Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | darmarespati
Ilustrasi kumpulan album musik (unsplash)

Era digital membuat kehidupan manusia menjadi lebih mudah dalam semua aspek. Istilah digital sering disebut seiring kemunculan jaringan internet atau teknologi informasi dan komunikasi. Kemudahan ini berimbas pula pada perkembangan industri musik. Memasarkan rilisan musik di era digital kini tak melulu tentang produksi album atau Extended Play (EP) yang diabadikan pada cakram padat, pita kaset, atau compact disc yang kemudian didistribusikan ke toko-toko musik di setiap kota atau daerah.

Para musisi kini dapat dengan mudah mendistribusikan karyanya melalui berbagai media online, baik melalui media sosial, layanan streaming, maupun web profile. Munculnya situs jaringan sosial seperti My Space pada awal tahun 2000-an menjadi salah satu penanda bahwa era digital telah merambah ke dalam ekosistem musik.

My Space memberikan ruang bagi semua orang untuk membuat halaman berisi profil mereka sendiri termasuk hasil karya musik mereka sendiri. Berlanjut pada tahun 2006, Reverbnation secara khusus memberikan wadah pertemuan bagi para musisi yang ingin merilis karyanya dengan para pendengar. Melalui Reverbnation, para musisi yang baru merilis karyanya akan mendapat kesempatan untuk didengar secara lebih luas dan mendapat kesempatan bermain di festival tanpa melalui perantara label.

Era digital membuat batasan antar negara atau teritorial menjadi semakin kabur, hal ini berlaku juga dalam pendistribusian rilisan musik. Melalui media digital, para musisi dapat mendistribusikan karyanya dengan bebas, bersaing dengan jutaan karya musik di seluruh dunia, dan membuat semakin kaburnya ekslusifitas dari para musisi yang lebih dahulu terjun ke dunia musik. Kini, para pendengar bisa lebih bebas mencari karya musik yang benar-benar sesuai dengan selera musik yang mereka senangi.

Di antara kemudahan era digital dalam hal pendistribusian rilisan musik, agaknya perlu diperhatikan pula kesulitan-kesulitan yang akan ditemui oleh para musisi. Salah satunya, persaingan karya antar musisi yang pada mulanya terbatas pada beberapa limitasi, kini semuanya menjadi lebih terbuka dan bebas. Mereka yang dikatakan berhasil secara umum adalah mereka yang berhasil menarik minat pendengar sebanyak mungkin.

Tentunya, menghadapi kesulitan ini diperlukan beberapa penyesuaian dan strategi bagi para musisi yang inginmendistribusikan karyanya melalui media digital. Berikut beberapa strategi yang diperlukan dalam mendistribusikan rilisan musik di era digital:

1. Substance over form

Substance over form yang berarti mementingkan substansi di atas bentuk dan kemasan. Hal terpenting di dalam sebuah karya musik adalah kualitas dari musik itu sendiri, bukan hanya sekadar kemasan ataupun seberapa gencar karya musik tersebut dipasarkan. Beberapa karya yang dianggap tidak cukup “matang” dalam waktu sekejap memang dapat menarik antusiasme para pendengar, namun tidak bertahan lama. Oleh karena itu, untuk mendapat antusiasme yang bertahan lama, lebih organik dan nyata, kualitas dari musik itu yang lebih penting. Pemasaran yang luar biasa menarik tidak akan berlanjut pada antusias yang nyata jika memang karya itu dirasa kurang berkualitas.

2. Platform digital

Menggunakan platform digital dengan baik. Kini terdapat banyak sekali pilihan platform untuk mendistribusikan rilisan musik. Dimulai dari platform streaming, telah tersedia berbagai macam pilihan, diantaranya Spotify, iTunes, Deezer, JOOX, Youtube Music, Soundcloud, dll. Pada platform video sharing telah tersedia Youtube. Kemudian, pada platform web profile juga telah tersedia Instagram, Twitter, Facebook, Bandcamp, Reverbnation, dll.

Tersedianya berbagai media pemasaran ini menuntut para musisi agar lebih jeli dan bijak dalam menggunakannya. Para musisi dapat memilih platform sesuai kebutuhan promosi dan jenis karya yang akan mereka distribusikan. Melalui platform streaming, para musisi dapat mendistribusikan hasil karyanya melalui media suara dengan baik.

Sedangkan untuk platform video sharing, para musisi dapat mendistribusikan bentuk karya yang telah dikemas rapi dalam bentuk video, baik semacam video klip, video live performance, video rehearsal maupun video pada proses arrangement. Melalui platform web profile para musisi dapat memberikan informasi yang lebih personal tentang profil musisi tersebut, termasuk di dalamnya update informasi terbaru, membangun dan memperkuat branding maupun image dan persona musisi tersebut, serta menjaga interaksi dengan para pendengarnya.

3. Engagement di media sosial

Menjaga engagement melalui media sosial. Setelah mendapatkan atensi dari para pendengar, pada umumnya behavior yang umum dari para pendengar adalah mencari media interaksi yang berkelanjutan dengan musisi tersebut. Di era digital, media sosial menjadi wadah yang tepat dan umum untuk digunakan, sebut saja Instagram, Twitter, Facebook, dan lainnya.

Para musisi bisa menjaga engagement dengan para pendengarnya dengan beberapa cara, di antaranya dengan terus memberikan update kegiatan musisi sehari hari, update informasi terkini tentang progress karya, live performance, rehearsal, dan tentunya adanya fitur tanya jawab sangat membantu para musisi untuk membaca dan menanggapi langsung pesan dari para pendengar.

4. Little Spam

Sebelum adanya kemudahan yang dibawa era digital, para musisi lazimnya membuat satu bentuk kumpulan karya musik yang kemudian dituangkan dalam bentuk album atau EP. Namun kini, mereka lebih dimudahkan karena mereka dapat mendistribusikan karya mereka satu persatu (little spam) karena tidak terikat dengan sebuah keharusan untuk membuat kumpulan karya terlebih dahulu.

Keharusan ini tentunya berkaitan dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh label untuk mempromosikan satu musisi. Sebagai contoh pengalaman ini dialami oleh Band Rotor di awal kemunculannya. Label yang menaunginya mengharuskannya untuk menyiapkan 10 lagu sebagai syarat memasuki dapur rekaman, tetapi pada masa itu mereka baru memiliki 3 lagu. Akhirnya, dalam tenggat waktu yang ditentukan, Band Rotor harus memenuhi target itu. Tentunya, hal ini tidak akan dialami lagi oleh para musisi yang akan mendistribusikan karya mereka melalu media digital.

5. “Good Merch Never Goes Wrong

Merchandise tidak dapat dipisahkan dengan sebuah band/musisi dan menjadi identitas tersendiri bagi band atau musisi tersebut. Merchandise dapat berupa kaos, topi, tas, dan sebagainya. Pepatah mengatakan, salah satu cara mendukung musisi bagi para pendengar selain dengan menonton pertunjukan mereka ialah dengan membeli merchandise mereka. Dengan merchandise yang berkualitas, musisi tak hanya menerima keuntungan materil dari hasil penjualan merchandise tetapi juga mendapatkan keuntungan promosi secara tidak langsung dari para pendengar yang memakai merchandise mereka.

Pada akhirnya, menjadikan sebuah karya musik dikenal dan tersebar luas kepada para pendengar bukan merupakan misi utama dalam mencipta karya. Sebuah karya yang diproduksi dengan jujur dan penuh pesan akan menemukan celahnya sendiri untuk sampai pada para pendengarnya.

Menjadi musisi memang tidak melulu membuat karya musik kita menjadi terkenal tetapi juga berkaitan dengan tersampaikannya pesan yang kita bawa. Dengan kemudahan media digital sebagai sarana promosi karya musik lantas bukan menjadi pembiaran bagi para musisi untuk membuat karya-karya tidak berkualitas hanya demi mencari ketenaran semata.

Oleh: Darma Respati Putra/Diploma IV PKN STAN/CEO Headquartermerch

darmarespati

Baca Juga