Hikmawan Firdaus | e. kusuma .n
Ilustrasi menikah (Unsplash.com/Jeremy Wong Weddings)
e. kusuma .n

Pernikahan sering dianggap sebagai momen sakral dan bahagia atas simbol cinta yang berakhir di pelaminan. Namun, tidak semua orang merasa demikian dan justru merasa takut menikah berlebihan atau dikenal juga dengan sebutan gamofobia.

Kondisi ini merujuk pada perasaan takut dan cemas hingga menolak ide menikah sama sekali. Berbeda dengan menunda menikah karena belum siap, sayangnya fenomena gamofobia ini justru semakin banyak dialami generasi muda.

Apa Itu Gamofobia?

Gamofobia berasal dari bahasa Yunani gamos yang berarti “pernikahan” dan phobos yang berarti “ketakutan.” Orang dengan gamofobia bukan sekadar enggan, tapi sudah merasakan ketakutan intens saat baru membayangkan komitmen jangka panjang dan kehidupan berdua secara permanen.

Bukan hanya sekadar malas menikah, penderita gamofobia bisa merasakan gejala fisik yang menyertai seperti jantung berdebar, berkeringat dingin, atau bahkan panik berlebihan saat diajak bicara soal pernikahan.

Tanda-tanda Mengalami Gamofobia

Gamofobia tidak selalu mudah dikenali karena sering tertutupi oleh alasan-alasan logis seperti ingin fokus karier, belum punya rumah, atau trauma masa lalu. Namun, ada beberapa tanda yang bisa menjadi indikasi seseorang mengalami gamofobia.

  • Merasa cemas, takut, dan bahkan panik berlebihan saat diajak memikirkan atau membicarakan tentang pernikahan.
  • Berusaha menghindari pembahasan soal pernikahan, termasuk komitmen hubungan yang serius.
  • Sering memilih untuk segera mengakhiri hubungan yang dirasa sudah terlalu dalam tanpa alasan yang jelas.
  • Lebih memilih menjalin hubungan tanpa status alih-alih berkomitmen jangka panjang.

Mengapa Gamofobia Semakin Banyak Dialami Generasi Muda?

Fenomena gamofobia kini banyak dibicarakan dan bahkan dialami generasi muda, terutama millenial dan Gen Z. Lalu, kenapa gamofobia bisa semakin marak terjadi? Beberapa faktor sosial dan psikologis berikut ini jadi alasan yang melatarbelakanginya.

1. Trauma dan Ketidakpercayaan pada Hubungan

Banyak anak muda tumbuh di lingkungan dengan orang tua yang tidak harmonis atau bahkan bercerai. Pengalaman itu kemudian menanamkan ketakutan bahwa pernikahan hanya berakhir dengan konflik dan penderitaan.

2. Tekanan Sosial dan Ekonomi

Biaya hidup yang semakin tinggi dan tuntutan karier membuat banyak orang merasa menikah adalah ‘beban’ tambahan. Tidak jarang muncul pikiran seperti “Aku aja belum selesai dengan diriku sendiri, gimana mau menikah?” yang membuat rasa takut menikah semakin besar.

3. Tren Self-Healing dan Self-Love

Budaya modern mendorong pentingnya mencintai diri sendiri dulu sebelum berkomitmen dengan orang lain. Sayangnya, sebagian orang menjadikan prinsip ini sebagai tameng untuk menghindari komitmen karena takut kehilangan kontrol atas hidupnya.

4. Representasi Negatif di Media

Konten media sosial sering memperlihatkan sisi ‘drama’ dari pernikahan, mulai dari pasangan yang selingkuh sampai toxic relationship. Akibatnya, pernikahan terlihat seperti risiko besar, bukan pintu menuju kebahagiaan.

Cara Mengatasi Gamofobia

Menghadapi ketakutan terhadap pernikahan memang tidak mudah, terlebih buat kamu yang memang punya trauma masa lalu. Namun, mengatasi gamofobia juga bukannya tidak mungkin, kok.

Pertama, kamu permu mengenali akar ketakutanmu, apakah karena pengalaman pribadi, trauma, atau pandangan negatif terhadap komitmen. Lalu, beranikan diri buat membuka komunikasi dan bicarakan dengan orang-orang terdekat.

Jika sulit menghadapi sendiri, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan psikolog yang bisa membantu memahami pola pikir dan menemukan cara mengatasi kecemasan tersebut.

Di sisi lain, kamu juga perlu belajar membuka pikiran lebih luas tentang hubungan yang sehat. Jangan selalu berkaca pada hubungan toksik sebab masih banyak contoh hubungan positif yang bisa mengurangi rasa takut dan memberikan harapan baru.