Di Indonesia, kata maaf mungkin jadi salah satu kata paling gampang diucapkan. Dari anak kecil yang nggak sengaja nabrak orang di taman, sampai pejabat yang tersandung kasus dan muncul di depan kamera, semuanya bisa dengan fasih bilang “maaf”.
Kata itu terdengar sopan, lembut, bahkan menunjukkan kerendahan hati. Tapi sayangnya, di balik semua itu, maaf sering kehilangan maknanya.
Permintaan maaf di negeri ini sering kali cuma jadi ritual sosial, semacam formalitas yang harus diucapkan supaya urusan cepat selesai. Begitu sudah bilang maaf, seolah-olah masalah dianggap beres.
Padahal, besoknya atau minggu depan, kesalahan yang sama bisa kejadian lagi. Maaf jadi semacam penghapus instan buat dosa sosial, tanpa perlu ada perubahan nyata di belakangnya.
Kita memang hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi sopan santun. Tapi sayangnya, sopan santun itu sering berhenti di permukaan. Budaya “asal minta maaf” jadi semacam tameng untuk menghindari tanggung jawab.
Kalau ketahuan salah, tinggal tampil di depan publik, pasang wajah menyesal, ucapkan “maaf sebesar-besarnya”, lalu tunggu saja sampai publik lupa. Dan biasanya, publik memang cepat lupa, bahkan sebelum ada bukti kalau si pelaku benar-benar berubah.
Fenomena ini bukan cuma soal pejabat atau tokoh publik. Dalam kehidupan sehari-hari pun sama saja. Orang yang datang terlambat ke rapat, cukup bilang, “maaf ya, macet.” Tapi besoknya? Tetap telat lagi.
Di kantor, ada yang ngulang kesalahan kerja yang sama, dan selalu diakhiri dengan, “maaf, saya nggak sengaja.” Di level yang lebih tinggi, pejabat yang melakukan pelanggaran etika atau kebijakan yang merugikan rakyat pun bisa dengan mudah “meminta maaf”, lalu kembali ke posisi dan rutinitas seolah tak terjadi apa-apa.
Kebiasaan ini membentuk pola budaya yang berbahaya, budaya tanpa pembelajaran. Kita terbiasa memaafkan, tapi jarang menuntut tanggung jawab. Kita mudah berempati, tapi sering kali enggan bersikap tegas.
Akibatnya, kata maaf jadi kehilangan bobotnya. Ia bukan lagi tanda refleksi diri atau niat untuk memperbaiki kesalahan, tapi cuma alat untuk meredam kemarahan publik dan menunda konsekuensi.
Padahal, kalau dipikir-pikir, inti dari kata maaf itu bukan sekadar mengakui salah, tapi berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Tanpa perubahan perilaku, maaf cuma jadi janji kosong, terdengar manis, tapi tidak punya makna.
Mungkin sudah saatnya kita ubah cara pandang terhadap kata maaf. Bukan lagi sekadar formalitas untuk menenangkan situasi, tapi titik awal dari perubahan nyata. Memaafkan memang penting, tapi menuntut perbaikan jauh lebih penting.
Maaf seharusnya bukan akhir dari cerita, tapi awal dari babak baru, babak di mana seseorang benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Kalau itu bisa terjadi, mungkin barulah kata maaf kembali punya makna yang sejati: sederhana, tapi tulus dan berdaya ubah.
Baca Juga
-
Tak Saling Sapa di Sidang Paripurna, Isu Keretakan Purbaya dan Luhut Kian Mencuat
-
Dari Healing ke Hustling: Gaya Hidup Anak Muda yang Terjebak Produktivitas
-
Prabowo Dorong Mobil Buatan Indonesia, Pejabat Siap-Siap Ganti Kendaraan!
-
Naikkan Gaji Hakim, Prabowo Subianto Ingin Jaga Marwah Peradilan dari Godaan Suap
-
Ramai Jasa Intel di TikTok, Warganet Auto Heboh dan Ngakak!
Artikel Terkait
-
Tren Baru Tanggung Jawab Sosial: Saat Perusahaan Tak Lagi Sekadar Donasi, tapi Ubah Perilaku
-
IRENA: Dunia Butuh Dua Kali Lipat Aksi untuk Selamat dari Krisis Iklim
-
Saat Suhu Bumi Naik, Nyamuk pun Berpesta: Awas Ancaman 'Ledakan' Demam Berdarah
-
Legislator Gerindra Soroti Pentingnya Koordinasi Pusat-Daerah di Tengah Perubahan APBN 2026
-
Totalitas Minta Maaf, Pria Ini Ajak Puluhan Anak Yatim Demo di Depan Rumah Kekasihnya
Kolom
-
Tumbuh dengan Parenting VOC, Ternyata Tidak Seburuk Itu
-
Refleksi Hari Santri: Tantangan Pesantren Meneguhkan Integritas Pendidikan
-
Whoosh: Antara Kebanggaan Nasional dan Tuduhan Mark-Up
-
Delman di Tengah Asap Kota: Romantisme yang Menyembunyikan Penderitaan
-
Satu Tahun Prabowo Gibran: Antara Kepuasan Publik dan Kegelisahan Kolektif
Terkini
-
Indra Sjafri Janji Racik Skuad Terbaik, Timnas Indonesia Uji Coba Lagi?
-
Novel Behind Closed Doors: Sandiwara Mengerikan dalam Kehidupan Pernikahan
-
Game Jurassic World Evolution 3 Resmi Rilis: Visual Memukau, Wajib Dicoba!
-
Tak Saling Sapa di Sidang Paripurna, Isu Keretakan Purbaya dan Luhut Kian Mencuat
-
Timnas Indonesia, Piala Dunia 2026 dan Komentar Alex Pastoor yang Bertendensi Keuntungan