Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Yulanda Widya ,S.Tr.Stat
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia (freepik)

Persoalan kekerasan terhadap perempuan menjadi salah isu hangat yang dibicarakan saat ini, bahkan selalu menjadi polemik yang tidak pernah usai sejak lama. Selang sebulan telah banyak terungkap kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Persoalan kekerasan terhadap perempuan juga menjadi salah satu target SGDs yang harus ditangani secara bersama-sama oleh negara-negara anggota PBB. Menurut DeVries dkk (2013), data terbaru secara global menunjukkan 30% perempuan berusia 15 tahun ke atas telah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual dari pasangannya selama hidupnya. Hal ini juga didukung dari laporan Oxfam yang mengungkapkan bahwa satu dari dua perempuan di Asia Selatan mengalami kekerasan di dalam rumah tangganya

Sementara di Indonesia, menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tahun 2021, sepanjang tahun 2020 tercatat kekerasan terhadap perempuan sebanyak 299.911 kasus. Dari 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat di Komnas HAM, 291.677 kasus bersumber dari Pengadilan Agama, lembaga layanan mitra komnas perempuan sejumlah 8234 kasus, dan unit pelayanan dan rujukan sebanyak 2389 kasus. Kasus kekerasan seksual merupakan kasus tertinggi dalam kekerasan terhadap perempuan, yakni sebanyak 962 kasus yang terdiri dari 166 kasus pencabulan, 299 kasus permerkosaan, 181 kasus pelecehan seksul, dan sebanyak 5 kasus persetubuhan. Tidak hanya terjadi di ranah komunitas/publik, kasus kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di lingkungan rumah tangga. Sebanyak 6480 kasus terjadi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Kasus kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini meningkat tajam. Berdasarkan provinsi, provinsi yang memiliki angka kekerasan terhadap perempuan tertinggi yaitu DKI Jakarta: sebanyak 2461 kasus, disusul Jawa Barat sebanyak 1011 kasus, sedangkan Jawa Timur sebanyak 687 kasus. Hal ini cukup menjadi sorotan bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan jumlah ketersediaan lembaga pengada layanan (FPL) di Provinsi tersebut serta kualitas dan kapasitas pendokumentasian lembaga  dan ketiadaan lembaga tempat korban melapor atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang tersedia, atau rasa tidak aman apabila melapor.

Bedasarkan data Komnas HAM Tahun 2021, jenis kasus kekerasan seksual di ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga tergolong cukup tinggi yaitu jenis kekerasan seksual Inses, di mana pada tahun 2019 kasus inses menjadi jenis kekerasan seksual tertinggi. Inses merupakan hubungan seksual antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan bersaudara dekat dan dianggap melanggar adat, hukum, dan agama. Kasus inses adalah kekerasan seksual yang berat, di mana korban akan cenderung menutupi hal yang terjadi karena kekhawatiran hal yang akan terjadi pada korban dan keluarganya.

Akhir-akhir ini banyak terjadi di Indonesia kasus kekerasan seksual berjenis inses, di mana Ayah kandung tega mencabuli atau memerkosa anak kandungnya sendiri. Seperti kasus tiga anak kandung yang menjadi korban pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya. Kasus kekerasan terhadap perempuan baik dari jenis kekerasan seksual, pencabulan tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan publik, tapi juga merambat ke ranah pendidikan seperti pondok pesantren ataupun TPQ. Pada akhir tahun 2021 banyak kasus terungkap, di mana terjadinya pemerkosaan 13 santriwati di Jawa Barat yang dilakukan oleh Herry Wirawan, pengelola pondok pesantren (ponpes). Padahal, ponpes merupakan tempat sekolah dan menuntut ilmu bagi para santriwati. Lalu di susul dengan kasus seorang ibu muda di Riau, korban pemerkosaan, dimarahi dan dipaksa untuk berdamai oleh oknum petugas kepolisian. Sekali lagi, korban tak pernah mendapatkan perlindungan, apalagi keadilan.

Dengan semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini, pemerintah harus segera mensahkan RUU PKS. RUU  PKS  akan mengakomodir kejahatan terkait kekerasan seksual secara spesifik dan menyeluruh.  Indonesia pada saat ini sudah darurat kekerasan seksual dan RUU PKS ini sudah tidak dapat ditunda lagi. Dengan adanya RUU PKS, maka akan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini dapat lolos dari jeratan hukum. Selama ini kasus kekerasan seksual hanya diselesaikan secara kekeluargaan atau tidak ditindaklanjuti. Sedangkan bagi penyintas meninggalkan trauma yang mendalam.

Jenis kasus kekerasan yang tercantum dalam RUU PKS akan membantu dan memproses sembilan jenis tindak kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Adanya payung hukum ini juga membuat korban bisa lebih leluasa melaporkan segala tindakan kekerasan yang terjadi. Sebab selama ini, setiap penyintas cenderung menutup semua tindakan kekerasan, apalagi kekerasan yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan jenis kekerasan seksual inses. Di Indonesia, beberapa orang cenderung meghakimi penyintas dibanding pelakunya, dan membuat penyintas menjadi takut untuk mengungkapkan kasus yang terjadi, sehingga RUU PKS perlu segera disahkan untuk melindungi penyintas dalam kasusnya.

Pemerintah juga berkewajiban menguatkan peran dan tanggung jawab keluarga, komunitas, masyarakat dan korporasi dalam penyelenggaraan pemenuhan hak-hak koban (Dwiko Rynoza Nur Rachman). Adanya RUU PKS ini diharapkan juga menjadi landasan hukum bagi para pelaku kekerasan sehingga mendapat hukuman yang sesuai dan bagi para korban mendapatkan perlindungan. Bentuk perlindungan yang dapat diberikan berupa penanganan kasus, layanan bantuan, hingga sampai pemulihan terhadap korban.  Selain mengesahkan RUU PKS, diperlukan adanya kerjasama dalam sebuah keluarga dalam hal penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Adanya bentuk preventif dalam keluarga untuk meminimalisir kasus pelecehan seksual.  Diharapkan dari segala upaya perlindungan dan tindakan preventif tersebut, maka angka kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dapat mengalami penurunan.

Kami bersama korban!

Yulanda Widya ,S.Tr.Stat