Bayangkan sebuah pemilihan presiden yang terasa seperti acara keluarga besar. Di panggung kampanye, muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ternyata ayah dan anak. Slogannya manis: “Dari Keluarga untuk Negara.”
Sekilas hangat dan menarik perhatian, tapi di balik romantisme itu muncul pertanyaan penting: apakah duet seperti ini dibolehkan dalam hukum Indonesia? Dan yang lebih penting lagi, apakah hal itu etis dalam konteks demokrasi?
Landasan Konstitusi
UUD 1945 menjadi dasar tertinggi dalam menentukan aturan pencalonan presiden dan wakil presiden. Pasal 6A ayat (2) menyebutkan bahwa pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Pasal 7 menegaskan masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan.
Menariknya, tidak ada satu pun pasal yang melarang hubungan keluarga antarcalon. Selama memenuhi syarat umum seperti usia, integritas, dan kewarganegaraan, maka duet ayah dan anak sah secara konstitusional.
UUD 1945 bersikap netral terhadap hubungan darah karena menegakkan prinsip kesetaraan hak politik setiap warga negara.
Namun, menurut pakar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie, demokrasi tidak boleh berhenti pada legalitas formal. Ia menekankan bahwa demokrasi juga harus dijaga melalui etika publik dan tanggung jawab moral. Jadi, meskipun secara hukum boleh, praktik seperti ini tetap harus diuji dari sisi etika dan kelayakan politik.
Ketentuan dalam UU Pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden. Di antaranya: WNI sejak lahir, sehat jasmani dan rohani, tidak pernah mengkhianati negara, serta berpendidikan minimal SMA atau sederajat. Lagi-lagi, tidak ada larangan bagi pasangan yang memiliki hubungan keluarga.
Artinya, duet ayah dan anak tidak dilarang secara hukum positif. Namun, demokrasi bukan hanya tentang siapa yang boleh maju, tetapi juga tentang bagaimana kekuasaan tidak terpusat pada satu keluarga.
Rakyat sebagai Penentu
Sebagai negara demokrasi langsung, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Jika publik menilai duet keluarga tersebut layak memimpin, maka mereka sah dipilih. Namun, jika masyarakat menilainya sebagai bentuk nepotisme politik, mereka juga berhak menolak lewat suara di bilik TPS.
Sayangnya, praktik politik di lapangan sering kali tidak seideal teori. Seperti dikatakan Mahfud MD, demokrasi bisa kehilangan rohnya jika hanya dikuasai oleh segelintir elite atau keluarga yang punya modal besar.
Ketika satu keluarga memiliki akses kuat terhadap partai, media, dan sumber daya negara, maka kompetisi menjadi tidak seimbang.
Peran Partai Politik
Dalam sistem presidensial Indonesia, partai politik memiliki peran besar sebagai “penjaga gerbang” demokrasi. Partai punya hak penuh untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Karena itu, semestinya partai menyeleksi calon berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi kebangsaan, bukan karena hubungan keluarga.
Namun kenyataannya, partai sering bersikap pragmatis. Figur populer atau yang memiliki jaringan kekuasaan kuat lebih diutamakan.
Akibatnya, rakyat disuguhi wajah-wajah yang berasal dari lingkaran yang sama. Lama-kelamaan, demokrasi berubah menjadi semacam “panggung keluarga politik”.
Risiko Dinasti Politik
Ketika kekuasaan hanya berputar di satu keluarga, yang muncul adalah politik dinasti. Bahayanya nyata: sirkulasi elit terhenti, pengawasan publik melemah, dan konflik kepentingan meningkat. Publik pun kehilangan kepercayaan karena jabatan politik terlihat seperti warisan, bukan hasil perjuangan.
Upaya membatasi politik dinasti sebenarnya pernah dilakukan lewat UU Pilkada, tapi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 membatalkan aturan itu.
MK menilai setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama untuk dipilih dan memilih, tanpa diskriminasi berdasarkan hubungan keluarga. Sayangnya, keputusan ini juga membuka peluang meluasnya politik dinasti di daerah-daerah.
Secara hukum, duet ayah dan anak dalam pemilu tidak dilarang oleh UUD 1945 maupun UU Pemilu. Namun, secara etika politik, praktik seperti ini bisa memunculkan persoalan serius bagi kualitas demokrasi.
Ada dua kunci utama agar demokrasi tetap sehat:
- Partai politik harus berani menegakkan moralitas demokrasi dan menolak pencalonan yang berpotensi melanggengkan dinasti kekuasaan.
- Rakyat harus cerdas dan kritis dalam menggunakan hak pilihnya.
Seperti diingatkan Prof. Jimly Asshiddiqie, “Demokrasi bukan hanya soal prosedur hukum, tetapi juga soal tanggung jawab moral.” Jadi, meski duet ayah dan anak sah secara hukum, pertanyaan tentang kelayakan etisnya tetap menjadi ujian bagi kedewasaan politik bangsa ini.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ketua DPD: GKR Emas Buktikan Pena Juga Bisa Jadi Alat Perjuangan Politik
-
Melejit di Puncak Survei Cawapres, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Tertarik Politik
-
Presiden Prabowo Panggil Dasco Mendadak Tadi Pagi, Bahas Apa?
-
DPR Sibuk! 2 RUU Siap Ubah Wajah Indonesia: Single ID Number dan Revisi Sistem Pemilu
-
'Cuma Omon-omon?' Refly Harun Skeptis Prabowo Bisa Lepas dari Pengaruh Jokowi
Kolom
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
-
Dari Seram ke Seksual: Pergeseran Makna Kostum Halloween
-
Konten 10 Ribu Di Tangan Istri yang Tepat: Financial Abuse yang Diromantisasi
-
Negara di Layar Taruhan: ASN dan Dosa Kolektif Judi Online
-
Ekonomi Bahasa Gen Z! Galgah Adalah Shortcut Anti-Ribet Komunikasi
Terkini
-
Verrell Yustin Mulia 'CLBK' ke Ganda Putra, Tandem dengan Adrian Pratama
-
Review Film Pengin Hijrah: Perjalanan Spiritual Para Generasi Muda
-
Review Film Apocalypse Z: Film Zombie tapi Bukan tentang Zombie?
-
Sea Games 2025: Legenda Timnas Yakin Skuad Garuda Raih Medali Emas, Kenapa?
-
Bertemu Para Suporter Timnas Indonesia, Erick Thohir Coba Pulihkan Kepercayaan Publik