Hayuning Ratri Hapsari | e. kusuma .n
Ilustrasi cyberbullying (Pexels/RDNE Stock project)
e. kusuma .n

Di era media sosial yang masif seperti sekarang, hampir semua orang pernah melihat atau bahkan mengalami situasi menjadi sasaran komentar pedas dari netizen. Mulai dari body shaming, merendahkan prestasi, nyinyiran, sampai komentar sarkas yang katanya “cuma bercanda”.

Anehnya, banyak orang mulai menganggap semua itu sebagai “ongkos” menjadi pengguna internet, khususnya media sosial. Seolah-olah, kalau sudah berani muncul di dunia maya, ya harus siap terima serangan jahat.

Padahal, normalisasi seperti ini bisa sangat berbahaya. Bukan hanya karena menyakiti mental seseorang, tapi juga membuat internet semakin penuh energi negatif yang seharusnya tidak perlu ada.

Pada akhirnya, cyberbullying seolah menjadi paket lengkap dari kehidupan di dunia maya yang harus dihadapi penggunanya. Dampaknya, internet dianggap semakin toksik dan membuat banyak orang takut berekspresi.

Normalisasi Cyberbullying: Masalah yang Lebih Serius dari Kelihatannya

Fenomena menyebut komentar jahat sebagai “ongkos” internet sebenarnya adalah bentuk normalisasi kekerasan digital. Kita tidak sadar bahwa anggapan itu membuat pelaku merasa semakin bebas dan korban semakin tidak punya pembelaan.

Padahal, internet tidak pernah dibuat sebagai tempat untuk saling melukai perasaan. Media sosial adalah sarana komunikasi, bukan ring tinju.

Ketika semua orang menganggap hujatan di medsos sebagai sesuatu yang “wajar” dihujat, maka lumrah pula kalau pelaku jadi tidak merasa bersalah. Pada akhirnya, budaya ini terus berulang dan seolah sulit diputus.

Bentuk Cyberbullying yang Sering Terlihat Sepele

Tidak semua cyberbullying muncul dalam bentuk makian kasar secara terang-terangan. Banyak yang justru tampak ringan, padahal efeknya tetap menyakitkan, seperti komentar nyinyir yang dibungkus humor.

Komentar seperti “Canda jelek” atau “Bercanda kok” padahal ada indikasi menghina dan merendahkan, sering kali dianggap lucu meski ada pihak yang tersinggung.

Bentul cyberbullying lainnya juga bisa berwujud sarkasme dan sindiran yang biasanya muncul saat seseorang berbagi pencapaian di medsos. Bukan pujian, terkadang ada saja netizen yang malah melemparkan komentar yang menyepelekan.

Bukan hanya soal kalimat pedas yang menghina, merendahkan, atau menyepelekan, cyberbullying juga bisa muncul dalam bentuk penggiringan opini negatif. Hanya karena tidak suka, seseorang memilih mengarahkan komentar publik ke arah buruk demi menjatuhkan.

Yang tidak kalah sering muncul juga adalah kesempatan menghina hanya karena kesalahan kecil dalam sebuah komentar yang ditulis. Entah salah sebut nama, salah ketik, atau informasinya kurang tepat, langsung jadi bahan roasting berhari-hari.

Cyberbullying Itu “Konsekuensi”, Benarkah?

Fenomena di mana cyberbullying diklaim sebagai bentuk “konsekuensi” sebenarnya tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa penyebab mengapa netizen dan publik pada umumnya jadi semakin permisif.

1. Budaya Komentar Instan

Di media sosial, semua orang mengambil peran sebagai kritikus dadakan. Tanpa jeda berpikir untuk mencari verifikasi lebih dulu, orang memilih untuk berkomentar cepat, terlebih kalau kontennya sedang viral.

2. Anonimitas

Anonimitas membuat orang tidak takut pada konsekuensi yang bisa saja diterima. Biasanya, mereka memilih menggunakan akun palsu agar lebih bebas melukai tanpa merasa bertanggung jawab.

3. Konsumsi konten yang serba cepat

Konsumsi konten atau informasi yang serba cepat membuat empati ikut terkikis. Orang terlalu sering disuguhkan beragam konten dan cepat pula meninggalkan jejak komentar, termasuk yang bernada negatif.

4. Entertainment value

Aspek entertainment value juga jadi penyebab netizen semakin permisif. Mereka seolah merasa mendapat hiburan gratis saat menyaksikan orang lain dihujat hingga membuat public shaming makin subur.

Dampak Cyberbullying Tidak Main-Main

Yang sering dilupakan adalah efek jangka panjang dari cyberbullying. Satu komentar jahat mungkin dianggap sepele bagi pelaku, tapi bisa menjadi sumber stres berkepanjangan, gangguan kecemasan, kehilangan kepercayaan diri, bahkan trauma bagi korbannya.

Dalam beberapa kasus ekstrem, cyberbullying juga berpotensi memengaruhi performa di sekolah, pekerjaan, hingga hubungan sosial korban. Itulah sebabnya menyebut “ongkos” berada di internet merupakan pemikiran yang keliru.

Internet Bukan Alasan untuk Berperilaku Buruk

Pada akhirnya, fenomena cyberbullying menjadi titik temu pola pikir bahwa internet dan media sosial tidak boleh menjadi alasan perilaku buruk dilegalkan dengan dalih “ongkos” terjun di dunia maya.

Mengkritik bukan masalah, tidak setuju atau berbeda prinsip dalam bermedia sosial lalu mengemukakan pendapat pun sah-sah saja. Namun, yang jadi masalah adalah ketika komentar berubah menjadi serangan pribadi.

Menormalisasi komentar jahat sebagai “ongkos” berada di internet hanyalah cara untuk melegitimasi perilaku tidak etis. Dunia maya tetap diisi manusia, bukan karakter fiksi yang kebal rasa sakit.

Artinya, setiap kata yang kita ketik tetap punya dampak. Menjadi pengguna internet yang baik tidak membutuhkan biaya, hanya butuh empati dan batasan untuk lebih menghargai privasi orang lain.