M. Reza Sulaiman | Nurul Huda
ilustrasi lelah mental (pexels_cottonbro studio)
Nurul Huda

Ada fase dalam hidup ketika saya merasa lelah, bukan karena kurang tidur atau aktivitas fisik yang berlebihan, melainkan lelah secara mental. Kondisi ini terasa membingungkan karena tidak ada penyebab yang benar-benar jelas.

Aktivitas berjalan seperti biasa, tidak sedang menghadapi masalah besar, tetapi pikiran terasa berat dan energi cepat terkuras.

Awalnya, saya mengira perasaan tersebut hanya kelelahan sementara. Namun, seiring berjalannya waktu, rasa lelah itu tetap muncul meskipun saya sudah beristirahat. Fokus menjadi mudah terpecah, hal-hal sederhana terasa lebih melelahkan, dan motivasi untuk melakukan kegiatan yang biasanya menyenangkan perlahan berkurang. Dari luar, semuanya terlihat normal, tetapi di dalam, ada rasa penuh yang sulit dijelaskan.

Beban Tak Terlihat dari Rutinitas Harian

Pengalaman ini membuat saya menyadari bahwa kelelahan mental tidak selalu berasal dari satu peristiwa besar. Terkadang, ia muncul dari akumulasi tekanan kecil yang terus menumpuk.

Rutinitas yang berulang, tuntutan untuk selalu produktif, hingga kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain dapat memberi beban pada pikiran tanpa kita sadari. Karena berlangsung perlahan, kondisi ini sering luput dari perhatian.

Yang cukup mengganggu adalah munculnya rasa bersalah. Saya sempat merasa tidak pantas untuk lelah karena merasa tidak melakukan hal yang terlalu berat. Pikiran seperti ini justru membuat keadaan semakin tidak nyaman.

Saya belajar bahwa kelelahan mental bukan tentang seberapa sibuk seseorang, melainkan tentang bagaimana pikiran memproses tekanan dan ekspektasi yang ada.

Belajar Mendengarkan Sinyal Tubuh

Dari situ, saya mulai mencoba lebih peka terhadap diri sendiri. Ketika mulai sulit berkonsentrasi atau merasa cepat lelah secara emosional, saya mengambil jeda sejenak. Bukan untuk mencari jawaban instan, tetapi untuk mengakui bahwa ada kondisi yang perlu diperhatikan. Mengakui rasa lelah ternyata membantu mengurangi tekanan yang sebelumnya saya abaikan.

Saya juga belajar bahwa istirahat tidak selalu berarti berhenti total dari aktivitas. Istirahat mental bisa berupa mengurangi paparan informasi yang berlebihan, memberi jarak dari tuntutan sosial, atau membiarkan diri tidak selalu tampil baik-baik saja. Memberi ruang untuk bernapas secara mental menjadi langkah kecil yang cukup berarti.

Pentingnya Melambat di Dunia yang Cepat

Pengalaman merasa lelah secara mental tanpa penyebab yang jelas mengajarkan saya bahwa memahami diri sendiri adalah proses yang penting. Dalam kehidupan yang sering menuntut kecepatan dan pencapaian, kita jarang diberi ruang untuk melambat. Padahal, melambat sesekali dapat membantu kita mengenali kondisi diri dengan lebih jujur.

Pada akhirnya, lelah secara mental bukanlah sesuatu yang harus ditolak atau disangkal. Ia adalah sinyal bahwa pikiran juga membutuhkan perhatian. Dengan menerima bahwa perasaan ini bisa dialami oleh siapa saja, saya belajar untuk lebih berempati pada diri sendiri.

Tidak semua kelelahan memiliki alasan yang besar dan tidak semua rasa lelah harus segera dihilangkan. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah kesediaan untuk berhenti sejenak dan mendengarkan diri sendiri.

Baca Juga