Hayuning Ratri Hapsari | Desi Nurcahyati
Ilustrasi Keindahan Pantai Lombok (Pexels/Pexels)
Desi Nurcahyati

Di ujung selatan Lombok, lautan biru bertemu dengan tebing-tebing kapur yang sunyi. Angin membawa aroma garam yang menusuk halus, seakan menyimpan rahasia tua tentang mereka yang hidup berdampingan dengan gelombang.

Di tempat inilah, pesisir bukan sekadar batas antara darat dan laut, tetapi denyut kehidupan yang terus bergerak, perlahan namun pasti.

Setiap pagi, deru perahu kecil pecah bersama cahaya pertama yang jatuh di permukaan air. Ada punggung-punggung yang membungkuk pada laut, membaca arus seperti halnya membaca doa. Namun, perubahan cuaca membuat laut tak lagi ramah.

Ombak kian datang lebih tinggi, musim datang lebih cepat, dan angin bergeser sesuka hati. Di balik setiap layar perahu yang terangkat, ada keberanian untuk menantang suatu ketidakpastian.

Tak ada nama yang disebut, hanya jiwa-jiwa yang memandang laut dengan harap yang sama: agar hari itu membawa pulang rezeki yang cukup.

Di balik bukit kecil, sekelompok perempuan menjemur hasil olahan laut yang di peroleh di atas tikar pandan. Tangan-tangan mereka bekerja dalam ritme lembut, mengubah tangkapan kecil menjadi makanan yang tahan lama dan bernilai.

Mereka mengiris, mengaduk, mengeringkan, dan membungkus olahan tersebut sambil bertukar cerita. Di tengah keterbatasan, mereka melahirkan cara baru untuk survive (bertahan). Dari dapur sederhana, tercipta kehidupan yang tidak lagi bergantung sepenuhnya pada kemurahan hati laut.

Di sepanjang pantai, jejak kaki anak-anak muda membentuk garis-garis baru di pasir. Mereka menanamkan kembali vegetasi yang hilang, membersihkan sampah yang dibawa arus, dan memperbaiki jalur wisata yang rusak.

Mereka tahu bahwa pesisir bukan hanya tempat bermain, tetapi warisan yang harus dijaga bersama-sama. Setiap batang rumput laut yang dikembalikan, setiap plastik yang diangkat, setiap pohon pantai yang ditanam menjadi bagian dari janji diam mereka pada bumi: bahwa keindahan ini tidak boleh hilang begitu saja.

Di tepi hutan cemara laut, suara gemerisik dedaunan seperti menghafal ulang sejarah abrasi. Tanah yang hilang perlahan membuat warga sadar bahwa daratan pun bisa berjalan, digerogoti ombak sedikit demi sedikit.

Maka mereka menanam pohon-pohon baru, menambatkan akar pada tanah yang terus ingin pergi. Hutan itu tumbuh sebagai perisai, menguat seiring keyakinan bahwa melindungi pesisir berarti melindungi hidup itu sendiri.

Tak ada kisah yang megah. Tak ada penanda besar. Hanya rangkaian tindakan kecil yang bila disatukan menjadi gerakan yang dapat menggugah.

Dari laut hingga daratan, dari tangan dewasa hingga tangan muda, semuanya menyatu menjadi satu mozaik ketangguhan. Di sinilah nilai pesisir sesungguhnya terlihat, yaitu keberanian untuk bertahan, keinginan untuk berubah, serta cinta yang diwujudkan dalam tindakan nyata.

Pesisir selatan Lombok mengingatkan bahwa keteguhan manusia tidak selalu ditunjukkan dalam gemuruh; terkadang ia hadir dalam bisikan angin, langkah pelan di pasir, dan tangan yang tak pernah lelah merawat bumi.

Selama ada mereka yang menjaga, pesisir akan tetap bernapas. Dan selama laut masih berdenyut, harapan akan selalu menemukan jalan pulang.

Dan ketika senja turun perlahan di balik bukit, cahaya jingga menari di atas permukaan laut yang tenang. Ombak membawa pulang rahasia hari itu, menyimpannya di celah-celah karang, seolah mengetahui bahwa setiap langkah manusia pesisir adalah doa yang tak pernah putus.

Di tepian pantai, angin membawa cerita baru tentang harapan yang tumbuh seperti tunas mangrove, pelan tapi pasti, kuat dan berakar.

Di tempat inilah laut bukan hanya pemandangan, melainkan ingatan yang selalu memanggil pulang serta janji bahwa selama manusia menjaga alam, alam pun akan menjaga mereka dengan kelembutan yang tak pernah habis.