Di masa serba digital seperti saat ini, kehidupan seakan bergerak begitu cepat. Mulai dari kecepatan perkembangan teknologi yang memungkinkan kita untuk mengakses segala informasi dalam hitungan detik, hingga tuntutan kehidupan yang mengharuskan kita selalu terhubung dengan pekerjaan dan media sosial. Dunia yang serba cepat ini tentu membawa banyak keuntungan, tetapi di sisi lain, juga menambah tekanan, stres, dan mengurangi kualitas hidup.
Bagaimana cara kita keluar dari berbagai tekanan dan stress akibat dari cepatnya kehidupan ini bergerak? Salah satu solusinya adalah menerapkan hidup lambat atau slow living untuk menemukan keseimbangan hidup.
Slow living bukan berarti hidup tanpa tujuan atau melambatkan kehidupan dan aktivitas keseharian kita secara drastis. Sebaliknya, slow living merupakan pendekatan terhadap kehidupan yang menekankan pada kualitas daripada kuantitas. Slow living merupakan cara hidup yang lebih sadar, mindfull, dan fokus pada momen saat ini. Konsep ini mengajak kita untuk menyederhanakan rutinitas harian dan memberi ruang bagi diri kita untuk lebih menikmati hidup tanpa harus merasa diburu.
Slow living memungkinkan kita untuk lebih sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar kita. Hal ini memberi kita kesempatan untuk meresapi setiap momen, menemukan kepuasan dalam kegiatan sehari-hari, dan mengurangi dampak negatif dari kecepatan hidup yang berlebihan. Hidup lambat juga dapat meningkatkan kualitas hubungan, baik itu dengan diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.
Berikut merupakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memulai slow living:
1. Kurangi Multitasking
Di era digital yang serba cepat ini, multitasking sering dianggap sebagai keterampilan yang penting. Namun, multitasking ternyata justru dapat mengurangi produktivitas dan meningkatkan stres kita, loh! Fokuslah pada satu tugas dalam satu waktu, nikmati prosesnya, dan lakukan dengan sepenuh hati. Mengurangi multitasking tidak hanya membuat pekerjaan kita lebih efisien, tetapi juga membuat kita lebih dapat menikmati hasil dari setiap usaha yang kita kerahkan untuk menyelesaikan suatu hal ataupun pekerjaan.
2. Tetap Terhubung dengan Alam
Kehidupan modern seringkali menjauhkan kita dari alam. Padahal, berada di luar ruangan dan menikmati keindahan alam dapat menurunkan stres dan menjaga kesehatan mental kita. Sisihkan waktu untuk berjalan-jalan di taman, menikmati udara segar, atau hanya sekadar duduk di tempat yang tenang sambil menikmati secangkir kopi. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat membantu menenangkan pikiran berisik dan penuh tekanan yang selalu terhubung dengan dunia yang ingin bergerak dengan cepat ini.
3. Pilih Kualitas, Bukan Kuantitas
Baik dalam pekerjaan, hubungan, koneksi, ataupun hobi, cobalah untuk memilih kualitas daripada kuantitas. Alih-alih mencoba menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat dan terburu-buru, fokuslah pada hal-hal yang benar-benar bermakna dan meinggalkan kesan yang baik untuk kita. Menghabiskan waktu dengan orang yang kita cintai, mengerjakan proyek yang kita nikmati, atau sekadar menghabiskan waktu untuk diri sendiri, bisa memberi dampak positif yang jauh lebih besar dalam menjaga keseimbangan hidup kita.
4. Digital Detox
Teknologi memungkinkan kita untuk selalu terhubung dengan orang lain tanpa batas, tetapi seringkali, hal ini justru menambah tingkat stres kita. Cobalah untuk membuat jadwal “off” dari perangkat digital dan sosial media untuk memberi waktu bagi diri kita sendiri beristirahat. Batasi waktu di media sosial dan atur waktu khusus untuk beristirahat dari notifikasi dan e-mail pekerjaan. Hal ini akan membantu kita untuk lebih fokus pada momen sekarang dan mengurangi rasa terjebak dalam arus informasi yang tak henti-hentinya.
Di tengah dunia yang bergerak makin cepat ini, slow living bisa menjadi solusi yang efektif untuk menemukan keseimbangan dan kebahagiaan dalam hidup kita. Dengan fokus pada kualitas hidup, mengurangi stres, dan menikmati momen-momen kecil, kita bisa mencapai kehidupan yang lebih bermakna.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
-
Rangga dan Cinta Bukan Sekuel, Tapi Reinkarnasi Romansa Ikonik AADC
-
Pegawai Melimpah, Kinerja Seret: Potret Ironi Birokrasi Kita
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
Artikel Terkait
-
Dear Warga Jakarta: Awal 2025 Pemprov Bakal Terapkan Retribusi Sampah, Segini Biayanya!
-
Dokter Bukan Robot: IDI Tegaskan Pentingnya Sentuhan Manusia di Era Teknologi
-
Kunci Meraih Sukses Lewat Buku Dream and Pray
-
Makin Canggih, BYD Siap Luncurkan Sistem Smart Driving
-
Kacamata Neon Wamen Stella Christie Curi Perhatian, Ternyata Harganya Cuma Segini
Lifestyle
-
Effortlessly Feminine! 4 Padu Padan OOTD ala Mina TWICE yang Bisa Kamu Tiru
-
4 Daily Look Cozy Chic ala Jang Ki Yong, Bikin OOTD Jadi Lebih Stylish!
-
4 Sunscreen Oil Control Harga Murah Rp50 Ribuan, Bikin Wajah Matte Seharian
-
Gaya Macho ala Bae Nara: Sontek 4 Ide Clean OOTD yang Simpel Ini!
-
Bukan Kaleng-Kaleng! 5 Laptop 7-10 Jutaan Paling Worth It Tahun Ini
Terkini
-
Sea Games 2025: Menanti Kembali Tuah Indra Sjafri di Kompetisi Level ASEAN
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
-
Relate Banget! Novel Berpayung Tuhan tentang Luka, Hidup, dan Penyesalan
-
Tutup Pintu untuk Shin Tae-yong, PSSI Justru Perburuk Citra Sendiri!