Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Anisa Anastia
Suasana Terminal Pondok Cabe di Tangerang Selatan, Banten, Senin (25/3). [Suara.com/Arief Hermawan P]

Terminal di Indonesia masih identik citranya sebagai tempat yang kumuh dan semrawut. Ditandai dengan banyaknya calo, preman dan pedagang asongan yang membuat penumpang merasa tidak aman dan nyaman.

Fasilitas terminal juga masih minim contohnya ada beberapa terminal dengan toilet berbayar ketika seharusnya hal tersebut adalah gratis, jumlah kursi tunggu penumpang yang terbatas, area yang kumuh, tidak ada tempat drop off atau pick up untuk penjemput, tidak ada smoking area sehingga asap rokok adalah hal yang sangat wajar selalu ditemui di terminal, tidak ada ruang untuk menyusui, hingga tidak ada akses untuk disabilitas.

Di masa pemerintahan Presiden Jokowi, sangat gencar dilakukan pembangunan berbagai infrastruktur terutama yang berkaitan dengan transportasi. Seperti pembangunan jalan tol, bandara baru, pembangunan stasiun MRT, dan masih banyak lagi.

Perubahan yang terlihat sangat jelas dan signifikan adalah pelayanan stasiun, stasiun yang beberapa tahun lalu terkenal dengan citranya yang identik dengan kumuh dan semrawut, sekarang menjadi primadona transportasi darat di Indonesia. Lantas pertanyaannya, kapan terminal bisa seperti itu?

Belajar dari reformasi stasiun berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki citra terminal

Reformasi Sumber Daya Manusia 

Adanya pungli yang ditemukan di terminal Bogor dan Bekasi pada Desember 2018, menandakan reformasi sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu hal penting yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja terminal.

Perbaikan SDM tersebut dapat dilakukan melalui penegakan kode etik pegawai, adanya reward and punishment kepada pegawai dan optimalisasi pengawasan. Seperti yang dilakukan Ignasius Jonan dalam reformasi perkeretaapian di Indonesia, beliau tidak segan melakukan pemecatan pegawai-pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

Beliau tahu betul bahwa SDM adalah kunci utama reputasi organisasi dan garda terdepan dalam pelayanan publik, karena merekalah yang akan berhubungan langsung dengan masyarakat.  Pembuatan sistem whistle blower untuk terminal dapat menjadi kontributor pengawasan SDM terminal, masyarakat dapat melaporkan adanya penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang terjadi di lingkungan terminal.

Revitalisasi Terminal

Revitalisasi terminal adalah suatu keharusan. Dikutip dari laman Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp810 milyar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 untuk melaksanakan revitalisasi terminal, dengan rincian Pembangunan Terminal Tipe A Lanjutan di 4 lokasi dan Rehabilitasi atau Peningkatan Terminal Tipe A di 20 lokasi.

Tentu ini adalah angin segar, bukti bahwa pemerintah juga memiliki fokus untuk memperbaiki terminal di Indonesia. Menteri Perhubungan juga mengatakan peningkatan kualitas pelayanan terminal dilakukan dengan cara, diantaranya membangun terminal bus yang lebih nyaman, mengembangkan pusat komersial di area terminal, dan mengembangkan sistem penjualan tiket secara online.

Sistem tiket konvensional yang masih dipakai sekarang ini, mengharuskan penumpang datang lebih awal dan menunggu lama karena tidak ada kepastian mendapatkan tiket. Belum lagi adanya calo tiket yang seringkali memaksa penumpang untuk membeli tiket dari mereka.

Dengan menggunakan online ticketing masyarakat akan mendapat kejelasan waktu pemberangkatan bus dan juga terhindar dari calo. Untuk di Jakarta khususnya, ditargetkan pada saat lebaran nanti penjualan tiket bus sudah melalui online seluruhnya.

Selain itu fasilitas umum seperti kursi tunggu, toilet gratis, dan ruang menyusui harus tersedia di terminal. Larangan merokok bagi setiap penumpang di area terminal juga penting untuk ditegakkan demi kenyamanan bersama. 

Insentif untuk perusahaan swasta 

Kemenhub dengan terbuka mengundang para investor untuk berinvestasi dan bekerja sama untuk membangun infrastruktur di bidang perhubungan darat. Dalam laman Direktorat Perhubungan Darat Kemenhub, dijelaskan bahwa kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha/swasta tersebut dapat dilakukan melalui beberapa skema.

Skema yang pertama yaitu KPBU Solicited maupun KPBU Unsolicited di mana lokasi proyek seluruhnya dikerjasamakan.

Kedua, skema KPBU unsolicited yaitu badan usaha yang sukarela menyediakan lahan baru dalam penyelenggaraan infrastruktur, sedangkan lahan eksisting milik Pemerintah akan dimanfaatkan oleh badan usaha untuk kegiatan usaha lainnya.

Skema ketiga yaitu kerja sama pemanfaatan, di mana Pemerintah menyediakan seluruh fasilitas sedangkan badan usaha mengoperasikan/menyewa lahan tersebut. Skema keempat berupa pembagian beberapa lahan yang akan dikerjasamakan. Sebagian lahan dibangun oleh Pemerintah, sebagian lainnya dibangun oleh Badan Usaha, setelah itu Badan Usaha mengelola seluruh lahan yang dibangun.

Namun, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menuturkan bahwa sebenarnya sudah banyak pengusaha yang ingin menjajaki kerja sama pengelolaan terminal tipe A, tetapi banyak yang menghilang di tengah pembicaraan. Untuk menarik minat perusahaan swasta dapat dilakukan pemberian berbagai insentif misalnya insentif dalam perpajakan, kemudahan dalam proses perijinan, serta adanya jaminan keberhasilan dan keberlangsungan proyek.

Penegakan Regulasi

Seiring dengan perbaikan terminal, juga harus dilakukan penegakkan hukum atau law enforcement agar tidak ada lagi operator bus yang mengangkut penumpang tidak di terminal resmi, seperti di Pool PO Bus atau terminal bayangan. Sebagai contohnya yang terjadi pada salah satu terminal yang telah di revitalisasi yakni terminal Pondok Cabe. Sudah lebih dari setahun setelah diresmikan jumlah penumpang di terminal Pondok Cabe tergolong sepi karena masih banyak PO Bus yang menaik-turunkan penumpang di terminal bayangan.

Oleh karena itu, Kementerian Perhubungan sebagai regulator seharusnya dapat melakukan penutupan terminal bayangan sehingga penumpang hanya akan naik dan turun di terminal. Selain itu PO Bus juga seharusnya diberikan sosialisasi atas regulasi tersebut. Pemberian sanksi yang tegas juga akan membuat regulasi lebih dipatuhi.

Pendirian BUMN yang khusus menangani Terminal

Sejak tahun 2017 Menteri Perhubungan, Budi Karya telah meminta kepada Menteri BUMN saat itu, Ibu Rini Soemarno untuk dapat didirikan BUMN yang khusus menangani fasilitasi terminal layaknya Bandara di bawah PT Angkasa Pura, stasiun di bawah PT KAI, pelabuhan di bawah PT Pelindo.

Menteri Perhubungan beralasan untuk menangani 150 Terminal tipe A, beban kerja yang ditanggung Kementerian Perhubungan sangat tinggi sehingga pengelolaan terminal menjadi tidak optimal. Di samping beban kerja yang tinggi, Menteri perhubungan juga menyatakan pegawai Perhubungan tidak memiliki skill memadai dalam pengelolaan gedung dan bangunan, lebih fokus pada pengaturan lalu lintas. Selain dari sisi SDM, Kementerian Perhubungan juga terbatas dalam pendanaan untuk melakukan perbaikan terminal karena sumber dana mereka hanya berasal dari APBN.

Memetik pelajaran dari Bandara, Stasiun dan Pelabuhan, dengan adanya BUMN yang khusus menangani fasilitas tersebut, fasilitas akan menjadi lebih terawat, karena dalam perbaikannya tidak perlu bergantung pada APBN. Arus pengeluaran dan pendapatan terminal juga menjadi jelas karena adanya laporan keuangan tiap tahun, terminal juga dapat berkonstribusi untuk penerimaan Negara misalnya dari pendapatan sewa untuk billboard/iklan, ATM, kantin, atau tenant PO bus juga pendapatan dari bea parkir penumpang.

Hingga saat ini, sebagai salah satu pengguna aktif terminal dan moda transportasi bus, saya pribadi masih menunggu gebrakan-gebrakan bombastis pemerintah dalam perbaikan citra terminal. Semoga di tahun 2020 ini, akan ada angin segar untuk kemajuan terminal di Indonesia.

Anisa Anastia

Baca Juga