Di era media sosial yang serba publik, kasus bullying semakin mudah menyebar dan meninggalkan luka permanen. Ironisnya, pembully sering kali adalah anak-anak dan remaja yang sebenarnya masih bisa diarahkan. Penelitian dari UNICEF pada 2023 menyebutkan bahwa satu dari tiga anak di Indonesia pernah mengalami bullying, baik secara langsung maupun daring. Angka ini terus naik seiring maraknya cyberbullying. Namun, ada satu senjata ampuh yang terbukti mampu menekan angka tersebut secara signifikan: empati.
Empati bukan bakat bawaan yang dimiliki sebagian orang saja. Empati adalah keterampilan yang bisa diajarkan sejak usia dini. Ketika anak belajar memahami perasaan orang lain, ia cenderung tidak akan menyak melakukan tindakan yang menyakiti.
Sayangnya, banyak orang tua dan pendidik masih menganggap empati akan tumbuh dengan sendirinya. Padahal, tanpa bimbingan yang tepat, anak justru bisa tumbuh menjadi generasi yang cuek, egois, bahkan menjadi pelaku bullying.
Langkah pertama mengajarkan empati adalah dengan memberi contoh nyata di rumah. Anak adalah peniru ulung. Jika orang tua sering membentak pembantu, menghina tetangga, atau mengolok-olok orang lain di depan anak, maka anak akan menormalisasi perilaku tersebut.
Sebaliknya, ketika orang tua menunjukkan sikap menghormati semua orang—termasuk kepada satpam sekolah, driver ojek online, atau teman yang berbeda fisik—anak akan menyerap nilai tersebut secara alami.
Di sekolah, peran guru tak kalah penting. Banyak kasus bullying terjadi karena anak merasa “tidak ada yang peduli”. Di sinilah konsep Yoursay Safe Space menjadi sangat relevan. Yoursay Safe Space adalah ruang aman, baik fisik maupun digital, di mana anak merasa boleh bercerita tanpa takut dihakimi, boleh menangis tanpa dicap lemah, dan boleh melapor tanpa takut dibalas dendam. Beberapa sekolah yang sudah menerapkan Yoursay Safe Space melaporkan penurunan kasus bullying hingga 60 persen dalam satu tahun karena anak-anak akhirnya punya tempat untuk bersuara.
Selain ruang aman, aktivitas sederhana seperti role-playing juga sangat efektif. Misalnya, guru atau orang tua mengajak anak berpura-pura menjadi teman yang dikucilkan, dicaci karena gemuk, atau diolok karena berkebutuhan khusus.
Setelah itu, anak diajak mendiskusikan: “Bagaimana rasanya kalau kamu yang diperlakukan begitu?” Metode ini terbukti meningkatkan kemampuan empati anak usia 4–12 tahun hingga 40 persen, menurut jurnal Developmental Psychology pada 2022.
Literasi emosi juga harus dimulai sejak PAUD. Anak perlu diajari nama-nama perasaan: sedih, marah, takut, malu, kecewa. Banyak anak melakukan bullying karena mereka tidak tahu cara mengekspresikan emosi dengan benar.
Akhirnya, kemarahan diekspresikan lewat mengejek atau memukul. Dengan kosakata emosi yang kaya, anak bisa berkata, “Aku kesal karena kamu rebut mainanku,” alih-alih langsung mendorong temannya.
Orang tua juga harus berani mengoreksi ketika anak menunjukkan sikap tidak berempati, sekecil apa pun. Misalnya, saat anak tertawa melihat video orang jatuh di TikTok, orang tua bisa bertanya, “Kalau kamu yang jatuh dan semua orang ketawa, apa yang kamu rasakan?” Pertanyaan sederhana ini jauh lebih efektif daripada langsung memarahi.
Pada akhirnya, mencegah generasi pembully bukan tanggung jawab sekolah atau pemerintah semata. Ini adalah tugas bersama keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketika setiap anak tumbuh dengan empati yang kuat, dunia akan kehilangan alasan untuk saling menyakiti. Yoursay Safe Space bukan sekadar slogan, tapi komitmen nyata bahwa tidak ada anak yang boleh merasa sendirian menghadapi luka batinnya.
Mari mulai hari ini untuk mengajak anak bicara dari hati ke hati. Dengarkan tanpa menghakimi. Beri ruang aman baginya untuk jujur. Karena satu anak yang belajar berempati hari ini, bisa menyelamatkan puluhan anak lain dari menjadi korban bullying esok hari.
Baca Juga
-
Review Film Ha Gom: The Darkness of the Soul, Horor Folk Thailand yang Gelap dan Atmosferik
-
Review Film Danyang Wingit: Jumat Kliwon, Ritual Kelam Pertunjukkan Wayang!
-
Review Film Sosok Ketiga: Lintrik, Cinta Terlarang yang Berujung Maut
-
Review Film Zootopia 2: Petualangan Baru di Kota Hewan yang Penuh Makna
-
Review Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Lebih Ngakak, Hangat, dan Menyala
Artikel Terkait
Kolom
-
Masih Bertahan Setelah Diselingkuhi? Mungkin Kamu Terjebak Hopeful Bias
-
Tak Tercatat Statistik, tapi Menghidupi Pesisir: Potret Perempuan Nelayan
-
Bullying Bukan Drama Anak Sekolah, Tetapi Luka yang Menempel Sampai Dewasa
-
Salah Kaprah Budaya Bullying: Bercanda tapi kok Menyakitkan, sih?
-
Perempuan yang Menjemur Pagi: Cerita Ketangguhan dari Pesisir Demak
Terkini
-
Jadwal F1 GP Abu Dhabi 2025: 3 Pembalap Siap Rebut Gelar Juara Dunia
-
Taeyeon Ucapkan Selamat Tinggal pada Masa Lalu di Lagu Comeback 'Panorama'
-
Timur Kapadze Terima Tawaran Melatih Klub Asal Uzbekistan, PSSI Rugi Besar?
-
Buku The Apothecary Diaries Sukses Terjual 45 Juta Eksemplar
-
Pancarkan Aura Seram, Eum Moon Suk Jadi Villain Baru Tak Terduga di Taxi Driver 3