Isu bullying di sekolah kembali menjadi sorotan publik, terutama ketika cara guru menghadapi masalah ini dinilai tidak selalu sejalan dengan tuntutan zaman maupun gaya pendidikan modern.
Di banyak sekolah bahkan terdapat benturan antar generasi di mana guru-guru yang sudah lama mengajar memandang bullying dengan perspektif berbeda dari guru muda yang membawa pendekatan pendidikan adaptif.
Perbedaan ini sering memengaruhi cara sekolah menangani kasus bullying dan bagaimana siswa merasakan perlindungan saat menjadi korban mengingat perilaku perundungan bukan lagi isu sepele.
Dampaknya yang meliputi gangguan emosional, turunnya prestasi, hingga trauma jangka panjang menuntut pendekatan lebih sensitif dan berbasis empati. Di sinilah muncul perbedaan cara pandang antara dua generasi pendidik dengan perkembangan psikologi pendidikan.
Cara Guru Generasi Lama Melihat Bullying: “Bagian dari Proses Pendewasaan”
Bagi sebagian guru senior, bullying sering dianggap hal biasa. Pengalaman masa lalu yang tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang keras membuat ejekan, hukuman fisik, atau intimidasi ringan dianggap sebagai bagian dari “tradisi” sekolah.
Pada era mereka, pendidikan memang lebih menekankan kepatuhan dan ketahanan mental agar anak-anak bisa “bertahan hidup” di lingkungan keras demi mempersiapkan diri menghadapi dunia yang tidak selalu ramah.
Di sisi lain, bullying yang dianggap candaan juga membuat banyak kasus tidak tertangani karena pelaku merasa dilindungi dan korban merasa tidak punya tempat aman. Bahkan jika terbukti membully, pelaku akan dihukum tapi pemulihan mental korban hampir tak tersentuh.
Guru Modern: Empati, Pendampingan Emosional, dan Zero Tolerance
Berbeda dengan pendekatan lama, guru generasi baru biasanya lebih peka pada aspek psikologis siswa. Mereka lebih melek soal kesehatan mental, manajemen kelas, hingga pendekatan restoratif.
Guru modern membuka peluang mendengarkan kedua pihak sebelum mengambil keputusan, menggunakan metode konseling, menilai dari sisi dampak psikologis, memberi hukuman pada pelaku, hingga mendorong budaya anti-bullying di kelas.
Keterbukaan pola pikir ini membuat bullying dinilai sebagai tindakan agresi berulang yang bisa berdampak jangka panjang, termasuk trauma, hingga membutuhkan pendekatan lebih sistematis, bukan sekadar “damai di tempat”.
Guru Zaman Now dan Pendekatan Pendidikan Modern
Guru zaman now dan pendekatan pendidikan modern yang relatif adaptif umumnya lebih mengutamakan empati dan intervensi holistik.
Bekal teori pendidikan terbaru dari para guru ini membawa perspektif berbeda yang cenderung menekankan konsep whole child, yaitu melihat siswa bukan hanya sebagai pelajar, tetapi sebagai manusia dengan kebutuhan emosional dan sosial.
Dalam prinsip pendekatan, bullying dipandang sebagai masalah serius, bukan candaan. Guru modern juga memahami bahwa perilaku bullying, baik verbal, fisik, maupun digital, dapat merusak kepercayaan diri siswa dan menimbulkan trauma jangka panjang.
Pada akhirnya, fokus pada komunikasi dan pemulihan juga menjadi solusi selain pemahaman motif perilaku tersebut. Perasaan korban divalidasi dan pencegahan perilaku berulang pun jadi tujuan akhir yang tidak diabaikan.
Benturan Antar Generasi: Mengapa Perspektif Guru Bisa Sangat Berbeda?
Perbedaan cara menyikapi bullying bukan sekadar karena perbedaan usia. Ada faktor-faktor lain yang memainkan peran besar dalam benturan antar generasi ini.
Pengalaman hidup yang berbeda dari tiap generasi guru menjadi salah satu alasan utama. Guru senior umumnya melalui masa sekolah yang keras hingga batas toleransi terhadap kekerasan lebih tinggi.
Selain itu, perbedaan kurikulum pendidikan guru juga turut mempengaruhi mengingat guru lulusan baru sudah mendapat materi psikologi perkembangan, pendidikan inklusif, dan manajemen kelas yang lebih manusiawi.
Perubahan lingkungan sosial dan digital membuat guru muda umumnya lebih adaptif, berbeda dengan guru senior yang sering kesulitan memahami bentuk-bentuk fenomena baru, seperti cyberbullying, doxing, flaming, dan body shaming online.
Sinergi Lintas Generasi dalam Lingkungan Pendidikan Jadi Solusi
Benturan antar generasi tidak harus menjadi konflik, justru kedua pendekatan ini bisa saling melengkapi. Guru senior memiliki pengalaman manajemen kelas bisa berkolaborasi dengan guru muda yang mampu membawa perspektif ilmiah dan empati.
Jika kedua generasi mau saling terbuka, sekolah dapat menciptakan sistem penanganan bullying yang tegas, manusiawi, dan efektif. Perbedaan perspektif yang mampu dijembatani akan membuat sekolah menjadi ruang yang benar-benar melindungi semua siswa.
Baca Juga
-
Kenali! Tipe Bullying di Sekolah Ini Sering Tidak Disadari Guru dan Orang Tua
-
Budaya Senioritas: Tradisi yang Diam-diam Menghidupkan Bullying
-
Salah Kaprah Budaya Bullying: Bercanda tapi kok Menyakitkan, sih?
-
Efek Domino Bullying di Sekolah: Prestasi Turun hingga Trauma Jangka Panjang
-
Syed Modi International 2025: Panggung Gelar S300 Perdana Dejan/Bernadine
Artikel Terkait
Kolom
-
Jejak Harapan dari Ujung Negeri
-
Revitalisasi Kampung Nelayan di Tengah Gempuran Modernitas
-
Perundungan Tak Kasat Mata: Saat Covert Bullying Menghancurkan Tanpa Suara
-
Pungli di Sekolah Negeri: Gejala Sistemik yang Tak Boleh Dianggap Normal
-
Stop Anggap Remeh! Ini Kebiasaan Sehari-hari yang Diam-Diam Ubah Dunia Jadi Inklusif
Terkini
-
Cari HP Gaming Rp 5 Jutaan? Ini 7 Pilihan Paling Worth It 2025!
-
Review Film Five Nights at Freddy's 2: Hadir dengan Teror dan Twist Baru!
-
Ulasan Film In Your Dreams: Tatkala Mimpi Jadi Kunci Mengubah Nasib
-
4 Serum Kandungan Exosome Ampuh Atasi Wrinkle dan Buat Kulit Auto Plumpy!
-
Ungkap Judul Resmi, Film Detective Conan Terbaru Bakal Tayang Tahun Depan