Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Anggia Khofifah P
Ilustrasi dari Toxic Positivity (Freepik.com)

Kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan kata “toxic”, 'kan? Toksisitas sendiri ada banyak macamnya, ada toxic friends, toxic relationship, toxic masculinity, toxic parenting, dan masih banyak lagi yang mengindikasikan suatu hal memiliki dampak merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain yang mengalaminya.

Tapi, apakah kamu tahu bahwa hal sesederhana memberi semangat ternyata juga bisa jadi racun? Fenomena ini disebut juga dengan istilah "Toxic Positivity".

Mengutip dari laman Verywell Mind, "Toxic positivity means having a "good vibes only" approach to life and discarding any seemingly negative emotions. It denies people the authentic support they need to cope with what they are facing".

Secara sederhana, toxic positivity adalah ucapan yang mendukung, tetapi justru menjadi sebuah beban. Hal ini karena, ketika kamu sedang ada masalah atau kesulitan, kamu dituntut untuk memendam emosi negatif yang sedang kamu rasakan dan bersikap seakan semuanya baik-baik saja.

Contoh, ketika kamu curhat tentang masalahmu ke temanmu, respons yang mereka berikan, yaitu:

"Banyak-banyak sabar, ya."
"Jangan sedih-sedih lagi."
"Coba lebih banyak bersyukur, deh."
"Kamu masih mending."
"Ada, lho, orang yang masalahnya lebih berat dari kamu."
"Stay positive aja."
"Kamu kuat, kok. Semangat terus, ya."

Atau, bisa juga sebaliknya. Ketika teman kamu curhat, kamu justru menyuruh mereka untuk mengubur perasaan dan emosi negatif itu dalam-dalam. Pokoknya harus selalu berpikir positif sesulit atau seburuk apapun situasi yang sedang dialami.

Mungkin, mengucapkan kalimat positif dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri atau sebagai rasa simpati terhadap masalah yang sedang dialami orang lain. Tetapi, apa pun yang berlebihan itu tidak baik, begitu pula dengan sikap dan pikiran positif.

Masyarakat secara tidak sadar masih terbelenggu dengan toxic positivity ini. Masih berpikir bahwa perasaan negatif itu buruk, dan perasaan positif itu baik. Padahal, yang namanya perasaan negatif itu tidak selamanya buruk. Selalu menyangkal perasaan negatif sebenarnya juga tidak sehat. Pura-pura untuk happy terus, pura-pura untuk positif terus, hal itu justru bisa membuat kamu semakin tertekan dan bisa meledak di waktu yang tak terduga.

Dengan kita jujur atas apa yang kita rasakan; entah itu marah, sedih, kecewa, atau yang lainnya, kita jadi tahu bagaimana caranya merespons perasaan tersebut dan keadaan saat itu. Kita juga jadi tahu bantuan apa yang kita butuhkan agar kesehatan mental kita tetap terjaga.

Melansir dari Healthline, beberapa tips yang bisa kamu coba agar terhindar dari toxic positivity atau tidak menjadi sumber toxic positivity bagi orang lain, yaitu:

1. Coba untuk validasi perasaan mereka.

Yang sebenarnya mereka butuhkan adalah sebuah validasi. Akui bahwa merasa tidak baik-baik saja adalah hal normal yang dialami setiap manusia. Beri ruang untuk mencurahkan segala emosi. Bisa dengan menangis, bercerita ke orang yang dipercaya, berteriak, atau menulis di buku harian.

2. Jadilah pendengar yang baik.

Kadang, orang yang sedang curhat itu tidak selalu meminta saran atau nasihat, bisa saja mereka hanya ingin didengar. Mereka hanya ingin mengeluarkan semua kekesalan, kesedihan, dan kekecewaannya agar hati dan pikiran mereka lebih plong. Maka, sikap yang paling tepat di situasi tersebut adalah dengarkan dengan tulus.

3. Bangun empati, bukan positivity.

Coba untuk lebih mengerti atas apa yang mereka rasakan, tanpa menghakimi atau mencoba untuk ‘memperbaiki’ perasaan mereka dengan ucapan positif yang berlebihan. Pahami bahwa positivity doesn’t solve all problems.

Penting untuk kamu ingat bahwa segala sesuatu perlu keseimbangan, begitu pula dalam menjaga kesehatan mental. Menjaga kesehatan mental juga melibatkan penerimaan dan pengelolaan emosi, baik itu positif maupun negatif. Having negative emotions doesn’t make you a negative person.

Yuk, hindari toxic positivity dengan lebih berempati terhadap perasaan seseorang!

Anggia Khofifah P