Garam merupakan komoditi yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya untuk makanan tetapi juga sebagai bahaan baku yang digunakan dalam berbagai bidang industri.
Tidak jauh berbeda seperti halnya beras maupun gula, impor garam juga menjadi suatu permasalahan yang diperdebatkan tiap tahunnya. Di tahun 2018 sendiri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan bahwa kebutuhan impor di Indonesia adalah 2,13 juta ton atau jika dibulatkan paling banyak 2,2 juta ton. Sedangkan dari pihak Kementerian Industri dan Kementerian Perdagangan mengungkapkan bahwa industri membutuhkan paling tidak 3,7 juta ton untuk memenuhi kebutuhan garam dalam kegiatan industri. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, tiap kali terdengar persoalan mengenai impor garam, muncul narasi keheranan atas ketidakmampuan Indonesia melakukan swasembada garam walau memiliki garis pantai yang panjang. Memang pada kenyataannya, meski memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, bukan berarti produksi garam di Indonesia ikut tinggi juga. Produksi garam di Indonesia saat ini masih terpusat di beberapa daerah saja. Bahkan daerah-daerah yang memproduksi garam paling banyak berdasarkan Neraca Garam Nasional 2015 berada di pulau Jawa, seperti Cirebon, Pati, Indramayu, Sumenep, Rembang, dan lain-lain.
Persebaran daerah-daerah penghasil garam yang tidak merata ini dikarenakan tidak semua daerah pesisir dimanfaatkan sebagai tambak garam, melainkan sebagai tambak atau penunjang faktor pariwisata. Selain masalah pemanfaatan ini masih terdapat faktor lain yang menjadi penghambat Indonesia untuk dapat melakukan swasembada garam. Karena sama halnya dengan tanaman pertanian, produksi garam juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti cuaca, panas matahari, kelembaban udara, arah angin, ketebalan lumpur, dan faktor alam lainnya.
Jika dilihat dari grafik di atas produksi garam di Indonesia masih cenderung tidak stabil karena cuaca di tiap tahun tidak selalu sama. Ditambah lagi luas lahan yang menjadi tambak garam juga berubah tiap tahunnya. Grafik di atas misalnya, dapat dilihat bahwa produksi garam paling rendah terjadi pada tahun 2016 yaitu sekitar 118,1 ribu ton. Jauh berbeda dengan tahun-tahun lainnya yang mampu mencapai produksi 1-2 juta ton. Anjloknya produksi garam pada tahun 2016 terjadi karena adanya anomali cuaca La Nina di tahun tersebut.
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa produksi dalam negeri masih jauh untuk mampu memenuhi kebutuhan garam di Indonesia. Kebutuhan garam yang terus meningkat tiap tahunnya tanpa diikuti dengan peningkatan produksi garam dalam negeri tentu saja memaksa Indonesia mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhannya yaitu dengan cara mengimpor garam.
Selain mengenai kuantitas produksi, kualitas produksi garam lokal menurut Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gappmi) dinilai masih tak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman. Garam yang diperlukan industri makanan dan minuman memiliki kadar NaCL sebesar 97% dengan kadar air maksimum 0,5%. Sedangkan kebanyakan stok yang ada di petani masih mengandung kadar air sekitar 4-5%. Sehingga dari stok yang tersedia namun tidak sesuai dengan kualitas ini harus diolah agar sesuai, namun tentu saja akan terjadi penyusutan dari kuantitas garam.
Begitu pula dengan sektor industri lain di luar makanan dan minuman, seperti pada industri kimia, aneka pangan dan minuman, farmasi dan kosmetika, hingga pengeboran minyak. Bahkan hingga industri kertas dan kontak lensa pun semua membutuhkan garam. Tiap sektor ini juga membutuhkan garam dengan kualitas tertentu.
Untuk saat ini Indonesia memang masih belum bisa sepenuhnya bergantung pada produksi garam dalam negeri. Impor masih diperlukan dalam jumlah yang tidak sedikit. Perbedaan kebijakan dalam hal impor garam pun tentu akan terus terjadi karena kepentingan yang berbeda. KKP berusaha untuk melindungi produksi garam dalam negeri agar harga garam tidak anjlok, tetapi di sisi lain Kemenperin berusaha untuk memenuhi kebutuhan perindustrian. Data mengenai ketersediaan stok garam perlu diketahui berbagai pihak agar estimasi penentuan jumlah impor tidak lagi sampai berbeda jauh dan sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, ke depannya akan lebih baik jika daerah-daerah lain di luar pulau Jawa yang memiliki potensi untuk memproduksi garam lebih dikembangkan lagi. Begitu pula dengan daerah-daerah yang sudah mampu memproduksi agar ditingkatkan proses produksinya agar dapat memenuhi kualitas yang dibutuhkan oleh industri-industri di Indonesia. Sehingga ke depannya kebutuhan akan impor garam akan menurun bahkan bisa jadi Indonesia mampu untuk melaksanakan swasembada garam suatu hari nanti.
Penulis: Jayanti Wulansari, Politeknik Statistika STIS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Jokowi Mau Larang Impor Garam Mulai Tahun Depan, Pengusaha Bilang Begini
-
Mendag Janji Stop Impor Garam, Susi Pudjiastuti: Awas Kalau Bohong
-
Impor Garam Dipertanyakan, DPR: Kualitas Dalam Negeri Sudah Cukup Bagus!
-
Kasus Impor Garam: Kejagung Periksa 4 Direktur Perusahaan, Salah Satunya Dari PT Wings Food
-
Tanggapi Dugaan Korupsi Impor Garam, Jubir Kemenperin: Transparan dan Sesuai Prosedur
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Makna Perjuangan yang Tak Kenal Lelah di Lagu Baru Jin BTS 'Running Wild', Sudah Dengarkan?
-
Ulasan Buku 'Seni Berbicara Kepada Siapa Saja, Kapan Saja, di Mana Saja', Bagikan Tips Jago Berkomunikasi
-
Puncak FFI 2024: Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Sapu Bersih 7 Piala Citra
-
Polemik Bansos dan Kepentingan Politik: Ketika Bantuan Jadi Alat Kampanye
-
Ditanya soal Peluang Bela Timnas Indonesia, Ini Kata Miliano Jonathans