Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi emosi saat berkomunikasi (Pexels/Moose Photos)

Komunikasi interpersonal adalah proses bertukar informasi, ide, dan perasaan antara dua individu atau lebih. Dalam interaksi ini, emosi memainkan peran penting yang sering kali tak terlihat namun sangat signifikan. Emosi memengaruhi cara kita menyampaikan pesan, bagaimana pesan diterima, serta hubungan yang terjalin selama proses komunikasi. Memahami peran emosi dalam komunikasi interpersonal membantu meningkatkan kualitas interaksi dan membangun hubungan yang lebih bermakna.

Secara teoritis, emosi dapat dilihat sebagai respons kompleks yang melibatkan pengalaman subjektif, ekspresi fisiologis, dan interpretasi sosial. Menurut teori emosi James-Lange, emosi muncul sebagai hasil dari interpretasi terhadap respons tubuh terhadap rangsangan eksternal. Dalam konteks komunikasi interpersonal, teori ini menunjukkan bahwa respons emosional dapat dipicu oleh kata-kata, ekspresi wajah, atau bahasa tubuh lawan bicara. Teori lain, seperti Two-Factor Theory dari Schachter dan Singer, menyatakan bahwa emosi merupakan hasil kombinasi antara arousal fisiologis dan label kognitif terhadap situasi tertentu. Kedua teori ini menggarisbawahi pentingnya konteks dalam memengaruhi emosi selama komunikasi.

Komunikasi interpersonal melibatkan dua komponen utama: komunikasi verbal dan nonverbal. Dalam komunikasi verbal, emosi dapat terungkap melalui intonasi, pilihan kata, atau volume suara. Sebagai contoh, seseorang yang merasa marah mungkin menggunakan nada suara yang lebih keras atau memilih kata-kata yang tajam. Sebaliknya, dalam komunikasi nonverbal, emosi sering kali terlihat melalui ekspresi wajah, gestur, dan kontak mata. Ekspresi wajah, seperti senyuman atau kerutan dahi, dapat menyampaikan pesan emosional yang kuat tanpa perlu kata-kata. Penelitian yang dilakukan oleh Ekman (2020) menunjukkan bahwa ekspresi wajah untuk emosi dasar, seperti kebahagiaan, kesedihan, atau kemarahan, bersifat universal, meskipun interpretasinya dapat bervariasi di antara budaya.

Salah satu aspek penting dalam memahami peran emosi dalam komunikasi interpersonal adalah dampaknya terhadap empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain. Ketika seseorang menunjukkan emosi melalui kata-kata atau tindakan, penerima pesan yang memiliki tingkat empati tinggi lebih mampu merespons dengan cara yang sesuai. Sebuah penelitian oleh Davis et al. (2019) menemukan bahwa empati emosional meningkatkan keefektifan komunikasi dalam hubungan interpersonal, terutama ketika individu menghadapi situasi konflik atau membutuhkan dukungan emosional.

Selain itu, emosi juga memengaruhi persepsi dan interpretasi pesan. Ketika seseorang sedang dalam kondisi emosional tertentu, seperti marah atau sedih, interpretasi mereka terhadap pesan yang diterima bisa berbeda dari niat asli pengirim. Misalnya, komentar sederhana seperti "Kamu terlihat sibuk hari ini" dapat dianggap sebagai kritik jika pendengar merasa stres atau marah. Fenomena ini dikenal sebagai emotional filtering, di mana emosi bertindak sebagai lensa yang memengaruhi bagaimana informasi diproses dan diinterpretasikan.

Dalam praktiknya, emosi sering kali menjadi alat yang kuat untuk membangun atau merusak hubungan interpersonal. Ketika emosi seperti kebahagiaan, kehangatan, atau rasa syukur diekspresikan dalam komunikasi, hubungan cenderung menjadi lebih positif dan saling mendukung. Sebaliknya, ekspresi emosi negatif seperti kemarahan, frustrasi, atau kebencian dapat menyebabkan konflik dan merusak hubungan. Penelitian oleh Gottman dan Levenson (2018) menunjukkan bahwa dalam hubungan romantis, pasangan yang mampu mengelola ekspresi emosional mereka selama argumen memiliki tingkat keberhasilan hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan yang cenderung menunjukkan emosi negatif secara berlebihan.

Namun, emosi tidak selalu berdampak negatif dalam situasi konflik. Jika dikelola dengan baik, ekspresi emosi dapat membantu menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif. Menurut teori manajemen konflik oleh Rahim, emosi seperti kesedihan atau rasa bersalah dapat memotivasi individu untuk meminta maaf atau mencari solusi bersama. Sebaliknya, penekanan emosi atau ketidakmampuan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dapat memperburuk konflik dan menciptakan jarak emosional.

Peran emosi dalam komunikasi interpersonal juga dipengaruhi oleh budaya. Budaya menentukan bagaimana emosi diekspresikan dan diterima dalam konteks sosial tertentu. Dalam budaya kolektivistik seperti Indonesia, ekspresi emosi cenderung lebih terkendali untuk menjaga harmoni kelompok. Sebaliknya, dalam budaya individualistik seperti Amerika Serikat, ekspresi emosi yang lebih langsung dan eksplisit sering kali dianggap sebagai tanda kejujuran dan kepercayaan diri. Studi oleh Matsumoto et al. (2021) menemukan bahwa perbedaan budaya ini memengaruhi cara individu menafsirkan emosi dalam komunikasi lintas budaya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Teknologi juga telah mengubah cara emosi diekspresikan dan diterima dalam komunikasi interpersonal. Dalam komunikasi digital seperti pesan teks atau media sosial, individu sering kali kehilangan elemen nonverbal yang penting untuk menyampaikan emosi. Sebagai respons, penggunaan emoji dan gaya penulisan menjadi cara untuk mengkompensasi hilangnya isyarat emosional. Penelitian oleh Derks et al. (2022) menunjukkan bahwa penggunaan emoji yang tepat dapat meningkatkan kejelasan emosional dalam komunikasi digital, meskipun masih kurang efektif dibandingkan komunikasi tatap muka.

Dalam konteks profesional, emosi juga memiliki dampak signifikan. Dalam dunia kerja, komunikasi yang melibatkan emosi seperti rasa hormat, kepercayaan, atau antusiasme dapat meningkatkan kerja sama tim dan produktivitas. Namun, emosi negatif seperti frustrasi atau rasa tidak dihargai dapat menyebabkan konflik dan menurunkan motivasi. Sebuah penelitian oleh Liu et al. (2020) menunjukkan bahwa pemimpin yang mampu mengelola emosi mereka sendiri dan memahami emosi orang lain lebih efektif dalam memengaruhi tim mereka.

Penting untuk diingat bahwa peran emosi dalam komunikasi interpersonal bukan hanya tentang apa yang dirasakan atau diekspresikan, tetapi juga bagaimana emosi tersebut dikelola. Kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengatur emosi, yang dikenal sebagai kecerdasan emosional, menjadi faktor kunci dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Daniel Goleman, dalam teorinya tentang kecerdasan emosional, menekankan bahwa individu dengan kecerdasan emosional tinggi lebih mampu mengelola konflik, membangun hubungan, dan berkomunikasi dengan cara yang konstruktif.

Kesimpulannya, emosi adalah elemen yang tidak terpisahkan dari komunikasi interpersonal. Emosi memengaruhi cara kita menyampaikan pesan, bagaimana pesan tersebut diterima, dan bagaimana hubungan berkembang dalam proses komunikasi. Dengan memahami dan mengelola peran emosi, individu dapat meningkatkan efektivitas komunikasi mereka dan membangun hubungan yang lebih baik, baik dalam konteks personal maupun profesional. Penelitian dan teori yang mendukung peran penting emosi dalam komunikasi menunjukkan bahwa keterampilan mengenali dan mengatur emosi adalah investasi yang berharga untuk kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Rion Nofrianda