Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Ilustrasi bencana alam (Freepik)
Thedora Telaubun

Hujan deras bisa datang dan kabur kapan saja. Namun, ketika 442 orang meninggal dan ratusan lainnya hilang, ini mengungkap celah besar dalam sistem mitigasi dan penanggulangan bencana kita.

"Ini adalah data terbaru hingga hari ketujuh masa darurat bencana," kata Kepala BNPB, Suharyanto, dikutip dari Suara.com pada Senin (1/12/2025). 

Negara kita sesungguhnya telah membangun instrumen untuk menghadapi ancaman itu. Misalnya lewat sistem peringatan dini.

Landslide Early Warning System (LEWS) yang dikembangkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bersama institusi lain. 

Sistem ini dirancang dengan tujuh sub-sistem, yakni penilaian risiko, sosialisasi, tim siaga, panduan evakuasi, prosedur tetap, pemantauan & peringatan dini, serta geladi evakuasi, lalu kemudian diikuti dengan komitmen otoritas lokal dan masyarakat dalam menjaga operasionalnya. 

Namun dalam praktiknya, masih banyak kendala, terutama dalam distribusi informasi dan respon daerah. 

Meski sistem sudah cukup maju, efektivitasnya tetap ditentukan oleh seberapa cepat pemerintah daerah dan masyarakat merespon peringatan. 

Tidak semua daerah menerima peringatan secara cepat, jelas, dan dapat ditindaklanjuti. Ketika informasi tidak sampai ke warga di lereng atau bantaran sungai, maka jeda beberapa jam saja bisa menentukan hidup dan mati.

Selain itu, tantangan tata ruang dan lingkungan turut memperburuk potensi bencana. Banyak pemukiman dan aktivitas manusia dibangun di daerah rawan longsor atau banjir, misalnya di lereng, bantaran sungai, atau di wilayah yang dulunya hutan.

Saat hujan ekstrem datang, lahan tidak mampu menyerap air sehingga tanah longsor juga jadi jauh lebih berbahaya.

Ketika infrastruktur juga belum dirancang tahan risiko, jalan dan jembatan bisa putus, akses evakuasi terhambat  sehingga sistem darurat pun langsung roboh.

Mengapa masih terjadi kegagalan? Sebagian karena kompleksitas. Indonesia punya ribuan pulau dan komunitas berbeda, sebagian lagi karena prioritas politik dan anggaran mitigasi sering kalah dibanding pembangunan infrastruktur atau proyek publik.

Bila kita terus menganggap ini sebagai “bencana alam” tanpa melihat akar sistemnya, maka kita hanya menunda ulang sejarah kelam.

Menghadapi krisis iklim dan cuaca ekstrem yang semakin sering, kita harus memastikan bahwa peringatan dini tidak sekadar terdengar tapi direspon. 

Tata ruang tidak hanya soal izin, tapi soal nyawa. Anggaran tidak hanya untuk pembangunan tetapi untuk perlindungan.

Apakah kita siap?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS