Sekar Anindyah Lamase | Mira Fitdyati
Ilustrasi seorang ayah memarahi anak laki-lakinya (Pexels/Kindel Media)
Mira Fitdyati

Banyak orang pernah merasa mudah tersinggung atau kesal ketika berhadapan dengan orang tua. Namun, bisa bersikap ramah dan sabar ketika bersama teman. Perbedaan respons ini sering membuat kita bingung dengan diri sendiri.

Psikolog Yuli Suliswidiawati menjelaskan bahwa kondisi tersebut biasanya berakar pada rasa nyaman dan aman yang tidak sepenuhnya terbentuk di rumah.

Tanpa disadari, pola pengasuhan yang kurang tepat dapat memengaruhi cara anak mengekspresikan emosi mereka terhadap orang tua.

Kurangnya Rasa Aman dari Pola Pengasuhan

Menurut Yuli, hal ini bisa muncul ketika seseorang tidak merasa cukup aman atau nyaman di rumah. Secara sadar atau tidak, ada proses pengasuhan yang tidak sepenuhnya tepat dan membentuk pengalaman emosional anak.

Dalam unggahan video di kanal YouTube Yuli Suliswidiawati pada Senin (24/11/2025), Yuli menjelaskan beberapa hal penting yang sering luput dari perhatian orang tua.

Ia mengungkapkan bahwa hal pertama yang harus diberikan orang tua adalah rasa nyaman. Rasa nyaman itu dimulai sejak anak lahir dan disambut dengan suka cita.

“Setiap anak yang dititipkan kepada kita adalah amanah yang harus dikembangkan sesuai dengan fitrahnya,” kata Yuli.

Meski begitu, masih banyak orang tua yang tidak selalu menerima kondisi anak apa adanya. Mereka kerap membandingkannya dengan anak lain, membuat anak merasa kurang dihargai.

Ketika kondisi ini berlangsung terus-menerus, anak merasa kehadirannya tidak sepenuhnya diinginkan. Ia kemudian lebih mudah merasa aman dan diterima saat berada di luar rumah.

Anak Mencari Ruang Aman di Luar Rumah

Situasi ini sering terlihat ketika anak sudah kuliah kemudian mengikuti organisasi kampus. Ia merasa memiliki keluarga baru yang menerima dan mendengarkannya. Dari sinilah ia lebih nyaman berada di luar, hingga kadang pulang larut malam.

Ketika orang tua memarahinya karena pulang terlambat, terutama jika ia perempuan. Anak berusaha menjelaskan aktivitasnya. Namun, kurangnya kepercayaan membuat orang tua tetap memarahinya, sehingga hubungan semakin renggang.

Pada titik ini, anak merasa tidak dimengerti. Bahkan ketika ia sudah berusaha jujur, respons orang tua membuatnya takut berkata apa adanya. Lambat laun, anak memilih berbohong meski sebenarnya tidak menginginkannya.

Kurangnya rasa aman dan saling percaya menjadi akar dari ketidaknyamanan ini. Ketika komunikasi terputus, hubungan sebagai keluarga pun ikut renggang.

Anak Juga Bisa Memulai Perubahan

Meski demikian, sebagai anak kita juga dapat mengambil langkah kecil untuk memperbaiki hubungan di rumah.

“Kita sebagai anak punya pengalaman cukup banyak di luar dengan teman-teman,” ujar Yuli.

Saat berkunjung ke rumah teman, kita bisa melihat bagaimana keluarga lain berinteraksi. Dari sana, kita dapat mempelajari hal-hal baik yang dapat diterapkan.

Ketika sudah memahami hal yang seharusnya terjadi dalam keluarga, kita bisa mencoba memulai pendekatan secara asertif.

“Ibu kenapa? Ibu capek, ya? Maafin aku ya, Bu,” tutur Yuli.

Langkah kecil seperti ini dapat membantu mencairkan suasana dan membuat komunikasi lebih hangat. Tidak semua hal dari keluarga lain harus ditiru, tetapi kita bisa mengadopsi bagian yang baik secara perlahan.

Perbedaan sikap antara di rumah dan di luar bukan berarti anak tidak sayang pada orang tua. Ada pengalaman emosional yang membentuk cara anak merespons lingkungan sekitarnya.

Rasa nyaman, rasa aman, dan kepercayaan adalah hal penting yang harus dibangun bersama. Dengan komunikasi yang lebih terbuka, hubungan orang tua dan anak dapat tumbuh menjadi lebih hangat dan harmonis.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS