Siapa bilang media sosial cuma milik orang kota? Sekarang masyarakat desa pun sudah akrab dengan Facebook, WhatsApp, Instagram, sampai TikTok. Internet yang makin mudah diakses bikin warga desa nggak lagi ketinggalan soal tren digital. Mulai dari komunikasi sehari-hari, jualan produk lokal, sampai update hiburan, semua sudah masuk ke dunia medsos.
Tapi, perubahan ini nggak datang tanpa konsekuensi. Kehadiran media sosial ternyata ikut “mengutak-atik” nilai budaya yang selama ini jadi fondasi kehidupan desa. Dari yang dulunya kolektif dan guyub, kini mulai geser ke arah yang lebih individual. Jurnal Rafiq Ilham Saputra dkk. (2025) menjelaskan, media sosial memang jadi agen perubahan besar yang nggak bisa dihindari.
Dari Gotong Royong ke Individualisme
Budaya gotong royong selama ini jadi ciri khas desa. Apa-apa dilakukan bareng-bareng: panen, hajatan, bahkan urusan kecil kayak memperbaiki jalan. Musyawarah tatap muka selalu jadi jalan keluar kalau ada masalah. Tapi sekarang, pemandangan itu makin jarang.
Banyak anak muda lebih sibuk dengan smartphone ketimbang nongkrong di pos ronda. Komunikasi yang dulunya hangat dan penuh interaksi langsung, bergeser jadi chat singkat di WhatsApp. Memang sih, lebih cepat dan praktis, tapi rasa kebersamaannya mulai berkurang. Menurut Saputra dkk. (2025), inilah bukti nyata bahwa nilai kolektif yang sudah lama mengakar mulai tergeser ke arah individualisme.
Generasi Tua vs Generasi Muda
Perbedaan ini makin kentara ketika bicara soal generasi. Orang tua cenderung memegang teguh tradisi, sementara anak muda lebih cepat mengadopsi gaya hidup digital. Kadang, gap ini bikin konflik kecil.
Misalnya, ketika ada acara gotong royong di desa, anak muda sering dicap malas karena lebih sibuk “scrolling” media sosial. Padahal, mereka sebenarnya bisa saja aktif di komunitas digital yang berbeda. Generasi tua sering melihatnya sebagai bentuk melupakan tradisi, sedangkan generasi muda menganggap itu bagian dari cara baru untuk bersosialisasi. Saputra dkk. (2025) menyebut fenomena ini sebagai konflik nilai antar generasi yang bisa memengaruhi kohesi sosial.
Medsos, Bukan Cuma Ancaman
Meski banyak tantangan, media sosial juga punya sisi positif yang besar. Bayangkan, tarian tradisional, upacara adat, atau kerajinan tangan desa bisa direkam lalu diunggah ke YouTube atau Instagram. Bukan cuma jadi tontonan, tapi bisa juga jadi promosi budaya ke dunia luar.
Contohnya, beberapa desa sudah mulai memanfaatkan medsos untuk pariwisata. Ada yang bikin konten TikTok tentang keindahan alam, ada juga yang pakai Instagram untuk promosi kerajinan lokal. Hasilnya? Bukan cuma budaya yang makin dikenal, tapi juga ekonomi desa ikut bergerak. Dalam jurnalnya, Saputra dkk. (2025) menegaskan bahwa media sosial justru bisa jadi ruang revitalisasi budaya kalau dipakai secara kreatif.
Tantangan: Literasi Digital
Sayangnya, nggak semua masyarakat desa punya bekal literasi digital yang cukup. Banyak yang bisa main medsos, tapi belum tentu bisa memilah mana konten yang bermanfaat dan mana yang justru berbahaya buat nilai budaya. Akibatnya, budaya asing yang masuk lewat internet sering kali lebih menarik perhatian, terutama generasi muda.
Kalau nggak hati-hati, ini bisa bikin budaya lokal kalah bersaing dan perlahan ditinggalkan. Itu sebabnya literasi digital jadi kunci penting. Seperti yang ditekankan Saputra dkk. (2025), literasi digital bukan cuma soal kemampuan teknis, tapi juga tentang kesadaran menjaga nilai budaya sambil tetap memanfaatkan teknologi.
Menjaga Tradisi di Era Digital
Pada akhirnya, media sosial adalah pedang bermata dua. Bisa jadi ancaman, tapi juga bisa jadi peluang. Semua tergantung bagaimana masyarakat desa menyikapinya. Kalau generasi muda bisa diajak melek digital sekaligus bangga dengan budaya lokal, maka tradisi bukan cuma bertahan, tapi malah bisa makin terkenal.
Saputra dkk. (2025) menyarankan strategi adaptif: menggunakan media sosial untuk promosi budaya sekaligus meningkatkan literasi digital. Dengan cara ini, desa bisa tetap menjaga identitas budaya tanpa harus tertinggal dari perkembangan zaman.
Jadi, kuncinya adalah keseimbangan. Jangan alergi dengan teknologi, tapi juga jangan sampai melupakan akar budaya. Kalau bisa mengelola keduanya, desa bukan hanya jadi tempat melestarikan tradisi, tapi juga bisa jadi pusat kreativitas digital yang nggak kalah keren dari kota.
Baca Juga
-
Bahagia demi Like: Drama Sunyi Remaja di Balik Layar Ponsel
-
Citra Bisa Menipu, tapi Energi Tidak Pernah Bohong
-
Guru yang Menjadi Cermin: Keteladanan yang Membangun Karakter Siswa
-
Menemukan Ketenangan di Tengah Dunia yang Selalu Online
-
Efisiensi Tanpa Overthinking: Menata Ulang Budaya Kerja Lembaga Mahasiswa
Artikel Terkait
-
Bentuk Pasukan Khusus di Dunia Maya, Cara BNPT Mencegah Radikalisme di Era Tanpa Batas
-
Kronologi Mencekam Sekuriti-Pekerja Toba Pulp Lestari Serbu Warga Adat Sihaporas, Ibu-ibu Dipukuli
-
Pekerja Toba Pulp Lestari Serbu Warga Adat: Anak Disabilitas Dipukul, Rumah dan Posko Dibakar!
-
Nudging dan Media Sosial: Kombinasi Ampuh Bikin Konsumsi Generasi Z Lebih Berkelanjutan
-
Mengintip Pameran Seni UNFOLD: Saat Furnitur Jadi Seni dan Identitas Lokal
Kolom
-
Saat Bahasa Ngapak Nggak Lagi Jadi Bahan Tertawaan
-
Bahagia demi Like: Drama Sunyi Remaja di Balik Layar Ponsel
-
Saat Kujang Emas: Batara Jayarasa Menyulut Fantasi-Aksi Perfilman Indonesia
-
Feminine vs Masculine Energy: Kunci Biar Hubungan Nggak Capek Sendiri!
-
Citra Bisa Menipu, tapi Energi Tidak Pernah Bohong
Terkini
-
7 Minuman Pagi Ini Bikin Kulit Glowing dan Sehat Alami, Cobain Sekarang!
-
Dreamcatcher oleh NCT Wish: Lagu Hangat Pengusir Mimpi Buruk Saat Tidur
-
Kabar Hot, Ariel Noah Didapuk Memerankan Dilan Oleh Falcon Pictures, Gila!
-
Rayakan 20 Tahun Penayangan, Film Pan's Labyrinth akan Dirilis Ulang di Bioskop
-
Gaji Cuma Numpang Lewat? Jangan-jangan 5 Kebiasaan Receh Ini Biang Keroknya!