Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Yulanda Widya
Lada

Gemah Ripah Loh Jenawi. Ungkapan kata yang mendeskripsikan keadaan bumi pertiwi Indonesia, dengan arti “kekayaan alam yang berlimpah”. Tapi fakta diatas hanyalah sepenggal cerita kejayaan rempah – rempah Indonesia 400 tahun yang lalu. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana pangsa pasar rempah-rempah Indonesia di pasar global saat ini ? Berapa besar kontribusinya bagi perekonomian Indonesia sekarang?. Sebagai  negara pengekspor rempah – rempah di pasar dunia, Indonesia masih kalah dibandingkan negara Asia yang lain, seperti India, Vietnam serta Tiongkok. Bahkan nilai ekspor  rempah Vietnam dua kali lebih besar dari pada Indonesia. Apabila pemerintah Indonesia tidak memberikan perhatian yang penuh terhadap potensi ekspor yang tinggi tersebut, dikhawatirkan potensinya semakin direbut Vietnam. Sehingga Indonesia akan kehilangan pasar potensial untuk memasarkan produk ekspornya. Berdasarkan  Laporan Akhir Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan Berkelanjutan Tanaman Semusim Dan Rempah Tahun 2017 dari Direktorat Jenderal Tanaman Semusim dan Rempah Kementan, produksi rempah tanah air didominasi oleh lada, pala, dan cengkeh. Diantara ketiga komoditas tersebut, lada yang menduduki peringkat pertama sebagai komoditas ekspor.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan yang bersumber Badan Pusat Statistik (BPS), dari tahun ke tahun produksi lada terus mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam kurun waktu 2015-2019, produksinya menunjukkan tren yang positif. Di tahun 2016, produksi lada mencapai 86.334 ton. Besarnya produksi ini naik 5,93% dari produksi tahun 2015 yang hanya mencapai 81.501 ton. Pada tahun 2017, kenaikan produksi lada tidak sebesar tahun sebelumnya, hanya naik 1,92% yakni 87.991 ton dari tahun 2016. Kenaikan yang tidak begitu besar pun terjadi di tahun 2018, produksi lada mencapai angka 88.715 ton, naik 0,82% dari tahun 2017. Sementara produksi lada di tahun 2019, diperkirakan akan meningkat 1,07% yakni 89.617 ton dari tahun 2018. Meskipun kenaikannya tidak begitu besar, tetapi produksi lada di Indonesia berada di posisi penghasil kedua lada terbanyak di dunia.

Volume Ekspor

Subsektor perkebunan juga menjadi andalan Indonesia untuk mendapatkan devisa negara yang cukup besar, dapat dilihat dari nilai ekspornya. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mencatat, secara volume, ekspor produk perkebunan sepanjang Januari-Mei 2019 meningkat, meskipun secara nilai terkoreksi. Untuk Januari sampai Mei 2019, volume ekspor produk perkebunan mencapai 16,37 juta ton, meningkat 5,03% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2018 dengan volume 15,5 juta ton. Namun, dilihat dari segi nilai ekspor, terjadi penurunan 15,27% dari US$11,53 miliar untuk Januari-Mei 2018 menjadi US$9,77 miliar pada Januari-Mei 2019.

Besarnya volume ekspor produk perkebunan, salah satunya berasal dari komuditas lada. Volume ekspor dari komoditas lada tidaklah sedikit jika dibandingkan dengan komoditas lainnya. Namun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan yang bersumber Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2015-2017 grafik volume ekspor lada mengalami penurunan atau menunjukkan tren yang negatif diiringi dengan nilai ekspor lada yang juga menurun. Volume ekspor lada mencapai 58,075 ton pada tahun 2015 hingga merosot menjadi 42,691 ton pada tahun 2017.

Walaupun di tahun 2018 kembali meningkat, dimana volume ekspor mencapai angka 47,62 ton naik 4,93 ton dibandingkan tahun sebelumnya, akan tetapi total nilai ekspor lada atau devisa yang diperoleh hanya sekitar US$152,470 juta, turun dari capaian tahun sebelumnya dengan nilai US$235,962 juta. Sepanjang Januari-Juli 2019, volume ekspor lada Indonesia mencapai 27,16 ton dengan nilai US$75,54 juta, juga turun dari capaian pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 22,85 ton dengan nilai US$79,89 juta menurut data Kementerian Perdagangan.

Nilai ekspor yang terus menurun dari tahun ketahun ini menunjukkan bahwa kinerja ekspor komoditas lada di Indonesia belum dimaksimalkan. Kurangnya penghiliran komoditas lada dianggap sebagai salah satu penyebab belum maksimalnya kinerja ekspor. Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Perkebunan Kementerian Pertanian, jumlah impor lada Indonesia mencapai 844 ton dengan nilai US$3,7 juta pada tahun 2018, naik secara volume dari tahun 2017 yang sebanyak 762 ton dengan nilai US$4,22 ton. Sepanjang Januari-Juli tahun 2019, jumlah impor lada Indonesia mencapai 533 ton dengan nilai US$1,62 juta. 

Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita, di satu sisi volume ekspor Indonesia  mengalami peningkatan. Namun, disisi lain volume impor lada juga meningkat di dua tahun terakhir. Selalu menjadi masalah di Indonesia, masih banyak komoditas perkebunannya yang mengekspor produk dalam bentuk barang mentah sehingga nilainya tidak begitu tinggi jika sudah diolah. Ekspor lada contohnya, diekspor masih dalam bentuk butiran besar ke negara tujuan seperti Vietnam. Oleh Negara Vietnam, lada tersebut diolah kembali, dilakukan penghalusan dan kemudian diekspor kembali ke negara lain, termasuk Indonesia yang mengimpornya. Sehingga posisi Indonesia sebagai eksportir lada terus digeser oleh negara tersebut.

Di Indonesia, Provinsi Lampung menjadi penyumbang produsen utama  lada terbesar kedua di Indonesia, Terkenal dengan sebutan “Lampung BlackPepper” menjadikan lampung sebagai penghasil lada hitam terbaik. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Dari tahun 2015-2019, produksi lada di provinsi ini terus menurun dan menunjukkan tren yang negatif. Pada tahun 2015, produksinya sebesar 14.860 ton, kemudian meningkat signifikan menjadi 15.128 ton di tahun 2016 , Lalu mengalami penurunan dari tahun 2017 – 2019 .

Namun, Sebagai daerah utama penghasil lada hitam , Luas areal perkebunan dan Produktifitas Lada Provinsi Lampung menunjukan trend yang negatif dari tahun 2015 – 2019 , Pada tahun 2015 luas areal perkebunan lada sebesar 45,863 Ha namun terus mengalami penurunan setiap tahun nya sebesar -0,23 Ha. Dilansir dari media situs online ,Dewan Rempah Indonesia Provinsi lampung,” Penyebab turunnya luas areal perkebunan lada di lampung karena Kesuburan lahan yang cenderung menurun akibat cara budidaya yang salah.

Untuk mengembalikan status Indonesia sebagai negara produsen sekaligus eksportir utama lada di dunia, diperlukan adanya kolaborasi antara pemangku kepentingan dari berbagai sektor. Kebijakan pemerintah pusat haruslah sejalan dengan pemerintah daerah dalam meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar global. Pemerintah dapat memberikan bantuan dalam bentuk penyuluhan proses pertanian yang baik kepada para petani lada karena selama ini masih banyak petani yang mengandalkan metode tradisional sehingga hasil produksinya tidak maksimal. Kemudian pemerintah dapat membantu dalam pemberian bibit lada yang unggul karena tantangan lada saat ini  yaitu sebagian besar tanamannya sudah tua sehingga perlu adanya peremajaan.

Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu melalui penghiliran komoditas lada. Pemerintah dapat mendampingi para petani untuk melakukan inovasi-inovasi diversifikasi produk berbasis lada dan meningkatkan kualitas produk lada. Diperlukan juga koordinasi yang baik dengan perindustrian dalam mengolah butiran besar lada menjadi serbuk lada yang lebih halus sehingga dapat memberikan nilai yang lebih tinggi pada produk lada. Dari sisi pengendalian harga, upaya yang bisa dilakukan yaitu memutus  rantai pasok yang lama, dimana mendorong semua produk lada langsung sampai ke negara tujuan atau tidak lagi transit di negara lain. Indonesia juga  harus mencari pasar-pasar ekspor nontradisional untuk mengatasi kelebihan suplai lada tersebut. Dengan adanya upaya untuk memproduksi dengan kualitas tinggi dan produktivitas tinggi, melakukan hilirasi untuk menambah nilai lada, kemudian mengekspornya langsung ke negara tujuan, diharapkan mampu mengembalikan kejayaan rempah Indonesia, lada sebagai negara produsen dan eksportir utama di dunia.

Yulanda Widya