Pernikahan pernah dianggap sebagai pencapaian hidup yang ideal, “menuju bahagia selamanya”. Namun bagi banyak anak muda sekarang, pilihan ini mulai terasa menakutkan.
Bukan hanya karena takut akad atau pesta, tetapi lebih dalam: takut mendapatkan pasangan yang salah dan takut setelah menikah tidak bahagia.
Pernikahan memang bisa menyeramkan jika kita bertemu dengan pasangan yang salah, namun sebaliknya, ketika menemukan pasangan yang tepat, pernikahan justru menghadirkan kebahagiaan yang sangat mendalam.
Banyak anak muda khawatir menikah dengan pasangan yang tidak sejalan dalam nilai hidup, visi hidup, atau ekspektasi.
Menurut laman Halodoc, menikah tanpa komunikasi mendalam atau terburu-buru bisa meningkatkan risiko konflik, perceraian, dan tekanan psikologis.
Sementara itu, menurut laman Alodokter, menikah dapat membawa manfaat bagi kesehatan fisik dan mental bila hubungan sehat, seperti mengurangi risiko depresi atau penyakit jantung. Namun jika pernikahan dijalani tanpa kesiapan atau dalam kondisi konflik, risiko stres dan gangguan mental meningkat.
Persiapan emosional dan kesehatan mental menjadi kunci sebelum menikah, karena hubungan yang sehat dapat meningkatkan kualitas hidup, sedangkan hubungan yang bermasalah justru membawa tekanan psikologis.
Kekhawatiran ini semakin wajar mengingat maraknya kasus perselingkuhan dan perceraian yang terlihat di sekitar kita. Anak muda tidak hanya menilai cinta dari perasaan semata, tapi juga dari kesiapan pasangan, kompatibilitas nilai, dan kemampuan menghadapi konflik.
Di era sekarang, anak muda juga lebih kritis dan terbuka, mempertanyakan ekspektasi “bahagia selamanya” versus realita yang penuh kompromi, berkorban identitas, atau kehilangan kebebasan.
Ketakutan ini bukan sekadar takut menikah, tetapi takut memasuki situasi yang tidak sesuai ekspektasi. Oleh karena itu, ungkapan “Marriage is scary” mencerminkan kesadaran baru bahwa menikah adalah komitmen besar yang membutuhkan kesiapan emosional, finansial, dan psikologis.
Ketakutan mendapatkan pasangan yang salah dan takut tidak bahagia seharusnya dipandang positif. Ini menunjukkan anak muda ingin membuat pilihan dengan bijak, menimbang kesiapan sebelum melangkah, dan menempatkan kualitas hidup serta kebahagiaan sebagai prioritas. Diskusi terbuka soal pasangan, visi hidup, kondisi mental, dan potensi konflik menjadi penting.
Menikah idealnya merupakan pilihan sadar, bukan karena tekanan sosial. Ketakutan ini bisa dijadikan alat introspeksi: bukan untuk menghindar selamanya, tetapi untuk bertanya, “Apakah aku siap? Apakah kita sebagai pasangan sudah membahas halhal sulit ini?”
Dengan demikian, “Marriage is scary” bukan sekadar ungkapan dramatis, tetapi refleksi perubahan cara pandang anak muda terhadap pernikahan. Ia bukan sekadar soal akad dan cinta, melainkan soal komitmen, kesiapan, dan kebahagiaan yang dengan syarat.
Ketakutan terhadap pasangan yang salah, ketakutan tidak bahagia, serta kekhawatiran terhadap realitas perselingkuhan dan perceraian adalah bagian dari proses pemikiran matang, bukan alasan untuk menolak cinta atau pernikahan sepenuhnya.
Baca Juga
-
Tahun ke-6 Berjuang Lawan Kanker, Vidi Aldiano Sampaikan Pesan Haru
-
Di Antara Ombak & Bukit Hijau, Harapan Way Haru Tak Pernah Tumbang
-
Kartu Petik Lara: Ruang Aman Lewat Permainan
-
Guru yang Peka, Murid yang Terjaga: Membangun Sekolah Aman Lewat Kedekatan
-
Dian Sastro Bintangi Film Laut Bercerita, Netizen Soroti Latar Belakang Keluarga Suaminya!
Artikel Terkait
-
Perceraian Mencuat: Benarkah Angkanya Melonjak dan Gugatan Didominasi Istri?
-
Makin Kurus, Ahmad Assegaf Kembali Dituding Numpang Hidup ke Tasya Farasya
-
Na Daehoon Ajak Anak Walk Out dari Kajian usai Disenggol Soal Perceraian
-
Perpaduan Gaya: Filosofi Jepang dan Spirit Bandung dalam Budaya Sneakers
-
Sabrina Chairunnisa Tegaskan Bukan Menikah karena Uang Usai Resmi Gugat Cerai Deddy
Kolom
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
-
Ahli Gizi: Pahlawan Super yang Cuma Ditelfon Kalau Badan Sudah Ngeluh Keras
-
Indomie Double Plus Nasi Adalah Cara Saya Menyiasati Kemiskinan
-
Kecemasan Kolektif Perempuan dan Beban Keamanan yang Tak Diakui
-
Dari Pesisir Malang Selatan, Cerita tentang Penyu dan Kesadaran
Terkini
-
Pencapaian Medali Emas on the Track, Erick Thohir Puas Penampilan Atlet
-
Bukan Hanya Milik Lansia, Usia 20-an Juga Bisa Kehilangan Massa Otot
-
4 Primer Non-Comedogenic yang Aman untuk Pori Besar dan Acne-Prone Skin
-
Di Tengah Gempuran Media Sosial, Mahasiswa Mencari Ruang Literasi
-
SEA Games 2025: Bulu Tangkis Indonesia Sabet Gelar Maksimal di Tunggal Putra