Hayuning Ratri Hapsari | Thedora Telaubun
Ilustrasi Penyandang Disabilitas (Freepik)
Thedora Telaubun

Setiap 3 Desember, dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Pada 2025 ini, tema yang diusung adalah Fostering Disability Inclusive Societies for Advancing Social Progress.

Momen ini menjadi sebuah ajakan untuk membangun masyarakat yang inklusif karena itulah yang mendorong kemajuan sosial yang sebenarnya.

Tema ini ditekankan oleh PBB agar negara dan masyarakat tidak berhenti pada seremoni, tetapi membangun praktik nyata yang memungkinkan penyandang disabilitas terlibat penuh dalam kehidupan sosial, pendidikan, hingga dunia kerja.

Yang menarik, inklusi tidak selalu lahir dari proyek atau program besar. Banyak perubahan justru dimulai dari hal kecil yang selama ini dianggap remeh. 

Contohnya akses fisik yang benar-benar ramah seperti, ramp yang tidak terhalang tanaman, jalur pejalan kaki yang tidak dipasangi papan promosi, pintu yang cukup lebar untuk kursi roda, atau toilet umum yang mempertimbangkan kebutuhan ragam tubuh. 

Ketika detail itu diperhatikan, orang bisa bergerak lebih bebas tanpa harus meminta bantuan.

Di ruang digital, inklusi juga muncul dari kebiasaan sederhana seperti menyediakan subtitle dalam video, menambahkan deskripsi pada foto, atau memastikan dokumen bisa dibaca oleh pembaca layar. 

Bagi sebagian orang, itu mungkin terlihat seperti tambahan kecil. Namun, bagi banyak orang lainnya, itu adalah akses. Akses berarti kesempatan untuk berpartisipasi tanpa halangan.

Sikap kita sehari-hari juga menentukan ruang ini jadi inklusif atau tidak. Menggunakan bahasa yang menghormati, tidak mendahului dengan asumsi, dan tidak memaksa seseorang menerima bantuan yang tidak mereka butuhkan, merupakan bagian dari upaya kecil yang dampaknya besar.

Inklusi pada dasarnya bukan soal belas kasih, melainkan cara kita memperlakukan setiap orang sebagai manusia yang setara. 

Penyandang disabilitas bukan objek dari kepedulian, melainkan bagian dari masyarakat yang punya kemampuan, gagasan, dan kontribusi yang sama pentingnya.

Peluang pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial harus dibuka lebar dengan penyesuaian yang wajar. 

Banyak lembaga di Indonesia sudah mulai bergerak ke arah ini, baik melalui akses pendidikan yang lebih inklusif maupun penyediaan fasilitas publik yang lebih mempertimbangkan keberagaman tubuh.

Di Hari Disabilitas Internasional 2025 ini, kita diajak untuk melihat inklusi sebagai kebiasaan, bukan agenda tahunan. 

Ketika ramp bisa digunakan siapa saja, ketika informasi mudah diakses semua orang, ketika sikap sehari-hari penuh respek, ruang kita perlahan menjadi lebih ramah. 

Itu bukan karena seseorang ingin tampak baik, tetapi karena setiap orang berhak merasa diterima, aman, dan dihargai di ruang yang sama.

Selamat Hari Disabilitas Internasional. Semoga langkah-langkah kecil itu tetap kita jaga, karena justru hal-hal sederhana itulah yang diam-diam mengubah ruang menjadi lebih inklusif bagi semua orang.