M. Reza Sulaiman | Budi Prathama
Ilustrasi pemimpin (unsplash.com/Kelly Sikkema)
Budi Prathama

Sejak 1998, Indonesia berjanji akan berubah. Katanya, semua jabatan akan diisi oleh orang yang kompeten. Bukan lagi soal “siapa anak siapa”, “siapa kenal siapa”, apalagi “siapa sponsor siapa”. Kita dijanjikan meritokrasi, sebuah impian indah yang ternyata sama seperti promosi skincare: klaimnya glowing, hasilnya ya begitu-begitu saja.

Dua puluh tahun berlalu, meritokrasi kita bukan hanya rapuh. Ia seperti tanaman hias yang lupa disiram sejak Reformasi. Sementara itu, dua “penguasa yang tak pernah kalah” terus berjaya: Feodalisme Modern yang makin stylish dan Mediokrasi yang kian percaya diri. Kolaborasi keduanya sukses membuat jabatan publik menjadi mirip kursi di kafe hits: yang mendapatkannya biasanya yang paling kenal dengan pemiliknya.

Mengapa Meritokrasi Sulit Menang?

Vilfredo Pareto sudah memberikan bocoran bertahun-tahun lalu: elite selalu ingin mempertahankan posisinya. Mereka bukan anti-kompeten, hanya alergi pada orang yang bisa mengancam status quo. Jadilah orang pintar sering dipinggirkan, sementara orang yang patuh didorong ke depan.

Pierre Bourdieu dan Robert Putnam juga sudah mengatakan: modal sosial itu semacam cheat code. Jika Anda punya koneksi, Anda seperti sudah berada di level 20 saat orang lain masih di level 1. Michael Sandel kemudian datang membawa tamparan elegan: meritokrasi hanya adil jika semua orang mulai dari garis start yang sama. Jika si A mulai dari garis start dan si B dari dekat garis finish, bagaimana bisa dibilang sama-sama merit? Ya, di Indonesia bisa. Dengan catatan: si B itu anak pejabat.

Feodalisme Modern: Tidak Lagi Pakai Mahkota, tetapi Pakai Baliho 4x6 Meter

Feodalisme kita sekarang lebih canggih. Dulu, seseorang harus lahir di keluarga bangsawan. Sekarang, cukup lahir sebagai anak pejabat, menantu pejabat, atau cucu pejabat. Atau, kalau mau lebih modern: menjadi calon pejabat yang didukung oleh pejabat yang anaknya juga menjadi pejabat. Demokrasi rasa reuni keluarga besar.

Di birokrasi, kita punya ritual cantik bernama fit and proper test. Tampaknya serius, penuh tabel dan kertas, tetapi semua orang tahu hasilnya kadang sudah diputuskan jauh sebelum berkas dibuka. Orang dalam? Lolos. Orang berprestasi? Tunggu panggilan yang tidak akan pernah datang.

Mediokrasi: Pemimpin yang Penting Tidak Mengganggu Patronnya

Karena orang dipilih berdasarkan koneksi, bukan kemampuan, jadilah kita punya banyak pemimpin yang "aman". Aman bagi patron, kurang aman bagi rakyat. Pemimpin medioker biasanya takut mengambil keputusan yang bisa membuat mereka terlihat terlalu pintar atau terlalu independen. Strategi mereka sederhana: “Yang penting tidak salah, meskipun tidak benar-benar membantu.”

Shashi Tharoor sudah mengatakan: “Jika Anda memuja mediokritas, Anda akan mendapatkan mediokritas.” Diterjemahkan ke konteks Indonesia: kalau jabatan diberikan berdasarkan ‘siapa orang dalamnya’, ya jangan kaget kalau kualitas pemimpinnya seperti nasi padang jam 10 malam. Masih bisa dimakan, tetapi tidak ada harapan banyak.

Tidak heran jika talenta terbaik memilih untuk pergi. Brain drain bukan lagi isu akademik; itu adalah naluri bertahan hidup. Orang pintar memilih tempat yang menghargai prestasi, bukan keharmonisan hubungan kekeluargaan elite.

Keluar dari Drama Ini Butuh Lebih dari Sekadar Spanduk “Anti KKN”

Jangka Pendek: Bersih-bersih "Riasan" Sistem

  • Audit seleksi jabatan secara terbuka.
  • KASN dan Ombudsman diberi kekuatan nyata, bukan hanya sebagai kameo.
  • Pakta antinepotisme agar pelanggaran minimal terasa memalukan.

Jangka Menengah: Rapikan Strukturnya

  • Aturan antidinasti politik agar jabatan tidak menjadi warisan keluarga.
  • Partai wajib memiliki sekolah kader, bukan hanya grup WA.
  • Talent pool nasional agar promosi berdasarkan prestasi, bukan relasi.

Jangka Panjang: Ubah DNA Budayanya

  • Pemerataan pendidikan dari kota sampai pelosok.
  • Pendidikan kewarganegaraan yang membuat nepotisme terasa hina, bukan normal.

Media dan masyarakat sipil diberi ruang besar untuk mengawasi tanpa takut "dicolek" penguasa.

Feodalisme modern dan mediokrasi bukan hanya soal etika; ini adalah ancaman terhadap masa depan Indonesia. Jika negara ini benar-benar mau maju, jabatan publik harus diberikan kepada yang kompeten, bukan yang memiliki jaringan keluarga sepanjang jalan kenangan.

Pada akhirnya, pilihan kita hanya dua: dipimpin oleh yang terbaik atau terus berjalan dengan pemimpin hasil “iklan premium, isi refill”.