Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Ilustrasi anak yang sedang menangis (Unsplash.com/ Zhivko Minkov)
Davina Aulia

Di lingkungan sekolah, kampus, maupun komunitas anak muda, kita sering menyaksikan perilaku yang tampaknya biasa saja, tetapi ternyata memiliki dampak yang besar. Misalnya, teman yang sengaja tidak diajak bicara, seseorang yang dikeluarkan dari grup tanpa penjelasan, gosip kecil yang berputar pelan namun melukai, atau candaan yang mengarah pada satu orang. Hal-hal ini dianggap lumrah, dengan alasan sekadar bercanda.

Padahal justru inilah bentuk covert bullying, yaitu perundungan yang terjadi secara halus, diam-diam, dan tidak mengandalkan kekerasan fisik untuk melukai. Luka yang ditinggalkannya tidak terlihat, tetapi dampaknya dapat bertahan sangat lama.

Covert bullying adalah bentuk agresi relasional yang menggunakan relasi sosial untuk menyakiti seseorang, baik melalui pengucilan, silent treatment, pembentukan aliansi untuk mengisolasi, hingga penyerangan reputasi secara tidak langsung.

Salah satu penelitian penting mengenai perundungan halus ini ditulis oleh Shcheglova dan Yakushina dalam artikel berjudul “The Invisibility of Covert Bullying Among Students: Challenges for Researchers and Educators”.

Penelitian tersebut menemukan bahwa covert bullying sering tidak dikenali karena dilakukan melalui perilaku sosial sehari-hari yang tampak normal, seperti pengabaian, pengucilan, atau manipulasi relasional.

Para peneliti menegaskan bahwa guru dan tenaga pendidik lebih mudah mengidentifikasi perundungan fisik dan verbal, tetapi mengalami kesulitan besar mendeteksi bentuk perundungan yang subtil karena tidak ada bukti langsung atau tanda fisik yang dapat diamati.

Temuan ini memperlihatkan bahwa covert bullying tidak hanya tersembunyi, tetapi juga tertutup oleh norma sosial yang menganggapnya sebagai dinamika pertemanan biasa. Inilah yang menjadikan perundungan tak kasat mata sangat berbahaya.

Mengapa Covert Bullying Sulit Dideteksi?

Salah satu tantangan terbesar dalam menangani covert bullying adalah sifatnya yang tidak terlihat. Temuan dari penelitian milik Shcheglova dan Yakushina menunjukkan bahwa jenis perundungan ini kerap berlangsung secara subtil, terselubung, dan dilakukan dalam bentuk perilaku sosial sehari-hari yang tampak normatif.

Guru dan konselor sekolah sering menyadari bentuk perundungan fisik atau verbal, tetapi mengalami kesulitan besar dalam mengetahui kasus perundungan halus seperti pengabaian atau manipulasi sosial karena tidak memiliki tanda fisik atau bukti langsung yang bisa diamati.

Penelitian tersebut juga menekankan bahwa banyak siswa tidak melaporkan bentuk perundungan ini karena merasa peristiwa yang mereka alami tidak cukup parah untuk dianggap bullying.

Dampak Emosional yang Tidak Dianggap Serius

Covert bullying memang tidak meninggalkan memar fisik, tetapi efek psikologisnya sangat signifikan. Mengacu pada temuan dalam artikel, bentuk perundungan ini dapat merusak harga diri, membuat siswa kehilangan rasa percaya diri, dan menciptakan rasa terasing yang mendalam.

Korban sering merasa tidak memiliki ruang aman untuk berbicara karena pelaku bisa saja merupakan teman dekat, circle pertemanan, atau figur populer di lingkungan mereka.

Rasa tidak terlihat dan tidak didengarkan membuat banyak korban internalisasi rasa bersalah, merasa ada yang salah dengan diri mereka, atau bahkan menyalahkan diri sendiri atas perlakuan buruk yang mereka alami.

Penelitian Shcheglova dan Yakushina juga memberikan gambaran bahwa anak muda yang mengalami covert bullying dapat menunjukkan penurunan motivasi belajar dan ketidaknyamanan dalam interaksi sosial, yang berpotensi memengaruhi perkembangan psikososial mereka dalam jangka panjang

Mengapa Lingkungan Sekolah dan Komunitas Perlu Lebih Peka?

Lingkungan pendidikan sering kali menjadi tempat pertama di mana covert bullying muncul. Namun, sekolah cenderung lebih fokus pada bentuk perundungan fisik atau verbal yang terlihat secara jelas.

Menurut penelitian Shcheglova dan Yakushina, banyak sekolah kesulitan menetapkan intervensi karena covert bullying tidak mudah dikategorikan dan bukti-buktinya sering tidak konkrit.

Guru atau konselor memerlukan pelatihan khusus untuk memahami pola interaksi sosial yang manipulatif dan dinamika kelompok yang mengarah pada eksklusi sosial.

Selain itu, norma sosial yang menganggap pengabaian, gosip, atau pengucilan sebagai drama remaja biasa justru memperkuat ruang untuk covert bullying berkembang.

Dibutuhkan edukasi yang lebih mendalam kepada siswa, guru, dan orang tua mengenai bagaimana perilaku halus seperti itu bisa menjadi bentuk kekerasan psikologis.

Covert bullying adalah ancaman senyap yang sering tidak kita sadari keberadaannya, namun dampaknya dapat menghancurkan rasa percaya diri dan rasa aman seseorang tanpa suara.

Memahami bentuk perundungan tak kasat mata ini adalah langkah pertama dalam menciptakan lingkungan yang benar-benar aman bagi semua orang.

Dengan meningkatkan kepekaan, memperkuat empati, dan membuka ruang dialog, kita dapat memastikan bahwa tidak ada lagi yang terluka dalam diam.