Hikmawan Firdaus | Rahmah Nabilah Susilo
Ilustrasi dua orang yang sedang berjabatan tangan (freepik.com)
Rahmah Nabilah Susilo

Di Indonesia, kata maaf mungkin jadi salah satu kata paling gampang diucapkan. Dari anak kecil yang nggak sengaja nabrak orang di taman, sampai pejabat yang tersandung kasus dan muncul di depan kamera, semuanya bisa dengan fasih bilang “maaf”. 

Kata itu terdengar sopan, lembut, bahkan menunjukkan kerendahan hati. Tapi sayangnya, di balik semua itu, maaf sering kehilangan maknanya.

Permintaan maaf di negeri ini sering kali cuma jadi ritual sosial, semacam formalitas yang harus diucapkan supaya urusan cepat selesai. Begitu sudah bilang maaf, seolah-olah masalah dianggap beres. 

Padahal, besoknya atau minggu depan, kesalahan yang sama bisa kejadian lagi. Maaf jadi semacam penghapus instan buat dosa sosial, tanpa perlu ada perubahan nyata di belakangnya.

Kita memang hidup di masyarakat yang menjunjung tinggi sopan santun. Tapi sayangnya, sopan santun itu sering berhenti di permukaan. Budaya “asal minta maaf” jadi semacam tameng untuk menghindari tanggung jawab

Kalau ketahuan salah, tinggal tampil di depan publik, pasang wajah menyesal, ucapkan “maaf sebesar-besarnya”, lalu tunggu saja sampai publik lupa. Dan biasanya, publik memang cepat lupa, bahkan sebelum ada bukti kalau si pelaku benar-benar berubah.

Fenomena ini bukan cuma soal pejabat atau tokoh publik. Dalam kehidupan sehari-hari pun sama saja. Orang yang datang terlambat ke rapat, cukup bilang, “maaf ya, macet.” Tapi besoknya? Tetap telat lagi. 

Di kantor, ada yang ngulang kesalahan kerja yang sama, dan selalu diakhiri dengan, “maaf, saya nggak sengaja.” Di level yang lebih tinggi, pejabat yang melakukan pelanggaran etika atau kebijakan yang merugikan rakyat pun bisa dengan mudah “meminta maaf”, lalu kembali ke posisi dan rutinitas seolah tak terjadi apa-apa.

Kebiasaan ini membentuk pola budaya yang berbahaya, budaya tanpa pembelajaran. Kita terbiasa memaafkan, tapi jarang menuntut tanggung jawab. Kita mudah berempati, tapi sering kali enggan bersikap tegas. 

Akibatnya, kata maaf jadi kehilangan bobotnya. Ia bukan lagi tanda refleksi diri atau niat untuk memperbaiki kesalahan, tapi cuma alat untuk meredam kemarahan publik dan menunda konsekuensi.

Padahal, kalau dipikir-pikir, inti dari kata maaf itu bukan sekadar mengakui salah, tapi berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Tanpa perubahan perilaku, maaf cuma jadi janji kosong, terdengar manis, tapi tidak punya makna.

Mungkin sudah saatnya kita ubah cara pandang terhadap kata maaf. Bukan lagi sekadar formalitas untuk menenangkan situasi, tapi titik awal dari perubahan nyata. Memaafkan memang penting, tapi menuntut perbaikan jauh lebih penting. 

Maaf seharusnya bukan akhir dari cerita, tapi awal dari babak baru, babak di mana seseorang benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Kalau itu bisa terjadi, mungkin barulah kata maaf kembali punya makna yang sejati: sederhana, tapi tulus dan berdaya ubah.