Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | desyardiani
Ilustrasi video call atau video conference saat bekerja (shutterstock)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah telah resmi mengesahkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) dan Nota Keuangan Tahun 2020 pada 24 September 2019 tahun lalu. Dalam Nota Keuangan 2020, dijelaskan bahwa pemerintah akan meningkatkan efisiensi belanja kementerian atau lembaga (K/L) salah satunya dengan memangkas belanja barang yang dianggap kurang produktif dan nonprioritas seperti perjalanan dinas.

Tak heran jika perjalanan dinas PNS kerap menjadi sasaran pemangkasan anggaran akibat adanya defisit. Ditambah lagi penerimaan pajak tahun 2019 yang mengalami shortfall dengan realisasi sekitar 84 persen dari target yang dianggarkan.

Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan mengatakan bahwa anggaran perjalanan dinas PNS tahun 2020 akan dipangkas sebesar Rp2 triliun. Awalnya dianggarkan sebesar Rp45 triliun, akan tetapi diharapkan realisasinya bisa lebih rendah dari pagu menjadi Rp43 triliun.

Salah satu hal yang membuat pemerintah optimis dapat memangkas belanja perjalanan dinas tersebut adalah dengan diterbitkannya PMK Nomor 181/PMK.05/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri. Dalam PMK tersebut salah satunya diatur tentang pembatasan penggunaan kelas bisnis dalam penerbangan. Namun, apakah pembatasan tersebut cukup efektif dalam menghemat belanja perjalanan dinas?

Perkembangan teknologi sudah sejak lama mampu memfasilitasi orang-orang untuk saling berbicara dan bertatap muka melalui media telekomunikasi, diantaranya yang paling populer adalah dengan video call maupun video conference. Media tersebut mampu meminimalisasi kendala jarak dan waktu dalam berkomunikasi.

Perbedaan yang mendasar antara video call dengan video conference adalah jumlah partisipannya. Video call memiliki partisipan yang terbatas, biasanya tak lebih dari 5 orang. Sedangkan, video conference dapat mengakomodasi banyak partisipan sehingga cocok digunakan untuk rapat, pembelajaran atau perkuliahan, hingga konferensi penting.

Di Indonesia bahkan video conference sudah digunakan dalam kegiatan akademik sejak tahun 2007. Kala itu Institut Teknologi Bandung (ITB) membantu mahasiswa Universitas Syiah Kuala Banda Aceh melakukan perkuliahan jarak jauh akibat terdampak tsunami melalui video conference.

Dengan kemudahan teknologi tersebut, seharusnya tak sulit bagi pemerintah untuk menghemat belanja perjalanan dinasnya. Rapat-rapat dan koordinasi antar instansi, daerah, bahkan antar negara selayaknya sudah bisa dilakukan melalui video conference. Pemerintah tak perlu pusing lagi memikirkan biaya transportasi, penginapan, dan ruang rapat. Apalagi pada saat terjadi keadaan darurat yang mengharuskan diadakannya rapat atau pertemuan untuk pengambilan keputusan saat itu juga.

Daripada mengurangi standar biaya dan mengubah aturan teknis perjalanan dinas, lebih baik pemerintah melakukan pembatasan dari segi penggunaannya. Tujuan-tujuan untuk penanganan bencana, bantuan sosial dan kemanusiaan, ataupun penugasan penting yang harus dilakukan dengan kunjungan lapangan sebaiknya lebih diprioritaskan. Hal tersebut sekaligus dapat mengurangi stigma masyarakat selama ini bahwa perjalanan dinas seringkali disalahgunakan untuk sekedar jalan-jalan dan percepatan penyerapan anggaran semata.

desyardiani