Hayuning Ratri Hapsari | Ernik Budi Rahayu
Ilustrasi Korban Bullying yang Memilih Diam (pexels.com/Pixabay)
Ernik Budi Rahayu

Kasus bullying atau perundungan di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan dan kini menjadi salah satu isu serius bagi dunia pendidikan serta perlindungan anak.

Dilansir dari Goodstats, Berdasarkan keterangan JPPI, adanya kenaikan tajam kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024.

Jika pada 2023 terdapat 285 kasus, maka pada 2024 jumlahnya melonjak menjadi 573 kasus, naik lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari total tersebut, sekitar 31 persen berkaitan langsung dengan perundungan. Angka ini memperlihatkan bahwa bullying masih menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan di sekolah.

Fenomena yang terus berlangsung itu membuat publik hanya akan fokus kepada pelaku bullying, ketimbang memikirkan apa yang membuat fenomena ini terus mengakar.

Yang perlu didalami adalah bullying tak hanya terjadi karena adanya pelaku, tetapi pembiaran budaya buruk yang kita lakukan yang membuat bullying terus terjadi.

Salah satu budaya buruk tersebut adalah “diam”, budaya diam adalah salah satu penyebab besar bullying terus berlangsung lama.

Dengan adanya tulisan ini, penulis ingin menyoroti bagaimana budaya ini bekerja di masyarakat, serta bagaimana hukum sebenarnya sudah ada namun tidak berjalan karena diam dianggap normal.

Budaya Diam dalam Bullying

Budaya dia atau culture of silence adalah akar masalah yang jarang dibahas, padahal diam adalah alasan kenapa banyak kasus bullying berlangsung lama dan berulang

- Kekerasan yang dinormalisasi

Tak bisa dipungkiri, dalam ber-masyarakat kita kerap kali menormalisasi perbuatan kekerasan. Tentu saja, ada beragam alasan seperti pertemanan, anak kecil, ataupun berjalan dengan alasan hanya sebuah candaan.

Narasi yang berulang ini lah yang paling berbahaya. Dampaknya pada korban adalah mereka mulai menganggap bahwa rasa sakit yang dialaminya adalah hal yang sepele bahkan normal terjadi. Normalisasi juga akan membuat perlaku semakin bebas bergerak tanpa perlu berpikir tentang konsekuensi.

- Ketakutan terhadap stigma

Korban yang diam biasanya terjadi karena mereka takut akan stigma. Mereka memilih bungkam karena takut untuk dicap lemah, suka mengadu, ataupun lainya.

Di negara kita tak bisa dipungkiri bahwa diam lebih dianggap emas daripada memperjuangkan kebenaran. Ini lah masalah yang membuat korban untuk tidak mampu untuk menemui akses bantuan yang ada.

- Kultur Hierarki

Dalam banyak ruang sosial bermasyarakat, baik lingkungan sekolah, organisasi maupun keluarga hierarki memang punya peran besar. Hierarki juga memegang peran besar siapa yang lebih berhak untuk bersuara.

Siapa yang punya kuasa sering kali mendapat perlindungan yang lebih daripada yang dianggap lemah. Tak bisa dipungkiri, bahwa kultur hierarki menciptakan ketimpangan yang membuat korban memilih untuk diam.

Aturan Ada, tapi Diam Membuat Hukum Tidak Bekerja

Penulis melihat bahwa dari kacamata hukum sebenarnya aturan sudah jelas. Indoesia jelas memiliki UU Perlindungan Anak yang melarang segala bentuk kekerasan, baik yang terjadi dari psikis maupun digital.

Selain UU Perlindungan Anak, secara general KUHP dan UU TPKS juga mengatur tentang bullying walaupun tidak dijabarkan secara tegas. Indonesia sebagai negara hukum jelas sudah melihat bahwa bullying bukan sekedar masalah sepele namun sebuah tindakan yang memiliki konsekuensi yang berat.

Korelasi atas budaya diam dan hukum yang kemudian menjadi sebuah permasalahan. Hal ini karena budaya diam membuat hukum tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Korban yang bungkam, tentu tidak akan ditindak dengan hukum sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, aturan yang ada ini harus diimbangi dengan korban yang berani untuk bicara ataupun membuat aduan hukum yang jelas.

Selain dari segi bungkamnya korban yang membuat hukum tidak berjalan, sistem pelapran juga tidak ramah korban.

Tak bisa dipungkiri bahwa mekanisme yang di Indonesia adalah sistem yang sulit, tidak aman, dan tidak bisa diadukan secara anonym selain itu penanganan juga banyak yang lebih berpihak kepada pelaku karena pelaku memiliki kuasa, status, dukungan sosial yang lebih besar.

Saatnya Memecah Budaya Diam

Melihat fenomena yang terjadi saatnya untuk memecah budaya diam. Ada banyak hal yang harus diubah. Kita bisa memulainya dengan menggeser narasi sosial dengan tidak menormalisasi sebuah candaan maupun kekerasan yang mengarah dengan bullying.

Masyarakat yang mendukung pergeseran ini akan menciptakan keberanian bagi korban. Setelah itu, ruang pelaporan juga harus dibuat dengan kualitas yang aman dan ramah bagi korban.

Kesadaran hukum, tidak akan berarti tanpa mekanisme pelaporan yang jelas, mudah, dan memberikan perlindungan ketika korban membuka suara.

Budaya diam akan bisa pecah jika adanya keinginan kolektif untuk menghancurkan budaya ini. Literasi dan kampanye-kampanye harus sering diselenggarakan agar semakin banyak orang yang mengetahui bahwa diam ketika ada bullying adalah budaya yang harus segera dihilangkan.

Pada akhirnya, setelah menguraikan semua masalah. Penulis melihat bahwa budaya diam bukan hanya masalah moral tetapi juga masalah besar yang menyebabkan hukum gagal bekerja karena terus dibiarkan. Hingga saat ini jika bullying terus dianggap remeh, maka begitu pula yang akan terjad di penegakkanya.

Bagi penulis, suara perubahan perlu untuk terus kita gaungkan agar korban berani untuk memecah kebungkaman. Suara itu bisa dimulai dengan untuk tidak menormalisasi candaan atau kekerasan yang mengarah pada kasus bullying.

Jika kita ingin ruang yang aman, maka kita perlu menciptakannya dengan memulai untuk berhenti diam terhadap bullying!