Tak bisa dipungkiri, bencana alam yang hadir di Indonesia akhirnya membuka dua wajah negara sekaligus. Di satu sisi, kita bisa melihat langsung bagaimana respons pemerintah ataupun negara ketika bencana terjadi.
Koordinasi antar lembaga yang sering tidak sinkron, akses yang sulit untuk dijangkau alat berat, logistic yang tersendat membuat kita menilai bahwa bencana tidak bisa hanya ditangani hanya oleh pemerintah semata. Rakyat juga punya tanggung jawab untuk membantu rakyat-rakyat lain yang sedang mengalami kesulitan.
Satu sisi lainnya adalah bagaimana rakyat Indonesia melihat solidaritas publik yang bergerak cepat. Dalam hitungan 24 jam, donasi terkumpul mencapai angka hingga milliaran. Angka ini tentu bukan hanya sekadar nominal, melainkan bentuk dari kepercayaan publik saat negara belum optimal untuk membantu rakyatnya.
Namun, di tengah arus solidaritas dari rayat tersebut, negara tiba-tiba muncul dengan satu pesan penting bahwa donasi sebaiknya harus izin.
Menteri Sosial menegaskan bahwa penggalangan dana publik sebaiknya harus melalui mekanisme administrasi agar tercatat dan akuntabel.
Tidak ada yang salah dari pernyataan ini, karena hanya normatif belaka. Hal ini tentu masuk akal dalam kerangka tata kelola. Masalahnya, pesan itu hadir di saat yang keliru ketika masyarakat sedang mengisi kekosongan peran negara.
Solidaritas Publik Versi Logika Birokrasi
Seperti yang telah dibahas bahwa tak ada yang keliru dengan akuntabilitas. Publik tentu berhak tahu ke mana uang ataupun donasi disalurkan. Namun, menurut penulis pribadi konteks bencana jika dinilai dengan syarat administratif yang ribet akan bertabrakan dengan kebutuhan mendesak di lapangan.
Bencana bukan situasi yang normal. Ia membutuhkan respons yang lebih cepat, fleksibel, dan adaptif. Tentu respons ini jarang dimiliki oleh sistem administrasi negara yang biasanya tidak kelar hanya satu sampai dua hari.
Regulasi penggalangan dana di Indonesia sendiri masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
UU tersebut secara eksplisit mewajibkan untuk izin sebelum penggalangan dilakukan. Namun, tentu ada beberapa jenis pengumpulan dana yang tidak memerlukan izin.
Hal tersebut diatur pada Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi, “Pengumpulan uang atau barang yang diwajibkan oleh hukum agama, hukum adat, dan adat-istiadat, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas, tidak memerlukan izin tersebut di atas.”
Dalam kondisi saat ini, donasi kini bisa terkumpul dalam hitungan menit lewat platform daring, negara masih meminta proses izin yang secara praktis membutuhkan waktu. Di titik inilah muncul paradoks bahwa negara lambat saat bencana datang, tetapi cepat saat dana publik mulai mengalir.
Alih-alih hadir sebagai fasilitator, negara justru tampak sebagai pengawas. Solidaritas warga diposisikan sebagai potensi masalah administratif, bukan sebagai kekuatan sosial yang perlu didukung.
Negara Perlu Belajar Mendengar
Polemik izin donasi ini seharusnya menjadi cermin bagi negara. Bukan untuk mempersoalkan siapa yang berhak menggalang dana, melainkan untuk mengevaluasi mengapa masyarakat merasa perlu bergerak sendiri.
Solidaritas warga bukan simbol dari bentuk pembangkangan melainkan respons alami dari solidaritas. Dalam hal ini, yang harus diperbaiki adalah cara dari pemerintah memandang publik. Solidaritas publik jangan dinilai sebagai sesuatu yang berpotensi untuk melakukan penyelewengan. Negara perlu untuk mendengar.
Negara perlu hadir bukan hanya untuk mengatur melainkan mempermudah jarak pemerintah dan publik. Dalam situasi seperti ini, harusnya negara justru mempermudah administrasi bagi influencer maupun rakyat untuk melakukan penggalangan dana.
Karena saat ini, yang dibutuhkan rakyat bukanlah formulir online, tapi kehadiran nyata dan kepercayaan negara. Jika pemerintah memang khawatir terhadap penyelewengan yang dilakukan karena sebuah penggalangan dana, maka audit dapat dilakukan setelah donasi di salurkan.
Proses pemeriksaan kritis dan sistematis (audit) ini dapat dilakukan kemudian oleh pihak independen untuk mengumpulkan bukti dan mengevaluasi informasi (seperti laporan keuangan, sistem, atau proses) agar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh aturan negara.
Baca Juga
-
Curi Perhatian di The Price of Confession, Ini 3 Drama Lain Park Hae Soo
-
Peer Preasure dan Norma Feminitas: Ketika Bullying Halus Menyasar Perempuan
-
Curi Perhatian di The Price of Confession, Ini 3 Drama Lain Jeon Do Yeon
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
-
Ulasan The Price of Confession: Duet Gelap Kim Go Eun dan Jeon Do Yeon
Artikel Terkait
-
Respons Imbauan Mensos Donasi Bencana Harus Izin, Legislator Nasdem: Jangan Hambat Solidaritas Warga
-
DPRD DKI Galang Rp 359 Juta untuk Korban Bencana Sumatra
-
7 Negara Paling Tidak Bahagia di Dunia Tahun 2025, Ada Indonesia?
-
Akses Bireuen-Aceh Tengah Kembali Tersambung, Jembatan Bailey Teupin Mane Resmi Rampung
-
Pemulihan Bencana Sumatra Butuh Rp51 Triliun, AHY: Fokus Utama Pulihkan Jalan dan Jembatan
Kolom
-
Ahli Gizi: Pahlawan Super yang Cuma Ditelfon Kalau Badan Sudah Ngeluh Keras
-
Indomie Double Plus Nasi Adalah Cara Saya Menyiasati Kemiskinan
-
Kecemasan Kolektif Perempuan dan Beban Keamanan yang Tak Diakui
-
Dari Pesisir Malang Selatan, Cerita tentang Penyu dan Kesadaran
-
Peer Preasure dan Norma Feminitas: Ketika Bullying Halus Menyasar Perempuan
Terkini
-
Stereotip Mekanik Kotor: Masih Relevankah di Era Modern?
-
Bukan Sekadar Musibah, Ini Alasan Ustadz Felix Sebut Perusak Hutan Pelaku 'Dosa Besar'
-
Teknologi Augmented Reality dalam Meningkatkan Pengalaman Belajar
-
Rilis Trailer, Street Fighter Pamer Aksi Chun-Li Versi Live Action
-
Komunitas Board Game Yogyakarta, Kembalikan Keseruan Bermain Tanpa Gadget