Saya tidak tahu kapan tepatnya kebiasaan ini dimulai, tapi hari ini saya melakukannya lagi. Uang tunai mendesak, tapi rasa malas menuju ATM menang. Solusinya? Teman saya. Kok bisa? Begini ceritannya.
Awalnya saya bertanya kepada teman apakah dia punya uang tunai, dan jika memiliki uang tunai tersebut, maka saya minta dia memberikan uang tunai itu, lalu saya transfer nominalnya ke rekeningnya. Selesai dalam hitungan menit tanpa antre.
Ini bukan kali pertama saya melakukannya. Beberapa minggu lalu, hal serupa terjadi. Bukan karena ATM jauh atau tidak ada uang di rekening, tetapi lebih karena solusi ini lebih praktis. Ternyata, bukan hanya saya yang punya kebiasaan seperti ini. Teman saya juga sering meminta hal yang sama kepada saya, atau ke teman lain dalam circle kami. Kalau dihitung, ini hampir jadi budaya kecil dalam keseharian kami.
Fenomena ini menurut saya cukup unik. Bayangkan, ATM atau mesin EDC mungkin sudah menjadi solusi instan sejak lama, tetapi teknologi perbankan berbasis transfer yang semakin canggih membuat transaksi antar teman lebih praktis. Dengan hanya beberapa ketukan layar di aplikasi perbankan, masalah uang tunai terselesaikan tanpa keluar rumah.
Namun, saya menyadari ada dinamika yang lucu di balik kebiasaan ini. Tidak semua orang selalu punya uang tunai, jadi ada "jatah" tak tertulis di antara teman-teman. Yang sering jadi "ATM berjalan" biasanya orang yang memang selalu punya uang tunai dalam dompetnya. Orang ini jadi semacam bank kecil, dengan saldo fisik yang selalu tersedia.
Tapi, kebiasaan ini juga punya risiko. Apa jadinya jika transfernya tiba-tiba gagal atau uang yang diminta tidak cukup? Ada potensi rasa tidak enak atau bahkan konflik kecil, meski jarang terjadi di circle saya. Makanya, saya selalu memastikan nominal kecil dulu untuk menjaga fleksibilitas dan menghindari kesalahpahaman.
Budaya barter tunai ala Gen Z ini, menurut saya, adalah bukti bagaimana teknologi dan kepraktisan menjadi prioritas utama. Kami tidak selalu mengandalkan fasilitas resmi seperti ATM jika ada cara yang lebih mudah, meskipun cara ini belum tentu cocok untuk semua situasi.
Jadi, apakah ini solusi sementara atau kebiasaan yang akan terus berkembang? Entahlah. Tapi sejauh ini, teman tetap lebih cepat daripada mesin. Dan mungkin itu cukup untuk menjelaskan kenapa saya terus melakukannya.
Baca Juga
-
Privasi Tipis Era Digital: Kebiasaan Screenshot Chat yang Mengkhawatirkan
-
Self-Reward ala Gen Z, Motivasi atau Pemborosan?
-
Follow-Unfollow: Kebiasaan Sepele yang Menguak Dinamika Media Sosial
-
Dari Hobi ke Cuan, Bisakah Gen Z Mengubah Passion Menjadi Profesi?
-
Budaya Labelisasi di Kampus: Merusak Relasi, Menghancurkan Niat Baik
Artikel Terkait
-
Dari Hobi ke Cuan, Bisakah Gen Z Mengubah Passion Menjadi Profesi?
-
Kepsek soal Siswa SD Belajar di Lantai gegara Tunggak SPP: Wali Kelasnya Buat Peraturan Sendiri
-
Heboh Siswa SD di Medan Belajar di Lantai Gegara Tunggak SPP
-
Siap-siap, Minuman Berpemanis Kemasan Botol Bakal Mahal karena Kena Cukai
-
Daftar Panjang Kasus Hukum Menjerat Trump, Dari Uang Suap Hingga Subversi Pemilu
Lifestyle
-
Auto Glowing dan Kenyal! 3 Sleeping Mask dengan Harga Pelajar, Rp40 Ribuan
-
5 Toner Azarine untuk Kulit Lebih Terawat, Mana yang Paling Kamu Butuhkan?
-
3 Face Wash Brand Korea dengan Kandungan Panthenol, Ampuh Lembapkan Kulit!
-
4 Pilihan Look Kasual Modern ala Keena FIFTY FIFTY untuk Kamu Coba, Simpel tapi Kece!
-
Catat! 3 Rekomendasi Thermal Water yang Ampuh Meredakan Sunburn dan Kulit Iritasi
Terkini
-
Sinopsis Watashi wa Seikei Bijin, Drama Romantis Anna Ishii dan Kyoya Honda
-
Cinta Nggak Kenal Kasta! Pelajaran Sarat Makna dari Film Ambyar Mak Byar
-
Novel Penulis Jalanan, Menghadapi Ketidakpastian Hidup dengan Prasangka Baik
-
Rayakan Hari Valentine, Stray Kids Gelar Fan Meeting ke-5 'SKZ 5'CLOCK'
-
Di Balik Program Makan Bergizi Gratis: Mengapa Kebijakan Ini Memicu Perdebatan?