Bimo Aria Fundrika | Fikri Haekal Akbar
Pesisir pantai Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. (Foto: Penulis)
Fikri Haekal Akbar

Cahaya matahari pagi baru saja memecah ufuk timur di pesisir Pantai Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Langit merona jingga, memantulkan kilau keemasan di atas permukaan air yang tenang.

Di kejauhan, satu per satu perahu nelayan mulai merapat ke dermaga kayu yang sudah tua namun kokoh. Di antara deretan perahu itu, terlihat sosok Pak Nordin, seorang nelayan paruh baya dengan kulit legam terbakar matahari, sedang menggulung jaringnya dengan telaten.

Bagi sebagian orang, pemandangan ini hanyalah rutinitas pagi pesisir yang biasa. Namun, jika kita mau menelisik lebih dalam, Pagatan bukan sekadar garis pertemuan antara pasir dan buih ombak.

Di sini, di tepian Selat Makassar ini, terhampar sebuah rona kehidupan yang mengajarkan kita tentang keseimbangan, tentang bagaimana manusia menjaga alam, bagaimana perempuan menopang ekonomi, dan bagaimana perbedaan budaya melebur menjadi kekuatan.

Pak Nordin bukanlah nelayan yang terobsesi pada kuantitas tangkapan semata. Di saat teknologi penangkapan ikan modern menawarkan cara instan, seperti pukat yang bisa mengeruk hingga ke dasar laut, Pak Nordin tetap setia pada cara tradisional.

Ia hanya menggunakan jaring dengan ukuran mata tertentu yang membiarkan ikan-ikan kecil lolos untuk tumbuh besar dan berkembang biak.

"Laut ini bukan tambang yang bisa kita keruk sampai habis, tapi ladang yang harus kita rawat," prinsip itu dipegang teguh oleh Pak Nordin.

Ia sadar betul, merusak terumbu karang atau menangkap ikan secara berlebihan (overfishing) sama saja dengan mewariskan laut yang mati untuk anak cucunya kelak.

Kesadaran ekologis ini bukanlah teori akademis yang ia dapat dari bangku kuliah, melainkan warisan leluhur Bugis Pagatan yang mengakar kuat dalam darahnya.

Filosofi ini menemukan puncaknya dalam tradisi Mappanretasi atau pesta laut yang digelar setahun sekali di Pagatan. Seringkali, orang luar salah kaprah menilai tradisi ini hanya sebagai pesta pora atau ritual semata. Padahal, esensi Mappanretasi jauh lebih dalam dari itu. Bagi Pak Nordin dan masyarakat pesisir, ritual "memberi makan" laut adalah manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Itu adalah simbol kerendahan hati manusia, sebuah pengakuan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari semesta. Intinya bukan pada sesajen yang dilarung, melainkan pada etika: bahwa kita tidak boleh hanya pandai mengambil (eksploitasi), tetapi juga harus pandai memberi (konservasi) dan berterima kasih. Laut dirawat dengan doa dan perilaku yang santun, agar ia tetap memberikan berkah, bukan bencana.

Namun, kehidupan pesisir memiliki ritmenya sendiri yang tak selalu ramah. Ada kalanya musim angin barat datang, ombak meninggi, dan Pak Nordin harus menambat perahunya di pantai selama berhari-hari. Di masa-masa sulit seperti inilah, lensa kehidupan bergeser dari laut ke darat, tepatnya ke beranda-beranda bola (rumah-rumah berbentuk panggung yang dihuni masyarakat Bugis Pagatan).

Di sana, istri Pak Nordin, Ibu Masniah, mengambil alih kemudi ekonomi keluarga. Bukan dengan melaut, melainkan dengan menenun. Suara debur ombak yang keras di luar sana seolah diredam oleh suara ritmis tok-tak-tok-tak dari alat tenun gedogan tradisional yang ia mainkan. Ibu Masniah tidak sendirian, ia bersama ibu-ibu pesisir lainnya membentuk barisan perempuan sebagai pertahanan ekonomi yang tangguh bagi keluarga.

Menenun Sarung Tenun Pagatan membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Sehelai demi sehelai benang sutra disusun, diikat, dan ditenun hingga membentuk motif yang rumit dan indah, seperti motif kapal terumbu karang, pohon kelapa, kepiting dan ikan-ikan.

Bagi Ibu Masniah, setiap helai benang adalah harapan. Ia membuktikan bahwa masyarakat pesisir bukanlah kelompok yang pasrah pada keadaan. Mereka tidak meratapi nasib saat laut tak bersahabat, tetapi bangkit dengan kreativitas dan kerja keras. Tenun Pagatan bukan sekadar kain tradisional, melainkan simbol kemandirian perempuan pesisir yang menolak menjadi korban kerentanan ekonomi. Dari tangan merekalah, asap dapur tetap mengepul dan biaya sekolah anak-anak tetap terpenuhi.

Di antara keteguhan Pak Nordin menjaga alam dan ketelatenan Ibu Masniah menjaga tradisi, hadirlah Amir, putra tunggal mereka. Amir adalah representasi wajah pemuda pesisir Pagatan. Ia adalah anak muda yang tumbuh dengan deru ombak, namun pikirannya melalang buana melampaui cakrawala berkat teknologi.

Amir memegang peran vital dalam ekosistem keluarga ini: ia adalah sang distributor. Pagi hari, Amir dengan sigap membawa keranjang ikan segar hasil tangkapan ayahnya ke pasar ikan Pagatan. Ia tidak membiarkan ayahnya dipermainkan oleh tengkulak nakal. Dengan kemampuan negosiasinya, Amir memastikan ikan ayahnya mendapatkan harga yang layak.

Tak berhenti di situ, Amir juga menjadi manajer pemasaran bagi ibunya. Jika dulu tenun Ibu Masniah hanya menunggu pembeli yang lewat, kini Amir memotret kain-kain indah itu dan mengunggahnya ke media sosial. Ia menghubungkan karya ibunya dengan pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke luar Kalimantan.

"Ayah menjaga laut agar ikannya ada, Ibu menenun agar tradisi hidup, dan saya bertugas memastikan dunia tahu nilai dari kerja keras mereka," ujar Amir.

Kolaborasi ketiga anggota keluarga ini: Ayah, Ibu, dan Anak menciptakan sebuah siklus ekonomi mikro yang sehat. Mereka tidak bergantung pada bantuan pemerintah, melainkan berdaya di atas kaki sendiri. Amir membuktikan bahwa pemuda pesisir bisa menjadi penggerak ketahanan ekonomi keluarga tanpa harus meninggalkan kampung halamannya.

Kehidupan keluarga Pak Nordin hanyalah satu potret kecil dari banyaknya harmoni besar yang terjadi di pesisir Pagatan. Wilayah pesisir ini adalah sebuah melting pot atau kuali peleburan budaya yang unik. Posisi geografisnya yang terbuka membuat Pagatan menjadi titik temu berbagai etnis.

Di pasar tempat Amir berjualan ikan, kita bisa melihat interaksi yang luar biasa cair. Bahasa Bugis yang tegas bersahutan dengan bahasa Banjar yang mengalun, sesekali terselip logat Jawa yang santun. Meskipun mayoritas penduduk pesisir didominasi oleh suku Bugis, mereka hidup berdampingan dengan damai bersama suku Banjar, Jawa, Madura, dan keturunan Tionghoa.

Laut yang luas tampaknya telah membentuk karakter masyarakatnya menjadi manusia yang berhati luas dan terbuka. Perbedaan suku dan latar belakang tidak menjadi sekat.

Dalam acara-acara adat, kenduri, atau gotong royong membersihkan pantai, semua elemen masyarakat membaur.

Tidak ada pertanyaan "kamu suku apa?" saat jaring nelayan perlu ditarik bersama, atau saat ada tetangga yang membutuhkan pertolongan.

Inilah bentuk toleransi otentik yang lahir dari kearifan lokal, bukan toleransi yang dipaksakan oleh aturan. Masyarakat Pagatan mengajarkan kita bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan warna yang justru memperindah tenun kehidupan sosial mereka, seindah motif warna-warni pada sarung tenun Pagatan.

Pada akhirnya, kita perlu belajar dari kehidupan pesisir Pagatan agar menjadi manusia yang utuh. Dari Pak Nordin, kita belajar etika lingkungan. Dari Ibu Masniah, kita belajar tentang resiliensi dan daya juang ekonomi lewat Tenun Pagatan. Dari Amir, kita belajar tentang adaptasi dan inovasi. Dan dari masyarakat Pagatan secara keseluruhan, kita belajar tentang indahnya hidup rukun dalam perbedaan.

Ombak di Pantai Pagatan mungkin akan terus berdebur hingga akhir zaman, namun kisah inspiratif dan solusi kehidupan yang ditawarkan oleh masyarakatnya akan selalu relevan. Pesisir Pagatan menyadarkan kita, bahwa di tengah krisis dunia modern yang serba cepat dan individualis, kearifan pesisir adalah jangkar yang bisa menahan kita agar tidak hanyut kehilangan arah. Mari merawat laut, menenun asa, dan menyatukan perbedaan, selayaknya masyarakat Pagatan.