambil untuk melindungi data pribadi dan sesuai dengan uji konsekuensi yang dilakukan.

Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Beberapa pihak menilai bahwa keputusan ini mengancam prinsip keterbukaan informasi publik dan berpotensi merugikan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa publik berhak mengetahui rekam jejak dan integritas calon pemimpin negara sebelum memberikan suara.

Drama Singkat, Pembatalan Cepat

Ketua KPU Afifuddin menegaskan, “Kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan KPU”, seperti yang dikutip dari Suara.com di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (16/9). 

Drama ini cuma bertahan sebentar. 16 September 2025, KPU batalkan Keputusan 731/2025. Artinya, semua dokumen penting sekarang kembali bisa diakses publik. Publik nggak perlu lagi cuma “modal feeling” buat nilai calon pemimpin mereka.

Momen ini nggak cuma soal dokumen capres, tapi juga belajar bareng soal demokrasi. Respons KPU nunjukin, kritik dan masukan publik itu penting, bahkan bisa bikin lembaga resmi mundur selangkah demi transparansi. Jadi, demokrasi itu nggak cuma aturan di kertas, tapi proses interaktif antara lembaga dan masyarakat.

Kalau dianalogikan ke media sosial: “akun privat capres” akhirnya dibuka. Kamu bisa scroll, cek dokumen, nilai calon dengan bukti, bukan cuma percaya kata orang. Drama singkat ini ngegambarin kalau transparansi itu penting, dan meski kadang tertunda, tetap harus dijaga.