Buku self improvement tak jarang dipandang sebagai jembatan untuk menuju perubahan diri ke arah yang lebih baik. Isi buku yang biasanya diangkat dari kisah nyata atau relevan dengan kehidupan membuat buku self improvement banyak diminati oleh berbagai kalangan sebab manfaat yang terkandung di dalam tulisan-tulisannya. Isi kontennya yang sarat akan inspirasi dan langkah-langkah praktis yang ditawarkan untuk menghadapi persoalan hidup bisa menumbuhkan rasa semangat dan optimisme nyata bagi pembaca.
Tak heran jika buku self improvement bisa memberikan suntikan energi positif bagi pembacanya agar termotivasi untuk mengembangkan kualitas diri. Di samping itu, buku self improvement juga memberi kesempatan pada pembaca untuk menumbuhkan tekad agar dapat keluar dari zona nyaman. Oleh sebab itu, buku ini digadang-gadang sebagai salah satu sarana untuk membangun mindset dan mengembangkan mutu hidup melalui usaha memperbaiki kebiasaan dan meninggalkan perilaku yang dianggap negatif.
Di beberapa kasus, perasaan tersebut bukan hanya sekadar euforia sesaat. Namun, dorongan positif yang terus dipupuk akan menjadi suatu kebiasaan baru yang lebih bermanfaat, seperti kebiasaan rajin berolahraga, manajemen waktu, mengatur kebiasaan, hingga mengontrol emosi dengan baik. Singkatnya, buku self improvement dapat berperan sebagai pemicu awal perubahan yang nyata bagi seseorang.
Sayangnya dari berbagai manfaat yang ditawarkan, buku self improvement juga tidak luput dari kekurangan. Acap kali narasi yang penuh motivasi untuk mengembangkan diri justru berubah menjadi tekanan untuk selalu bersikap positif dengan cara menyangkal energi negatif. Konten yang diangkat tidak jarang menuntut pembacanya untuk menekan perasaan marah, sedih, atau kecewa. Padahal, manusia memiliki kompleksitas emosional yang harus dirangkul secara seimbang. Pada akhirnya buku self improvement berpotensi menjadi toxic positivity bagi pembacanya karena narasi yang disusun malah memungkinkan seseorang bertindak untuk membatasi emosi yang dirasakan.
Sering Kali Muncul Ekspektasi tidak Realistis
Toxic positivity merupakan kondisi yang mendorong seseorang untuk selalu berpikir positif dan menekan emosi negatif. Dari konten buku self improvement yang sering mengajak pembaca untuk memandang segala sesuatu dengan positif, justru berpotensi menciptakan ekspektasi tidak realistis. Ketika buku pengambangan diri menawarkan solusi dan langkah untuk suatu persoalan, sedangkan pembaca tidak dapat memenuhi target seperti yang digambarkan, malahan akan berpotensi memunculkan perasaan gagal dan rasa bersalah. Lalu tekanan justru datang karena kita sudah terlanjur membandingkan usaha dengan hasil yang digadang-gadang dalam buku.
Di samping itu, konten dalam buku ini juga seringnya menekankan narasi "jangan menyerah" atau "tetap berpikir positif", seolah menganggap perasaan marah, lelah, atau kecewa adalah sikap yang keliru. Apabila narasi tersebut digaungkan secara berlebihan, justru yang berpotensi menumbuhkan angan-angan tentang kebahagiaan yang semu. Dalam jangka panjang, perasaan tersebut malah berpotensi memicu stres, bahkan memperburuk kondisi mental.
Temukan Porsi yang Seimbang!
Membaca buku self improvement akan lebih bermanfaat kalau diiringi dengan kesadaran bahwa segala bentuk emosi adalah perasaan yang valid. Kesedihan, kemarahan, kekecewaan, hingga rasa lelah bisa jadi merupakan sinyal penting untuk bisa memahami kondisi diri lebih baik. Dengan mengakui emosi tersebut, seseorang bisa lebih tangguh menghadapi tantangan hidup daripada hanya mengandalkan kata-kata yang penuh motivasi saja.
Selain itu, penting juga bagi pembaca untuk bersikap kritis terhadap suatu bacaan. Tidak semua konten yang ada dalam buku pengembangan diri dapat diserap begitu saja karena setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda dan tidak selalu sama dengan apa yang tertulis di dalam buku. Pembaca harus lebih bijak dan pintar memilah buku agar sesuai dengan kondisi pribadi sehingga buku self improvement bisa menjadi media yang tepat untuk mendorong motivasi diri.
Pada akhirnya, menyadari dan menerima kondisi diri, lalu memahami konteks dalam narasi pengembangan diri adalah langkah yang bisa dilakukan agar buku self improvement benar-benar dapat memberi manfaat sehingga terhindar dari jebakan toxic positivity.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Petjah: Benang Takdir yang Membuka Luka di Masa Lalu
-
Ulasan Novel The Lover Next Door: Ketika Jodoh Tak Akan Pergi ke Mana-mana
-
Saat Layanan Ojek Online Menjadi Jembatan Solidaritas Lintas Negara
-
Potret Budaya Palestina di Buku Homeland: My Father Dreams of Palestine
-
Ulasan Novel Aksara Sevanya: Drama Hidup Remaja dan Gejolak Cinta Segitiga
Artikel Terkait
-
Anhar Gonggong Tertawa Geli Polisi Sita Buku Franz Magnis Suseno: Harusnya Baca Dulu Isinya!
-
Ulasan Buku Kepada yang Patah: Pulih terhadap Luka yang Ditinggalkan
-
Apakah Sahabat Bisa Jadi Cinta? Jawaban Umi Astuti dalam To Be Loved Up
-
Novel Yujin, Yujin Resmi Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia: Kenapa Harus Baca?
-
Melogram: Cerita Band Sekolah yang Jadi Lebih dari Sekadar Musik
Kolom
Terkini
-
Futsal dan Tren Urbanisasi: Solusi Ruang Terbatas di Lingkup Perkotaan
-
Jared Padalecki Dilaporkan Main Film The Bodyguard Bersama Leighton Meester
-
Jadi Ketua LPS Baru, Ini Jejak Karier dan Pendidikan Anggito Abimanyu
-
Kisah Pilu Turis Australia: Digigit Monyet di Bali Berujung Bayar Tagihan RS Puluhan Juta!
-
Klarifikasi Berujung Bencana: Eks DPRD Gorontalo Makin Dirujak Netizen Gara-Gara Celotehan Istri?