Kota Malang kerap diasosiasikan dengan udara sejuk, pegunungan, dan suasana tenang khas dataran tinggi. Terletak pada ketinggian rata-rata sekitar 440–506 meter di atas permukaan laut, Malang memang berada di kawasan yang relatif tinggi.
Namun, di balik citra tersebut, tersimpan paradoks geografis yang jarang disadari: Malang adalah kota dataran tinggi yang berada di dalam cekungan (basin). Topografi ini membentuk lanskap seperti mangkuk yang dikelilingi pegunungan, dan justru menjadi salah satu faktor utama kerentanan banjir di kota ini.
Secara alami, air hujan yang jatuh di kawasan mulai dari wilayah Batu, Karangploso, dan Dau akan mengalir menuju cekungan Malang. Masalahnya, kondisi ini tidak diimbangi dengan sistem tata kota dan drainase yang memadai. Banjir di Malang bukanlah fenomena akibat hutan gundul di pegunungan atau kiriman air besar dari luar wilayah, melainkan lebih dominan disebabkan oleh sistem drainase kota yang buruk dan tidak terintegrasi.
Contohnya bisa dilihat di kawasan Soehat (Sukarno-Hatta). Banjir sering terjadi tepat di badan jalan dan jembatan, padahal sungai utama berada jauh di bawah—bahkan dengan kedalaman lebih dari 10 meter. Ini menunjukkan bahwa air tidak gagal mengalir di sungai, tetapi gagal masuk ke sistem drainase kota. Air hujan terjebak di permukaan, bukan karena sungai meluap, melainkan karena saluran air yang tidak mampu bekerja optimal.
Ironisnya, potensi bahaya ini sebenarnya sudah dikenali sejak zaman kolonial. Pemerintah Belanda merancang Malang dengan sistem saluran air berdiameter besar dan terintegrasi, menyesuaikan dengan kondisi cekungan dan curah hujan wilayah pegunungan. Di kawasan tertentu—terutama area pusat kota lama—tata ruang Belanda masih terasa rapi dan fungsional. Namun di luar kawasan tersebut, pertumbuhan kota berlangsung sporadis, tanpa perencanaan drainase jangka panjang.
Banyak gorong-gorong besar dan saluran irigasi peninggalan kolonial kini tidak terawat, tertutup, atau bahkan hilang fungsinya, sementara volumenya tidak pernah dikembangkan mengikuti peningkatan debit air akibat perubahan tata guna lahan. Ratusan tahun berlalu, tetapi sistemnya nyaris stagnan. Di sisi lain, pembangunan gorong-gorong baru kerap dilakukan menjelang akhir tahun—ironisnya justru saat curah hujan sedang tinggi—tanpa pendekatan sistemik.
Masalah ini semakin kompleks karena wilayah Batu yang seharusnya menjadi buffer zone air kini mengalami alih fungsi lahan besar-besaran. Area yang dulunya berfungsi sebagai kawasan resapan berubah menjadi kebun intensif, sawah, dan perumahan. Akibatnya, debit air yang turun ke Malang meningkat drastis. Ketika air dari hulu bertemu sistem drainase kota yang rapuh, banjir pun menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.
Penyelesaian persoalan banjir Malang jelas tidak bisa parsial. Ini adalah masalah lintas wilayah yang melibatkan Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Diperlukan intervensi serius di tingkat provinsi: penghijauan kembali Batu sebagai daerah tangkapan air, pembenahan drainase Malang Kota dan Kabupaten, serta penataan ulang tata ruang berbasis kondisi geomorfologi cekungan.
Menariknya, kondisi Malang sering disamakan dengan Kota Magelang, yang sama-sama berada di dataran tinggi dan dikelilingi gunung besar seperti Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh.
Magelang juga berada di cekungan dengan ketinggian rata-rata 380–500 mdpl. Namun perbedaannya mencolok: Magelang jarang mengalami banjir besar, karena sistem aliran airnya mendukung topografi dan dirancang dengan kesadaran geomorfologis yang kuat.
Pada akhirnya, banjir Malang bukan semata takdir alam. Ia adalah hasil dari ketidaksinkronan antara lanskap alam dan kebijakan tata kota. Kota ini dibangun di atas cekungan yang mungkin dahulu berupa lingkungan danau atau rawa.
Mengabaikan fakta tersebut sama saja dengan menantang hukum alam. Dan seperti yang terus berulang, alam selalu punya cara untuk mengingatkan.
Baca Juga
-
Hada Cable Car Taif: Menyusuri Pegunungan Al-Hada dari Ketinggian
-
Mengunjungi Thaif: Napak Tilas Spiritualitas Rasulullah di Kota di Atas Awan
-
Hak yang Dinamai Bantuan: Cara Halus Menghapus Tanggung Jawab Negara
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Satir Pendidikan dan Perjuangan Anak Muda
Artikel Terkait
-
Bencana Sumatra: Alarm Keras untuk Kebijakan Lingkungan yang Gagal
-
Bahlil Ungkap Update Terkini Pemulihan Jaringan Listrik Aceh: 4 Kabupaten Pemadaman Bergilir
-
IWIP Gelontorkan Pendanaan Rp900 Juta untuk Korban Bencana di Sumatera
-
Gak Perlu Mahal, Megawati Usul Pemda Gunakan Kentongan untuk Alarm Bencana
-
5 Ton Pakaian Bakal Disalurkan untuk Korban Banjir dan Longsor Aceh-Sumatra
Kolom
-
Hidupmu Bukan Konten: Melawan Standar Sukses Versi Media Sosial
-
Bagaimana Budaya Membentuk Cara Kita Berpikir dan Merasa
-
Bencana Sumatra: Alarm Keras untuk Kebijakan Lingkungan yang Gagal
-
Restitusi untuk Korban Tindak Pidana Masih Sulit Direalisasikan
-
Simfoni di Teras Rumah: Seni, Kesabaran, dan Kedamaian dalam Merawat Burung Kicau
Terkini
-
Atasi Kemerahan dan Kulit Kering dengan 4 Serum Harga Pelajar, Ini Rekomendasinya!
-
CERPEN: Mata Bulat Dia
-
Dari Lumpur Pantai Baros: Mengubah Aksi Tanam Mangrove Jadi Seni dan Refleksi Diri
-
Menunda Pensiun Bukan Pilihan: 6 Alasan Pentingnya Memulai Sejak Dini
-
Pesan untuk Para Ibu di Hari Ibu: Jangan Lupa Mengapresiasi Diri Sendiri