“Katanya dunia digital bikin kita makin dekat. Nyatanya, makin sering online, makin terasa sepi.” Di balik tawa, emoji, dan foto estetik di media sosial, banyak remaja sebenarnya sedang menanggung beban yang nggak kelihatan. Dunia digital yang katanya “menghubungkan manusia” justru pelan-pelan bikin mereka terjebak dalam krisis sunyi: kesehatan mental yang rapuh.
Media sosial yang dulu jadi alat buat bersosialisasi, sekarang berubah jadi ajang perbandingan hidup. Scroll dikit, ketemu orang yang liburannya lebih mewah. Lihat story teman, ternyata nilainya lebih tinggi. Lama-lama, yang awalnya cuma iseng buka Instagram berubah jadi sesi menyiksa diri setiap hari.
Menurut riset di The Lancet Child & Adolescent Health (2023), remaja yang nongkrong di media sosial lebih dari tiga jam sehari punya risiko dua kali lipat kena gangguan cemas dan depresi. Di Indonesia, survei Kementerian Kesehatan (2024) bilang satu dari lima remaja udah ngerasain gejala depresi ringan sampai sedang. Sebagian besar karena tekanan sosial di platform seperti TikTok dan Instagram, dua aplikasi yang sama-sama manis tapi berpotensi bikin stres.
Psikolog klinis Dr. Ratih Ibrahim bilang, “remaja itu lagi nyari jati diri, tapi media sosial malah nyuruh mereka buat tampil sempurna.” Jadinya, mereka bukan lagi belajar mengenal diri, tapi membandingkan diri.
Masalahnya, setiap “like” dan komentar positif di media sosial itu kayak hadiah kecil yang bikin ketagihan. Otak kita ngeluarin dopamin, zat yang bikin bahagia sesaat. Tapi begitu notifikasi sepi, kebahagiaan itu juga ikut menguap. Riset Frontiers in Psychology (2024) nyebut ini sebagai dopamine feedback loop alias siklus candu validasi digital.
Nggak heran kalau banyak remaja sekarang lebih sibuk ngitung jumlah “like” ketimbang nilai ujian. Nature Human Behaviour (2022) bahkan nemuin bahwa yang sering selfie dan ngecek reaksi orang cenderung punya tingkat kecemasan sosial 30% lebih tinggi.
Psikolog Andika Putra, M.Psi, menambahkan, “ketika validasi digital jadi kebutuhan psikologis, remaja kehilangan kemampuan menilai diri secara objektif.” Kalau respon orang lain nggak sesuai ekspektasi, muncullah rasa cemas, minder, bahkan depresi.
Belum lagi soal tidur. Journal of Adolescence (2023) bilang, remaja yang aktif di medsos lewat dari jam 10 malam bisa kehilangan waktu tidur sampai dua jam. Efeknya, hormon stres naik, konsentrasi drop, dan prestasi akademik ikut jeblok. Istilah kerennya: doomscrolling, alias menggulir layar tanpa henti sampai mata pedih. Survei Kominfo (2024) nemuin bahwa remaja Indonesia rata-rata nongkrong 5,5 jam sehari di medsos, puncaknya antara jam 9 malam sampai jam 1 pagi.
Tekanan buat selalu tampil “oke” juga bikin banyak remaja kehilangan arah identitas. Nature Human Behaviour (2022) mencatat bahwa seringnya menampilkan versi ideal diri di media sosial bikin remaja kesulitan membedakan mana diri asli dan mana persona online. Psikolog pendidikan Dr. Adi Setiawan bilang, “remaja sekarang lebih kenal filter wajah ketimbang wajah mereka sendiri.”
Efek samping lainnya: meningkatnya kasus body dysmorphic disorder alias ketidakpuasan pada bentuk tubuh. Filter dan editan bikin standar kecantikan makin absurd, dan rasa percaya diri makin turun.
Tapi nggak semua sisi media sosial gelap. Riset PLOS ONE (2024) nemuin bahwa remaja yang aktif di komunitas daring tentang kesehatan mental justru lebih berempati dan punya rasa dukungan sosial lebih tinggi. Komunitas seperti Into The Light Indonesia atau Youth for Mental Health jadi ruang aman buat cerita tanpa takut dihakimi.
Masalahnya bukan pada media sosialnya, tapi cara kita memakainya. Harvard Graduate School of Education (2025) menegaskan pentingnya literasi emosi digital: kemampuan mengenali perasaan sendiri saat berinteraksi di dunia maya.
Orang tua bisa mulai dari hal kecil:
- Ngobrol terbuka, bukan marah-marah tiap kali anak pegang HP.
- Atur durasi lewat fitur screen time.
- Dorong anak ngikutin akun yang inspiratif, bukan yang bikin insecure.
- Dan yang paling penting: kasih contoh. Kalau orang tuanya tiap lima menit ngecek notifikasi, gimana anaknya mau lepas dari layar?
Beberapa sekolah di Jakarta dan Bandung udah mulai menerapkan program “Digital Mindfulness” biar siswa paham dampak psikologis dari aktivitas daring. Tapi di level nasional, tantangannya masih besar. Data Riskesdas (2023) bilang cuma 9% remaja dengan gejala gangguan mental yang pernah konsultasi ke profesional. Akses psikolog masih langka, apalagi di daerah.
Kementerian Kesehatan udah punya program SEJIWA buat edukasi kesehatan mental lewat media sosial, tapi para ahli bilang butuh kolaborasi lebih luas antara pemerintah, sekolah, dan keluarga.
Karena pada akhirnya, media sosial nggak akan hilang dari hidup kita, dan memang nggak perlu. Yang kita butuh cuma kesadaran baru: pakai media sosial bukan buat pamer hidup, tapi buat memperkaya hidup.
Remaja perlu paham bahwa nggak semua hal harus diunggah, nggak semua “like” itu penting, dan nggak semua bahagia perlu terlihat.
Sebab di tengah dunia digital yang makin bising, mungkin kebijaksanaan paling sederhana adalah ini: “Kebahagiaan sejati tidak diukur dari layar, tapi dari hati.”
Pada akhirnya, kita hidup di zaman di mana satu notifikasi bisa bikin bahagia, dan satu komentar bisa bikin patah hati. Ironisnya, semua terjadi tanpa perlu tatap muka.
Barangkali, yang kita butuhkan bukan uninstall media sosial, tapi install ulang kesadaran. Supaya kita nggak lagi sibuk mengejar validasi yang cuma setebal layar kaca.
Karena di balik semua filter dan caption bijak, hidup nyata tetap butuh hal-hal sederhana: tidur cukup, ngobrol tanpa kamera, dan tertawa tanpa emotikon.
Baca Juga
-
Citra Bisa Menipu, tapi Energi Tidak Pernah Bohong
-
Guru yang Menjadi Cermin: Keteladanan yang Membangun Karakter Siswa
-
Menemukan Ketenangan di Tengah Dunia yang Selalu Online
-
Efisiensi Tanpa Overthinking: Menata Ulang Budaya Kerja Lembaga Mahasiswa
-
Duet Ayah dan Anak di Pemilu: Sah secara Hukum, tapi Etiskah?
Artikel Terkait
-
Lazada Siapkan Investasi Rp 400 Miliar buat Harbolnas 11.11
-
7 Rekomendasi Mobil 7 Seater Rp50 Jutaan Paling Irit untuk Taksi Online
-
Kulitmu Masih Muda, Jangan Dibebani! Begini Panduan Skincare Anti Ribet ala Dokter
-
Tersesat di Usia Muda, Mengurai Krisis Makna di Tengah Quarter Life Crisis
-
Puan Blak-blakan Soal Aturan Masuk DPR: 'Kayak ke Rumah Kalian, Tok Tok Tok.. Assalamualaikum'
Kolom
-
Saat Kujang Emas: Batara Jayarasa Menyulut Fantasi-Aksi Perfilman Indonesia
-
Feminine vs Masculine Energy: Kunci Biar Hubungan Nggak Capek Sendiri!
-
Citra Bisa Menipu, tapi Energi Tidak Pernah Bohong
-
Tersesat di Usia Muda, Mengurai Krisis Makna di Tengah Quarter Life Crisis
-
Maudy Ayunda dan Filosofi Teras: Rahasia Tenang di Tengah Masalah Hidup
Terkini
-
Sinopsis Film Sunny Sanskari Ki Tulsi Kumari, Dibintangi Janhvi Kapoor
-
Sheila Dara Tutorial Make up Habis Mandi, Backsound-nya Bikin Salfok!
-
Ngampus ke Hangout, 4 Ide OOTD Miyeon I-DLE yang Bisa Kamu Tiru Sekarang!
-
Misi Baru! Gagal di Edisi 2026, PSSI target Timnas Main di Piala Dunia 2030
-
Ballad hingga Hip Hop, NCT Dream Suguhkan 2 Lagu Unit di Album Beat It Up