Hidup nelayan selalu bergerak dalam irama pasang dan surut. Bukan hanya laut yang naik dan turun, tetapi juga nasib, harapan, dan kecemasan yang menyertainya.
Setiap hari, mereka berangkat dengan perhitungan yang tak tertulis membaca arah angin, mengenali perubahan warna air, dan menakar risiko yang tak pernah sepenuhnya bisa diprediksi.
Di balik romantisme laut yang kerap dipromosikan dalam poster wisata, tersimpan kenyataan keras tentang ketidakpastian hidup di pesisir.
Pasang Surut sebagai Struktur Hidup Nelayan
Pasang surut bagi nelayan bukan sekadar fenomena alam, melainkan struktur kehidupan. Pada musim ikan melimpah, dapur tetap berasap, hutang bisa dicicil, dan senyum anak-anak terasa lebih ringan.
Namun, ketika laut tak bersahabat, ombak tinggi, cuaca ekstrem, atau ikan menghilang inilah yang menjadikan hidup seolah ikut surut.
Pendapatan terhenti, biaya tetap berjalan, dan pilihan menyempit. Dalam kondisi seperti ini, nelayan tidak memiliki banyak ruang untuk gagal.
Ironisnya, ketidakpastian ini sering dianggap sebagai risiko alamiah yang harus diterima nelayan begitu saja.
Seolah-olah, hidup dalam ketidakstabilan adalah takdir yang tidak bisa diintervensi. Padahal, banyak kerentanan nelayan justru diperparah oleh kebijakan dan praktik pembangunan yang tidak berpihak.
Laut yang semakin tercemar, wilayah tangkap yang menyempit, hingga proyek pesisir yang menyingkirkan nelayan dari ruang hidupnya, menjadi faktor tambahan yang memperdalam pasang surut tersebut.
Ketimpangan Struktural di Balik Kehidupan Pesisir
Di banyak pesisir, nelayan kecil harus berbagi laut dengan kepentingan besar industri, pariwisata, dan infrastruktur. Mereka kalah bukan karena tidak bekerja keras, tetapi karena tidak memiliki kuasa.
Akses terhadap teknologi, modal, dan pasar masih timpang. Ketika hasil tangkapan menurun, nelayan dituntut untuk berinovasi, sementara ruang hidup mereka justru terus dipersempit. Di sinilah pasang surut hidup nelayan berubah dari siklus alam menjadi ketimpangan struktural.
Namun, di tengah kerasnya kondisi itu, nelayan tidak hidup tanpa daya. Mereka mengembangkan strategi bertahan yang jarang terlihat. Solidaritas komunitas menjadi jangkar utama.
Berbagi hasil tangkapan, saling membantu memperbaiki perahu, hingga kerja kolektif saat krisis, adalah praktik sehari-hari yang menjaga kehidupan tetap berjalan. Pasang surut tidak dihadapi sendirian, tetapi bersama.
Pengetahuan lokal juga menjadi modal penting. Nelayan membaca laut dengan cara yang tidak diajarkan di ruang kelas.
Mereka mengenali tanda-tanda alam yang halus, memahami musim, dan menyesuaikan ritme hidup dengan laut.
Pengetahuan ini bukan romantisme tradisional, melainkan hasil pembelajaran panjang dari kegagalan dan pengalaman.
Sayangnya, pengetahuan semacam ini sering diabaikan dalam perumusan kebijakan, seolah tidak cukup sahih untuk dijadikan dasar keputusan.
Pasang surut hidup nelayan juga berkaitan erat dengan martabat. Ketika hasil laut menurun, bukan hanya ekonomi yang terdampak, tetapi juga rasa percaya diri dan posisi sosial.
Ketergantungan pada bantuan atau hutang sering memunculkan stigma, padahal masalahnya bukan kemalasan, melainkan sistem yang tidak adil. Nelayan bekerja keras dalam kondisi paling berisiko, namun sering berada di posisi paling rentan.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk meromantisasi penderitaan nelayan, melainkan untuk mengajak melihatnya secara lebih jujur.
Pasang surut hidup nelayan adalah cermin dari relasi kita dengan laut dan dengan sesama manusia.
Selama laut diperlakukan hanya sebagai sumber eksploitasi, selama kebijakan dibuat tanpa mendengar suara pesisir, maka pasang surut itu akan terus timpang lebih sering surut bagi nelayan, dan pasang bagi kepentingan lain.
Mendengar kisah nelayan berarti belajar tentang batas manusia, keadilan, dan relasi yang lebih jujur dengan alam.
Pasang surut mungkin tak terhindarkan, tetapi ketimpangan tidak seharusnya dibiarkan menjadi takdir.
Masa depan pesisir seharusnya tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari seberapa adil risiko dan manfaat dibagi.
Nelayan tidak meminta laut selalu ramah, tetapi mereka berhak atas sistem yang melindungi ketika laut tidak bersahabat. Pasang surut adalah bagian dari hidup, tetapi ketimpangan tidak seharusnya menjadi takdir.
Mendengar kisah nelayan berarti belajar tentang ketahanan, kesabaran, dan batas-batas manusia. Di pesisir, hidup mengajarkan bahwa yang paling rapuh sering justru paling bertahan.
Artikel Terkait
Kolom
-
Kritik MBG di Hari Libur: Saat Obsesi Serapan Anggaran Mengalahkan Realitas Sosial
-
Ketika Laut Membentuk Cara Masyarakat Pesisir Mengelola Perasaan
-
Masyarakat Adat Serawai dan Perlawanan Sunyi di Pesisir Seluma
-
Pesisir dan Keberlanjutan yang Tumbuh dari Relasi
-
Belajar dari Pesisir Sidoarjo: Nyadran, Kupang, dan Kesadaran Merawat Laut
Terkini
-
5 Zodiak yang Terlalu Sering Mengalami Patah Hati, Ada Punyamu?
-
Miliki CV Lebih Apik Ketimbang Kluivert, Saatnya Pendukung Garuda Optimis dengan John Herdman?
-
4 Moisturizer Lokal Shea Butter Atasi Kulit Kering dan Perkuat Skin Barrier
-
Clean Look Maksimal! 5 Inspirasi Outfit Nuansa Putih ala Park Seo Joon
-
Tayang Juli 2026, BLEACH Tutup Kisah dengan TYBW Final Part - The Calamity