Lintang Siltya Utami | Ade Feri
Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma (mojokstore.com)
Ade Feri

Dalam belantika sastra Indonesia, nama Idrus mungkin tidak seterkenal Marah Roesli, Abdoel Moeis, Achdiat K. Mihardja atau sastrawan seangkatannya, Chairil Anwar. Meski begitu, Idrus diakui oleh HB. Jassin sebagai pelopor prosa angkatan '45 karena membawa pembaruan dengan ciri khas gaya penceritaan yang sederhana, realistis, dan naturalis. Karyanya disebut-sebut menandakan pemisah yang jelas antara prosa zaman revolusi dengan periode Pujangga Baru.

Ciri khas yang dimaksud dapat dengan gamblang dilihat pada buku kumpulan cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma. Pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1948, kumpulan cerpen ini terdiri dari tiga bagian besar. Bagian pertama berjudul Zaman Jepang, bagian kedua berjudul Corat-Coret di Bawah Tanah, dan bagian ketiga berjudul Sesudah 17 Agustus 1945. Total keseluruhan cerita di buku ini berjumlah 12 judul, dengan rincian 11 judul cerpen dan satu naskah drama pendek.

Bagian Pertama "Zaman Jepang"

Bagian ini terdiri dari satu cerpen berjudul Ave Maria dan satu naskah drama pendek berjudul Kejahatan Membalas Dendam. Meskipun tajuk dalam bagian ini terkesan akan membaca pembaca menyusuri era pendudukan Jepang di Indonesia, nyatanya kedua cerita tersebut lebih layak disebut sebagai kisah romansa. Walaupun begitu, cerita di bagian ini masih terasa nuansa perjuangan di era penjajahan.

Cerpen Ave Maria mengisahkan ironi kisah cinta Zulbahri dengan Wartini. Ia harus mengikhlaskan istrinya untuk kembali bersama mantan kekasih yang juga adiknya sendiri, yaitu Syamsu. Selepas itu juga, Zulbahri yang seolah hilang arah memutuskan untuk bergerilya memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Cerpen tersebut kental dengan sisi romantis yang menyayat hati. Pertemuan Wartini dan Syamsu merupakan ironi yang membawa Zulbahri pergi menemukan tujuannya sendiri. Cerpen ini pun menjadi tanda romantisme dalam karya sastra Idrus yang cenderung identik dengan sindiran sosial.

Sementara cerita Kejahatan Membalas Dendam adalah naskah drama pendek yang terdiri dari empat babak. Naskah ini memotret fenomena pertentangan pengarang lama dengan pengarang muda. Di samping itu, naskah ini adalah kisah yang penuh intrik karena sekaligus menceritakan tentang pertentangan keluarga dan romansa yang rumit.

Bagian Dua "Corat-Coret di Bawah Tanah"

Bagian dua adalah bab yang paling banyak judul cerpen di dalamnya. Terdapat tujuh cerita pendek dengan masing-masing judulnya, yaitu Kota-Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam Zaman Jepang, Suanyi, Fujinkai, Oh ... Oh ... Oh!, dan Heiho. Semua cerpen dalam bab ini sangat kental penggambarannya tentang kehidupan di era pendudukan Jepang.

Dari ketujuh cerpen tersebut, salah satu yang paling menarik adalah Jawa Baru. Cerpen ini secara gamblang memuat potret kehidupan orang Jawa di era pendudukan Jepang yang serba kekurangan. Harga bahan pokok mengalami peningkatan, terjadi kelaparan dan banyak kematian, bahkan beras yang dihasilkan petani harus dikirim ke Tokyo untuk cadangan pangan pasukan perang.

Setiap cerita yang ada di bagian ini menyoroti tentang realita pahit yang diterima rakyat Indonesia dulu. Penjajahan tidak hanya merampas tanah air dan kebebasan, melainkan membuat rakyat kehilangan hak atas tanahnya sendiri.

Di samping itu, era tersebut selalu erat dengan upaya propaganda seperti yang tergambar dalam cerpen Fujinkai. Novel ini menyoroti propaganda pasukan Jepang kala itu untuk melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Propaganda yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan kaum ibu-ibu untuk menyumbang uang guna kebutuhan pangan tentara Jepang yang sudah berjuang melawan sekutu.

Dibanding menceritakan perjuangan dan kehebatan rakyat dalam melawan penjajah, Idrus lebih memilih menyoroti kehidupan bangsa Indonesia di bawah bayang-bayang kekuasaan Jepang. Langkah ini dianggap berani karena ia dengan jelas menceritakan ironi kehidupan dan tidak meromantisasinya menjadi suatu kehebatan.

Bagian Tiga "Setelah 17 Agustus 1945"

Bagian ini terdiri dari tiga judul cerpen, yaitu Kisah Sebuah Celana Pendek, Surabaya, dan Jalan Lain ke Roma. Bab ini bisa dibilang cukup legendaris karena terdapat satu novelet yang berjudul Surabaya. Novelet ini berlatarkan kegiatan saat pertempuran di Surabaya terjadi. Walaupun peristiwa ini identik dengan kisah heroik, Idrus justru menyoroti sisi lain pertempuran Surabaya yang miris dan menyayat hati.

Masih dengan kisah haru, dalam cerpennya yang berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek, Idrus seolah memotret kondisi sosial yang memprihatinkan. Berkisah tentang seorang lelaki yang hanya memiliki satu celana pendek yang didapat dari ayahnya, Kusno mengharapkan penghidupan yang layak di tengah kondisi sosial yang tidak menentu.

Sementara itu, buku ini ditutup dengan cerpen Jalan Lain ke Roma. Cerpen ini mengisahkan perjalanan seorang lelaki bernama Open yang selalu memegang teguh pendiriannya.

Ulasan

Sebagai buku klasik, karya Idrus yang satu ini layak dibaca oleh kita, generasi muda. Selain sebagai sarana untuk hiburan, buku ini bisa memberi pengetahuan tentang sejarah Indonesia dari kacamata yang berbeda. Kisah-kisah di dalamnya sangat dekat dengan kehidupan bangsa, dan beberapa di antaranya masih relevan hingga sekarang.

Di samping itu, sentuhan romantisme di beberapa cerita membuat buku ini seperti kesatuan yang utuh dan seimbang. Penulis tidak hanya memberikan kisah realistis yang penuh gejolak, kemarahan, dan tangisan saja. Melainkan menyuguhkan kisah percintaan dan hubungan sesama manusia yang penuh makna.

Identitas buku

Judul: Dari Ave Maria ke Jalan Lain Ke Roma

Penulis: Idrus

Penerbit: Balai Pustaka

Tahun terbit: cetakan pertama, 1948

Tebal buku: 171 halaman