Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Akramunnisa Amir
Ilustrasi Seorang Perempuan Saat Lelah dengan Budaya Hustle (Freepik)

Setiap kali membuka media sosial, ada-ada saja postingan teman-teman yang bikin insecure. Ada yang sudah menyelesaikan beberapa proyek bulan ini, masih pagi-pagi buta sudah masak-masak dengan aneka ragam makanan, berhasil menyulap kamar yang berantakan jadi tempat beristirahat yang comfy, hingga yang ikut-ikut seminar dan kelas pengembangan diri dengan berbagai tema.

Lalu mulailah membandingkan diri sendiri yang hobinya leyeh-leyeh tiap kali menemukan celah waktu untuk beristirahat. Capek dikit maunya rebahan. Kepala terasa mumet, pengennya healing.

Lantas jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah saya memang sebegitu pemalasnya hingga tertinggal jauh? Salahkah jika sesekali membiarkan diri sendiri tidak produktif di tengah gempuran budaya hustle yang mematok nilai diri berdasarkan banyaknya pencapaian?

Nah, beberapa tahun belakangan ini tentu kita mendapati bahwa semakin hari, orang-orang semakin banyak menunjukkan eksistensi diri di media sosial.

Jika dulunya hanya sekedar pamer pencapaian dan prestasi, sekarang banyak di antara kita berlomba-lomba untuk mengunggah konten yang berisi kehidupan pribadi. Demi mendapat validasi atau sekedar monetisasi, kita bisa menyaksikan berbagai macam gebrakan orang-orang di sekitar kita yang tampaknya selalu sibuk tanpa mengenal waktu.

Jadi, tidak perlu lewat pencapaian yang besar untuk memicu insecurity di era sekarang. Bahkan dengan menyaksikan konten media sosial tentang pekerjaan ringan sehari-hari, hal tersebut bisa memantik perasaan bersalah bagi kita yang terlalu lama bersantai. 

Hustle culture semakin memperparah hal tersebut. Yakni ketika produktivitas menjadi standar baru dalam menilai diri sendiri. Ada rasa bersalah yang akan menyelinap ketika kita ternyata adalah tipe orang yang gampang terpengaruh dengan pencapaian orang lain. 

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang merangkap freelancer, saya pribadi cukup sering mendapati perasaan bersalah seperti ini tiap kali memutuskan untuk mengambil jeda sejenak.

Mencuri waktu untuk mengerjakan proyek kecil-kecilan di sela kesibukan mengurus rumah dan mengasuh balita cukup membuat saya sadar tentang betapa besar tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial. Yakni agar kita dinilai "produktif", walau hanya di rumah saja. Rasa bersalah itu amat nyata, meski sekedar ingin mengambil jeda tidur siang bersama anak setelah melewati setengah hari yang begitu melelahkan.

Tapi, setelah direnungkan kembali, mengambil jeda sejenak sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan. Melainkan itu adalah kebutuhan ketika kita menyadari bahwa diri kita sendiri sudah cukup berusaha dan bekerja semampunya.

Punya obsesi dan ambisi tinggi untuk mengejar pencapaian memang tidak salah. Tapi amat penting untuk menetapkan batasan. Mengetahui kapan kita harus diam sejenak untuk memulihkan energi.

Oleh karena itu, kita sebaiknya punya kesadaran untuk belajar agar tidak menempatkan diri sendiri pada sebuah kompetisi bersama orang lain yang tidak bisa dimenangkan.

Setiap orang punya pijakan start tersendiri, dan garis finish yang berbeda dari yang lainnya. Maka, mengapa harus berlomba dengan dalih ingin terlihat lebih produktif? Toh, nilai diri tidak ditentukan dengan seberapa sibuk kita terlihat dari luar. 

Sebaliknya, sesekali memilih untuk melipir dari kesibukan, lalu diam sejenak adalah momen untuk mengambil ruang demi merawat diri. Diam bisa berarti mengukuhkan fondasi dalam memperkuat bangunan agar mampu tegak lebih tinggi.

Sekali lagi, produktivitas itu memang penting. Tapi yang perlu diingat, kita juga perlu hidup dalam sebuah keseimbangan. Setelah sekian lama bekerja, kita berhak untuk kembali mengisi daya lewat momen hening dan diam yang dirayakan dengan penuh suka cita.

Akramunnisa Amir