Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa bisa dikatakan salah satu transisi paling menarik di awal pemerintahan Prabowo. Selama hampir dua dekade, wajah pengelolaan fiskal Indonesia selalu identik dengan nama Sri Mulyani.
Purbaya Yudhi Sadewa dianggap teknokrat, disiplin, dan kerap menjadi tameng negara dalam menghadapi badai ekonomi global. Kini, tampuk itu berpindah ke tangan Purbaya, seorang ekonom yang pernah menjadi Deputi Menko Perekonomian sekaligus Kepala LPS, dengan gaya yang jelas berbeda.
Tidak perlu waktu lama, Purbaya langsung membuat gebrakan. Baru saja duduk di kursi Menkeu, ia mulai merombak postur RAPBN 2026. Ia bicara tentang menaikkan transfer ke daerah, menggeser Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank komersial, hingga mengingatkan kementerian yang suka membiarkan anggarannya nganggur tanpa terserap. Langkah-langkah ini tentu bukan sekadar kosmetik. Ini adalah sinyal jelas bahwa gaya mengatur anggaran negara sedang berubah. Pertanyaannya, perubahan ini sebuah gebrakan berani, atau justru judi besar yang bisa berisiko bagi ekonomi kita?
Mari kita lihat dari beberapa sisi.
1. Transfer ke daerah.
Selama ini, banyak kepala daerah mengeluh bahwa dana transfer dari pusat terlalu kecil, terlalu ribet, atau telat cair. Akibatnya, Pemda sering terpaksa mencari pemasukan sendiri, termasuk dengan menaikkan pajak atau pungutan daerah. Kita sempat lihat kasus pajak bumi dan bangunan (PBB) yang melonjak dan bikin masyarakat keberatan.
Dengan menaikkan transfer ke daerah, Purbaya seolah ingin menutup celah itu. Pemda punya ruang fiskal lebih lega, proyek pembangunan bisa jalan, dan rakyat tidak perlu dicekik pajak lokal. Dari sudut pandang rakyat, tentu ini tampak sebagai kabar baik. Tetapi dari sisi APBN, apakah benar negara mampu menanggung beban itu tanpa menambah defisit yang sudah menganga?
2. Langkah kontroversial soal Rp200 triliun dana pemerintah yang dipindahkan dari Bank Indonesia ke bank komersial.
Ide dasarnya sederhana: daripada dana nganggur di BI, lebih baik dialirkan ke bank-bank agar bisa menambah likuiditas, memperbesar kredit, dan pada akhirnya mendorong ekonomi riil. Logikanya mirip membuka keran air yang mampet. Namun, keran ini tidak otomatis mengalir ke sawah atau kebun rakyat kecil.
Bank bisa saja lebih memilih menyalurkan kredit ke sektor yang aman dan menguntungkan, seperti properti besar atau konglomerasi, daripada UMKM yang berisiko. Sehingga, meskipun uangnya mengalir, kita tetap perlu bertanya: mengalir ke mana? Jangan-jangan yang dapat manfaat justru para pemain besar, sementara rakyat kecil hanya kebagian efek tetesan yang entah sampai atau tidak.
3. Teguran Purbaya soal anggaran kementerian yang tidak terserap
Ini sebenarnya bukan isu baru. Setiap tahun selalu ada cerita anggaran triliunan rupiah yang kembali ke kas negara karena tidak sempat dibelanjakan. Alasannya macam-macam: birokrasi rumit, tender telat, sampai proyek yang belum siap. Purbaya ingin memutus tradisi ini. Ia bahkan memberi sinyal akan mengambil dana yang nganggur dan mengalihkannya ke pos lain yang lebih butuh.
Secara logika manajemen, ini langkah sehat. Tetapi tentu akan menimbulkan resistensi dari kementerian atau lembaga yang merasa dipotong jatahnya. Politik anggaran di Indonesia sering kali bukan soal hitung-hitungan excel semata, melainkan juga soal gengsi, kekuasaan, dan tarik-menarik kepentingan.
Kalau kita tarik ke gambaran besar, gaya Purbaya tampak lebih pragmatis, berani, bahkan agak nekat. Berbeda dengan Sri Mulyani yang dikenal hati-hati, Purbaya justru terkesan siap mengambil risiko besar demi percepatan pertumbuhan ekonomi. Ia tidak ingin uang negara hanya parkir di BI atau mandek di rekening kementerian. Ia ingin uang itu bergerak, cepat, dan nyata. Filosofinya sederhana: ekonomi butuh bensin, dan bensin itu adalah likuiditas yang harus segera dibakar di mesin pembangunan.
Namun, di balik semangat percepatan, ada pertanyaan penting: apakah infrastruktur birokrasi kita cukup siap menyalurkan dana sebesar itu secara efektif? Apakah bank-bank benar-benar akan menyalurkan kredit ke sektor produktif, bukan sekadar menambah portofolio yang menguntungkan mereka saja? Apakah Pemda mampu mengelola transfer dana yang lebih besar tanpa terjebak pada kebocoran dan korupsi?
Inilah titik di mana gebrakan bisa berubah menjadi judi. Kalau semuanya berjalan sesuai harapan, langkah Purbaya bisa mencetak sejarah baru. Ekonomi bergerak lebih cepat, pembangunan di daerah merata, dan APBN lebih dinamis. Tetapi kalau salah arah, kita bisa menghadapi risiko inflasi, pemborosan, atau bahkan ketidakstabilan fiskal yang sulit dikendalikan.
Dalam ekonomi, keberanian memang perlu. Tetapi keberanian tanpa kalkulasi matang bisa menjadi bumerang. Kita semua tentu ingin percaya bahwa Purbaya punya hitungan detail di balik kebijakan-kebijakannya. Bahwa setiap rupiah yang digeser sudah ada tujuannya, dan setiap risiko sudah ada mitigasinya. Namun sebagai rakyat yang sudah terbiasa dengan jargon manis, kita juga berhak skeptis. Kita berhak bertanya: uang yang katanya mengalir, apakah benar sampai ke dapur rakyat?
Pada akhirnya, kebijakan fiskal itu seperti membangun rumah. Sri Mulyani selama ini dikenal sebagai arsitek yang detail, kadang terlalu perfeksionis sehingga pembangunan terasa lambat tetapi kokoh. Purbaya datang seperti kontraktor yang gesit, berani bongkar sana-sini, dengan janji rumah akan cepat jadi. Tetapi kita tahu, rumah yang dibangun cepat tidak selalu tahan lama. Ada risiko retak, bocor, bahkan roboh kalau fondasinya tidak diperkuat.
Jadi, apakah rombakan anggaran ala Purbaya ini gebrakan atau judi? Jawabannya mungkin baru akan terlihat beberapa tahun ke depan. Untuk saat ini, kita hanya bisa menonton sekaligus berharap. Harapannya sederhana: jangan sampai uang rakyat diperlakukan seperti chip di meja kasino. Karena bagi rakyat kecil, setiap rupiah bukan sekadar angka di APBN, melainkan nasi di piring makan sehari-hari.
Baca Juga
-
Bebas Pajak Bagi Pekerja Rp10 Juta ke Bawah: Kado Manis atau Ilusi?
-
Ketika Bioskop Jadi Papan Pengumuman Nasional
-
Air Mata di Kathmandu: Medsos Diblokir, Rakyat Bangkit, Pemerintah Runtuh
-
Purbaya Yudhi Sadewa Jadi Menkeu: Harapan Baru atau Sama Saja?
-
Wajah Korupsi Indonesia 2025: Dari Chromebook, Pertamina, hingga Kuota Haji
Artikel Terkait
-
CORE Indonesia Lontarkan Kritik Pedas, Kebijakan Injeksi Rp200 T Purbaya Hanya Untungkan Orang Kaya
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
Diminta DPR Tambah Bansos Sembako, Menkeu Purbaya Langsung Sanggupi: APBN Cukup!
-
Terungkap! Utang BLBI Jadi Biang Kerok, Ini Perkara yang Bikin Tutut Soeharto Gugat Menkeu Purbaya
-
Selesai! Tutut Soeharto Cabut Gugatan, Menkeu Purbaya Ungkap Pesan Akrab: Beliau Kirim Salam
Kolom
-
Media Sosial dan Dunia Anak: Antara Manfaat dan Tantangan
-
Pendidikan Etika Digital sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
-
Foto Manipulatif AI, Pelecehan Seksual, dan Kegeraman Publik di Era Digital
-
Kencing di Dalam Bioskop, Pentingnya Jaga Adab Ruang Publik
-
Ironi Kebijakan Prabowo: Smart TV Dibeli, Guru Honorer Terlupakan
Terkini
-
Djamari Chaniago Siap Beri Masukan Reformasi Polri Bersama Ahmad Dofiri
-
Tren Konten Soal Matematika di Medsos, Gen Z Gagal Paham Operasi Hitung?
-
Sosok Yurike Sanger, Cinta Singkat Bung Karno yang Wafat di Usia 80 Tahun
-
Duet Tissa Biani dan Dul Jaelani: Tak Lagi Ragu Jadi Romantisme Baru
-
RilisanPeringkat FIFA Bulan September dan Intimidasi Malaysia yang Siap Kudeta Pasukan Garuda