Bercerai sering dianggap sebagai kegagalan dalam pernikahan, terutama jika yang mengajukan adalah perempuan. Label “gagal,” “tidak patuh,” “tidak bisa mempertahankan rumah tangga”, bahkan image negatif status janda masih jadi momok bagi perempuan yang memilih berpisah.
Padahal, di balik keputusan berat itu, ada perjalanan panjang yang nggak selalu terlihat mata. Ada luka yang mungkin sudah menumpuk hingga keberanian mengambil keputusan dan keinginan untuk memulihkan diri.
Pertanyaannya, di era kesetaraan gender, tingkat pendidikan yang merata, dan kesadaran akan hak-haknya, masihkah perempuan yang bercerai harus dikasihani?
Perceraian Bukan Akhir, Tapi Titik Balik
Banyak orang lupa bahwa perceraian bukan hanya soal perpisahan, tapi juga tentang keputusan untuk menghentikan ‘penderitaan’. Dalam banyak kasus, perempuan bertahan dalam hubungan penuh kekerasan, manipulasi, atau ketimpangan peran dalam rumah tangga.
Banyak perempuan bertahan karena takut dicap gagal atau egois jika berani mengakhiri pernikahan. Namun, ketika akhirnya memilih bercerai, sebenarnya hal itu bukan karena mereka lemah tapi justru karena mereka berani mengambil kendali atas hidupnya.
Keputusan ini sering kali diambil setelah perjuangan panjang, diskusi batin, bahkan pengorbanan yang tak sedikit. Sebab sejatinya perceraian bukan tentang siapa yang kalah, tapi tentang siapa yang akhirnya memilih “sembuh”.
Stigma Sosial: Kasihan Hingga Ketakutan Kolektif
Dalam masyarakat dengan nilai patriarki yang kental, perempuan yang bercerai kerap mendapat tatapan iba atau bahkan sinis. Mereka disebut “gagal”, “egosi”, “tidak sabar” atau “tidak tahu berterima kasih”.
Ironisnya, laki-laki yang bercerai justru dianggap “bebas”, “punya kesempatan kedua”, atau “korban keadaan” yang masih diterima baik dalam masyarakat.
Di sisi lain, perempuan yang bercerai malah dikasihani dengan dalih empati yang berdampak pada ketakutan atas pandangan negatif masyarakat tadi. Empati ini bukan rasa memahami tapi menyembunyikan pandangan bahwa perempuan seharusnya tetap bergantung pada institusi pernikahan.
Padahal, perempuan yang berani keluar dari hubungan yang tidak sehat justru sedang mempraktikkan kemandirian sejati. Namun, stigma sosial terlanjur terbentuk dan abai pada kebutuhan perempuan untuk keluar dari pernikahan demi menemukan kebahagiaan.
Perspektif Psikologis: Perceraian dan Pemulihan Diri
Dari sisi psikologi, keputusan bercerai bisa menjadi langkah menuju pemulihan mental. Hidup dalam hubungan toksik dapat menyebabkan stres kronis, depresi, gangguan kecemasan, bahkan hilangnya rasa percaya diri.
Setelah bercerai, perempuan sering melalui fase adaptasi emosional yang tidak mudah. Mulai dari rasa bersalah karena dianggap merusak keluarga, rasa kehilangan, hingga rasa takut pada stigma.
Namun, ketika proses penyembuhan dimulai, banyak perempuan menemukan hal yang tidak pernah mereka punya sebelumnya berupa rasa damai, kebebasan, dan jati diri. Mereka belajar menetapkan batas, mengenal nilai diri, dan membangun ulang kepercayaan terhadap hidup.
Dalam banyak kasus, perceraian bukan kegagalan cinta atau malah jadi aib, tapi justru jadi bentuk keberhasilan untuk bertahan hidup dengan lebih sehat secara mental dan emosional.
Bertahan Demi Anak dan Narasi yang Sering Disalahpahami
Salah satu alasan perempuan kerap dipaksa bertahan adalah anak. “Kasihan anak kalau nggak punya ayah”, begitu kata orang. Tapi kenyataannya, anak tidak butuh rumah tangga utuh yang tidak sehat.
Anak lebih membutuhkan orang tua yang bahagia dan penuh kasih, bukan dua orang dewasa yang saling melukai setiap hari. Penelitian menunjukkan, anak dari keluarga dengan konflik tinggi justru lebih rentan mengalami trauma dibanding anak dari orang tua yang bercerai tapi tetap menjalin komunikasi baik.
Jadi, perempuan yang memilih berpisah bukan berarti tidak memikirkan anak. Mereka justru berusaha menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan stabil bagi masa depan anaknya.
Perempuan dan Perceraian: Hanya Perlu Tidak Dikasihani
Sudah saatnya masyarakat berhenti mengasihani perempuan yang bercerai dan mulai menghargai keberanian mereka mengambil keputusan besar ini.
Perempuan yang memilih bercerai juga bukan sedang mencari simpati, tapi sedang membangun ulang dirinya dari nol dengan segala risiko sosial dan emosional yang menyertainya.
Mereka tidak butuh pandangan iba, tapi ruang untuk hidup dengan martabat. Butuh dukungan, bukan penilaian, butuh kesempatan untuk kembali berkarya dan mencintai tanpa label “gagal.”
Karena sejatinya, setiap perempuan punya hak untuk menentukan jalan hidupnya, termasuk hak untuk tidak lagi menderita dalam diam.
Baca Juga
-
Kendala Fisik Jadi Alasan Anthony Ginting Ditarik dari Korea Masters 2025
-
Gak Usah Bingung, 5 Sling Bag Cewek Ini Bikin Tampilanmu Auto Stylish
-
Merespons Anak yang Malas Sekolah Tanpa Marah, Mama Ini Beri Reaksi Cerdas
-
Bidik Gelar Juara Hylo Open 2025, Putri KW Harus Puas Hanya Jadi Runner Up
-
Fakta Unik Hylo Open 2025: Naik Level dan Wakil Denmark Back to Back Juara
Artikel Terkait
-
Sebelum Hamish Daud Muncul, Pihak Raisa Jawab Isu Selingkuh Jadi Dasar Perceraian
-
Cristina Macina, Pemimpin Perempuan yang Dorong Masa Depan Pangan Berkelanjutan di Indonesia
-
Bahas Pembagian Harta dan Pengasuhan Anak, Hamish Daud: Tak Ada Perebutan
-
Sidang Cerai Tasya Farasya dan Ahmad Assegaf Masuki Tahap Akhir
-
Cerai dengan Sabrina Chairunnisa, Deddy Corbuzier Masih Anggap Mantan Istrinya Adik
Kolom
-
Gambaran Retaknya Sinema Kita, Film Bagus yang Nggak Selaris Horor
-
Tergulung Doomscrolling, Ketika Layar Jadi Sumber Cemas
-
Investasi Paling Mahal Itu Kesehatan! Dokter Tirta Ingatkan Pola Makan Seimbang
-
Siapa Junko Furuta? Mengenal Kisah Tragis dari Kontroversi Nessie Judge
-
Saat Bahasa Ngapak Nggak Lagi Jadi Bahan Tertawaan
Terkini
-
Bidadari Santa Monica: Ketika Warna Kehidupan Bertemu Misteri dan Cinta
-
Sinopsis Haq, Film India yang Dibintangi Emraan Hashmi dan Yami Gautam
-
Resmi Digugat Cerai Na Daehoon, Jule Kepergok Jalan Bareng Selingkuhan
-
Banyak Tim Comeback di ACL 2 Musim Ini, Mengapa Persib yang Paling Sukses? Ini Alasannya!
-
Remontada! 3 Fakta Unik di Balik Comeback Persib Bandung di Kandang Selangor FC, Apa Saja?