Setiap kali pemerintah mengumumkan “bantuan” untuk siswa, guru, atau sekolah, kita diminta bertepuk tangan seolah negara sedang bermurah hati. Padahal, ada yang keliru sejak pilihan katanya. Pendidikan bukan sedekah, bukan hadiah, apalagi belas kasih. Itu adalah hak konstitusional warga negara yang dananya berasal dari uang publik.
Ketika hak disebut bantuan, relasi antara negara dan rakyat diam-diam dibalik: kewajiban dipoles menjadi kebaikan, dan tuntutan hak dianggap rasa tidak tahu diri. Di titik inilah bahasa menjadi alat paling halus untuk menurunkan standar tanggung jawab negara.
Hak Konstitusional yang Terus Disalahpahami sebagai Bantuan
Narasi “bantuan” dalam dunia pendidikan Indonesia terdengar begitu akrab. Siswa dapat bantuan, guru dapat bantuan, sekolah dapat bantuan. Kalimat-kalimat ini diulang terus, dari pidato pejabat sampai spanduk di halaman sekolah. Masalahnya, di situlah letak kekeliruannya. Pendidikan formal di Indonesia tidak berdiri di atas belas kasihan negara. Itu berdiri di atas kewajiban konstitusional.
Tidak ada istilah “bantuan” dalam pemenuhan hak pendidikan. Negara tidak sedang menyumbang dari uang pribadinya. Negara sedang menjalankan kewajiban yang dibiayai dari pajak rakyat.
Konstitusi kita sangat jelas. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kata kuncinya: wajib. Bukan opsional. Bukan tergantung niat baik rezim. Bukan hadiah.
Sekolah, Guru, dan Siswa Tidak Sedang Diberi Belas Kasih
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan nasional yang bermutu dan berkeadilan. Dana BOS, KIP, tunjangan guru, rehabilitasi sekolah. Semuanya bukan “bantuan”. Itu instrumen negara untuk memenuhi amanat undang-undang.
Ketika hak dasar dibungkus sebagai “bantuan”, terjadi distorsi relasi kuasa. Negara tampil sebagai dermawan. Rakyat diposisikan sebagai penerima belas kasih. Padahal relasi yang benar adalah sebaliknya: negara adalah pelaksana mandat, rakyat adalah pemilik hak.
Bahaya dari narasi ini bukan sekadar soal istilah. Ini membentuk cara berpikir publik. Ketika siswa miskin diberi KIP, publik diajak bertepuk tangan. Ketika guru honorer diberi insentif, dianggap kebaikan luar biasa. Padahal pertanyaan yang seharusnya muncul adalah: kenapa hak ini baru diberikan sekarang? Kenapa tidak merata? Kenapa masih banyak yang tercecer?
Narasi Keliru Negara: Hak Warga Disulap Jadi Bantuan
Logika yang sama terjadi pada bansos. Bantuan sosial sering dipromosikan sebagai kemurahan hati pemerintah. Padahal UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) secara eksplisit menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Itu bukan amal. Itu kewajiban.
Ketika bansos atau pendidikan terus-menerus disebut “bantuan”, kritik menjadi tumpul. Masyarakat merasa tidak enak menuntut lebih, karena sudah “dibantu”. Padahal rakyat berhak menuntut kualitas, akses, pemerataan, dan keberlanjutan.
Dalam pendidikan, dampaknya sangat nyata. Sekolah kekurangan fasilitas dianggap wajar asal “sudah dibantu”. Guru honorer digaji rendah dianggap maklum asal “ada insentif”. Murid putus sekolah dianggap kasuistik, bukan kegagalan sistem.
Jika Negara Menyebut Hak sebagai Bantuan, Ada yang Salah
Narasi ini juga berbahaya secara politik. Itu menguntungkan siapa pun yang berkuasa. Hak publik dipersempit menjadi program, program dipersempit menjadi proyek, proyek dipersempit menjadi pencitraan. Spanduk “pemerintah hadir” dipasang, seolah-olah kehadiran itu hadiah, bukan kewajiban.
Sudah waktunya kita luruskan bahasa. Pendidikan bukan bantuan. Bansos bukan kebaikan hati. Itu semua adalah hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi dan dibiayai oleh uang rakyat.
Kalau negara gagal memenuhinya, itu bukan kurang derma. Itu pelanggaran kewajiban. Dan pelanggaran kewajiban, dalam negara hukum, seharusnya bisa dipertanyakan, dikritik, dan dituntut.
Baca Juga
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Satir Pendidikan dan Perjuangan Anak Muda
-
Novel Sejuta Waktu untuk Mencintaimu: Belajar Tetap Utuh Meski Terluka
-
Di Balik Tahta Sulaiman: Menyusuri Batin Bilqis di Novel Waheeda El Humayra
-
Mengenal Jonah Complex: Sindrom Takut Berhasil yang Dialami Banyak Orang!
Artikel Terkait
Kolom
-
Lebih dari Sekadar Boikot: Bagaimana Cancel Culture Membentuk Iklim Sosial
-
Deforestasi atas Nama Pembangunan: Haruskah Hutan Terus jadi Korban?
-
Raja Ampat Dijaga dari Wisatawan, Eksploitasi Masih Mengintai
-
Remaja, Keranjang Oranye, dan Ilusi Bahagia Bernama Checkout
-
Terperangkap Bayang-Bayang Patriarki, Laki-Laki Cenderung Lambat Dewasa
Terkini
-
Sinopsis Bidadari Surga, Film Baru Rey Mbayang dan Dinda Hauw
-
Diterpa Isu Simpanan Pejabat, Ini Jejak Karier dan Asmara Shandy Aulia
-
Tolak Paramount, Warner Bros. Discovery Tegas Ingin Dibeli Netflix
-
Kakak Meninggal di Hari Sidang Cerainya, Atalia Praratya Ungkap Penyebabnya
-
Lelah Bertemu Orang? Kenali 5 Sinyal Anda Perlu Jeda Sosial