Hayuning Ratri Hapsari | Irhaz Braga
Ilustrasi ekskavator di tambang (Pixabay)
Irhaz Braga

Dalam perdebatan panjang tentang arah pembangunan nasional, pulau pulau kecil sering hanya menjadi catatan kaki. Padahal Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 19.108 pulau dan hampir seluruhnya tergolong pulau kecil menurut ketentuan UU No. 1 Tahun 2014.

Luas wilayah pulau pulau kecil ini mencapai hampir 7 juta hektare. Sebuah lanskap yang luar biasa luas, sekaligus rentan. Di sinilah ironi kebijakan negara hadir. Ketika ruang ruang yang seharusnya menjadi penyangga ekologis masa depan justru diserahkan pada ekskavator yang sibuk menggerus bukit, mangrove, bahkan garis pantai, dengan alasan pembangunan dan hilirisasi.

Jika pulau pulau kecil adalah wajah Indonesia, maka wajah itu hari ini penuh luka. Data Jatam menyebut sedikitnya 55 pulau kecil telah dikuasai tambang. Nikel, emas, batubara, migas, semuanya merangsek masuk. Di atas kertas, moratorium pertambangan menjadi harapan. Tetapi harapan itu meredup karena negara sendiri sibuk membentangkan karpet merah untuk industri ekstraktif.

UU Minerba dan UU Cipta Kerja adalah contoh terang bagaimana negara memberi insentif bertubi-tubi bagi eksploitasi mineral. Bahkan ketika suara kegelisahan sudah naik ke permukaan, negara justru mengunci arah kebijakan melalui sejumlah proyek strategis nasional yang berkaitan langsung dengan sektor pertambangan.

Kita melihat gejala yang sama di banyak wilayah. Di Maluku Utara, Pulau Gebe telah lama digerogoti industri. Pulau Gee dan Pulau Pakal menyusul nasib serupa. Pulau Pakal nyaris rata dengan laut, dan reklamasi menjadi upaya tambal sulam yang absurd. Pergilah ke Pulau Bunyu di Kalimantan Utara, atau tengok bagaimana Pulau Romang di Maluku diperlakukan seperti ceruk tambang yang tidak punya nilai sosial.

Di tempat lain, Pulau Sangihe bahkan hendak diokupansi lebih dari setengah wilayahnya oleh sebuah perusahaan melalui proses yang banyak dipertanyakan. Seakan pulau pulau kecil ini bukan ruang hidup rakyat, melainkan sekadar titik titik tak bertuan dalam atlas investasi.

Ketika Greenpeace menyebut wilayah pesisir dan pulau pulau kecil sebagai kawasan dengan kerentanan tertinggi terhadap perubahan iklim, sesungguhnya mereka sedang mengingatkan bahwa kita sedang bermain api di atas bentang alam yang rapuh. Peningkatan muka air laut, abrasi, serta cuaca ekstrem adalah ancaman alamiah yang semakin dipertegas oleh kebijakan ekonomi yang abai.

Masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut akan menjadi korban pertama. Jika ekosistem rusak, ikan hilang, dan perairan keruh karena sedimen reklamasi atau limbah industri, maka hilang pula sumber pangan mereka. Ketidakpastian ekologis berubah menjadi ketidakpastian ekonomi.

Gambaran #CeritadariPesisir konkret dapat dilihat di Weda, Halmahera Tengah. Tulisan Mongabay melukiskan perubahan itu dengan gamblang. Laut yang dulu jernih berubah menjadi keruh. Ruang tangkap semakin sempit. Tongkang melintasi wilayah yang dahulu menjadi jalur nelayan tradisional.

#SuaraHijau nelayan yang terbiasa melaut beberapa mil saja kini harus melaju jauh ke tengah lautan, menghabiskan bahan bakar lebih banyak dan menanggung risiko keselamatan lebih besar. Pendapatan menurun, biaya meningkat. Sebuah formula pasti untuk kemiskinan yang berkepanjangan.

Pada titik ini, kita menyaksikan transformasi sosial yang tidak disiapkan negara. Anak-anak muda di Weda, yang dahulu tumbuh dalam tradisi pesisir, terpaksa beralih ke industri smelter yang ritmenya tidak pernah memberi ruang untuk hidup yang seimbang.

Identitas pesisir memudar, digantikan kultur industri yang keras dan serba mekanis. Ketika masyarakat terdesak pada pilihan hidup yang tidak pernah mereka rencanakan, di situlah negara sebenarnya absen.

Padahal dari sisi hukum, aturan yang melindungi pulau pulau kecil sudah lama ada. UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dengan tegas melarang penambangan pasir dan aktivitas lain yang dapat merusak ekosistem atau merugikan masyarakat. Namun realitasnya berbeda. Kasus Pulau Citlim memberi gambaran jelas.

Lokasi tambang disegel, tetapi penyegelan itu bersifat sementara. Tulisan di spanduk penyegelan justru menjadi tanda tanya besar. Jika undang-undang sudah melarang secara jelas, mengapa penyegelan tidak bersifat final? Mengapa pelanggaran dibiarkan berulang? Pertanyaan pertanyaan ini hanya mungkin dijawab jika kita berani mengakui bahwa penegakan hukum di sektor pesisir bukan semata masalah norma, melainkan masalah politik sumber daya.

Analisis Auriga Nusantara membuka mata kita lebih jauh. Ada 381 izin tambang aktif di 289 pulau kecil. Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah bukti langsung betapa masifnya penetrasi industri ke wilayah yang seharusnya dilindungi. Artinya, bukan hanya beberapa pulau yang menghadapi ancaman ekskavator, tetapi hampir setiap belahan laut yang menyimpan pulau kecil kini sedang berada dalam cengkeraman industri.

Meski begitu, secercah akal sehat masih terlihat melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada Maret 2024. Dalam Putusan MK No. 35 Tahun 2024, MK menolak gugatan perusahaan nikel yang ingin memperbolehkan pertambangan di kawasan pesisir dan pulau kecil. Pertimbangan MK tegas. Pulau pulau kecil memiliki daya dukung terbatas, rentan terhadap kenaikan permukaan air laut, dan keberadaan tambang akan memperburuk kondisi ekologis sekaligus menghilangkan potensi ekonomi alternatif seperti ekowisata. Putusan ini adalah napas baru, sekaligus pengingat bahwa negara seharusnya berpihak pada keselamatan warga, bukan pada kerakusan korporasi.

WALHI menambahkan argumen penting. Jika penambangan skala besar dibiarkan, pulau-pulau kecil berpotensi tenggelam lebih cepat. Di tempat seperti Wawonii, tambang bahkan menghabiskan dataran tinggi yang seharusnya menjadi lokasi evakuasi saat bencana. Artinya, industri tidak hanya merusak tanah, tetapi juga menghilangkan ruang aman warga ketika menghadapi ancaman alam.

Ketika daya dukung ekologis hilang, masyarakat pulau kecil akan menghadapi bencana kemanusiaan. Hilangnya air bersih, hilangnya pangan, dan hilangnya ruang hidup adalah bencana yang nyata tetapi sering luput dari imajinasi kebijakan pusat.

Dalam kondisi ini, persoalan pulau-pulau kecil bukan sekadar isu lingkungan. Ia adalah pertaruhan konstitusional tentang hak hidup warga negara. Ketika negara memberi izin kepada perusahaan untuk menggerus pulau kecil hingga nyaris porak poranda, sebenarnya negara sedang mereduksi jaminan konstitusional bagi warganya. Kedaulatan rakyat atas sumber daya alam berubah menjadi kedaulatan pasar atas seluruh yang dapat diekstraksi.

Kita perlu mengatakan dengan terang bahwa arah pembangunan seperti ini salah sejak dasar. Pulau-pulau kecil bukan ruang kosong yang menunggu investasi. Mereka adalah ruang hidup masyarakat, benteng ekologis, dan struktur sosial budaya yang menghidupi generasi demi generasi. Jika negara terus menutup mata, maka bukan hanya pulau yang tenggelam, tetapi juga masa depan bangsanya sendiri.

Kini waktunya menegakkan batas. Jika pulau-pulau kecil harus diselamatkan, maka ekskavator harus berhenti. Bukan sementara, tetapi sepenuhnya. Negara harus kembali pada logika perlindungan, bukan sekadar pada logika pertumbuhan ekonomi yang mengabdi pada kepentingan korporasi. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa pulau pulau kecil di Indonesia tidak hilang karena ombak, tetapi karena kebijakan yang buta arah.