M. Reza Sulaiman
ilustrasi cancel culture. (Dok. Gemini AI/Nano Banana)

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah cancel culture semakin sering muncul di ruang publik, terutama di media sosial. Fenomena ini merujuk pada tindakan mengucilkan, memboikot, atau menarik dukungan terhadap seseorang akibat pernyataan atau perilaku yang dianggap bermasalah. Cancel culture berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai ruang utama untuk menyampaikan pendapat dan membentuk opini publik.

Awalnya, cancel culture dipandang sebagai cara masyarakat menuntut tanggung jawab moral. Namun, dalam praktiknya, fenomena ini kerap berubah menjadi penghakiman massal yang berlangsung cepat dan tanpa proses klarifikasi yang adil.

Bagaimana Cancel Culture Terbentuk?

Cancel culture biasanya bermula dari sebuah unggahan, video, atau pernyataan yang viral. Konten tersebut kemudian menyebar luas, memicu reaksi emosional, dan diikuti oleh gelombang kritik dari banyak orang. Media sosial mempercepat proses ini karena algoritma cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi, seperti kemarahan atau kontroversi.

Dalam situasi seperti ini, konteks sering kali diabaikan. Kesalahan masa lalu, pernyataan yang terpotong, atau informasi yang belum tentu benar dapat langsung dijadikan dasar untuk menghukum seseorang secara sosial. Tekanan publik pun meningkat, sering kali disertai dengan tuntutan boikot, pemecatan, atau penghapusan individu tersebut dari ruang sosial.

Dampak Cancel Culture terhadap Kesehatan Mental

Dampak paling nyata dari cancel culture dirasakan pada kesehatan mental individu yang menjadi target. Serangan komentar negatif secara masif dapat memicu stres berat dan kecemasan. Individu merasa diawasi, dihakimi, dan kehilangan rasa aman, bahkan dalam kehidupan pribadi.

Cancel culture juga dapat meningkatkan risiko depresi. Kehilangan dukungan sosial, rusaknya reputasi, dan rasa malu yang mendalam membuat seseorang merasa tidak berharga. Dalam banyak kasus, individu memilih untuk menarik diri dari lingkungan sosial atau menghentikan aktivitas yang sebelumnya mereka jalani karena takut kembali diserang.

Selain itu, tekanan psikologis yang terus-menerus dapat menyebabkan gangguan tidur, kelelahan emosional, dan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Dampak ini tidak selalu terlihat secara langsung, tetapi dapat berlangsung lama dan memengaruhi individu dalam jangka panjang.

Dampak Sosial yang Lebih Luas

Cancel culture tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga membentuk iklim sosial. Banyak orang menjadi lebih takut untuk menyampaikan pendapat atau berdiskusi secara terbuka. Fenomena ini mendorong self-censorship, di mana individu memilih diam demi menghindari risiko diserang oleh publik.

Akibatnya, ruang dialog menjadi sempit. Alih-alih mendorong diskusi kritis dan pembelajaran bersama, masyarakat cenderung memilih sikap menghakimi. Hal ini berpotensi menghambat perkembangan pemikiran, toleransi, dan empati dalam kehidupan sosial.

Cancel culture menunjukkan betapa kuatnya kekuatan kolektif di era digital. Di satu sisi, kritik dan akuntabilitas memang penting, tetapi tanpa empati dan ruang untuk memperbaiki diri, hukuman sosial dapat berubah menjadi kekerasan psikologis. Kita perlu membedakan antara kritik yang membangun dan serangan yang merusak.

(Flovian Aiko)